PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DALAM ABAD KE-21 DALAM RANGKA PERGESERAN PARADIGMA

.

KATA PENGANTAR

.

Pembangunan pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam kerangka ini pembangunan pendidikan harus semakin tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi, mampu mengantisipasi ke masa depan, dan mampu memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Untuk itu peran pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah perlu mendapat perhatian seksama yang pada saat ini dihadapkan kepada era reformasi di segala bidang.

Memorandum pandangan ini secara khusus akan menelaah dan mengkaji masalah pendidikan dasar dan menengah dalam abad ke-21 dalam rangka pergeseran paradigma.

Memorandum pandangan ini disusun berdasarkan hasil pemikiran, pandangan, pendapat, saran, usul, penelaah, pengkajian, dan pengalaman para anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN). Penyusunan memorandum pandangan ini dipercayakan kepada suatu kelompok khusus yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L., dibantu oleh Ibu dr. Siti Oetarini Sri Widodo, SpPA sebagai sekretaris, dengan anggota Bapak Dr. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH; Bapak August Kafiar, M.A; Bapak Drs. Soetjipto Wirosardjono, M.Sc.; dan saya sendiri.

Semoga memorandum pandangan ini memberikan manfaat bagi usaha pembangunan pendidikan.

Jakarta, Juli 1999

.

Awaloedin Djamin

Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

.

BAB I: PENDAHULUAN

.

Di dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut sumber daya manusia yang berkualitas maka peran pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, perlu mendapat perhatian seksama. Sementara itu, bangsa Indonesia dihadapkan pada suatu kenyataan yaitu terjadinya reformasi di segala bidang.

Dalam rangka pelaksanaan reformasi di segala bidang dan dalam menghadapi globalisasi diperlukan pergeseran paradigma. Gerakan reformasi memberi pengaruh kepada (1) kehidupan demokrasi dalam bentuk participating democracy; (2) masyarakat terbuka (open society); (3) masyarakat madani (civil society); (4) pemerintahan yang bersih (clean government); dan (5) kesatuan bangsa. Globalisasi memberi pengaruh kepada persaingan dalam kerja sama regional dan internasional yang mengharuskan adanya sumber daya manusia yang unggul guna menghadapi persaingan tersebut.

.

BAB II: PERGESERAN PARADIGMA DARI SUDUT PENGELOLAAN PENDIDIKAN

.

A. Permasalahan

Dalam Era Orde Baru, paradigma pembangunan nasional sangat menekankan pada uniformitas dan menafikan kebhinnekaan masyarakat dan budaya bangsa. Paradigma pembangunan dalam era ini menekankan unity in uniformity, bukan unity in diversity. Akibatnya, pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan sangat sentralistik dan bersifat top-down. Arogansi kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan sehingga kebhinnekaan nilai-nilai budaya dan otonomi daerah telah mengalami stagnasi yang cukup parah. Kreativitas masyarakat telah terbelenggu dengan pendekatan uniformitas dalam berbagai bentuk doktrin politik Pemerintahan Orde Baru. Dari sudut pengelolaan pendidikan selama ini dijumpai permasalahan sebagai berikut:

1. Pengelolaan pendidikan memberikan penekanan berlebihan pada dimensi kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lainnya, yang ternyata telah melahirkan manusia Indonesia dengan kepribadian pecah (split personality).

2. Pembangunan pendidikan telah gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat Indonesia yang berdisiplin.

3. Pengelolaan pendidikan bersifat sentralistik. Akibatnya adalah bahwa peserta didik merasa terisolasi dari lingkungan fisik dan sosialnya.

4. Pembangunan pendidikan telah gagal melahirkan sumber daya manusia yang dapat memainkan peranan dalam percaturan global.

Untuk itu diperlukan pergeseran paradigma baru dari sudut pengelolaan pendidikan.

B. Paradigma Baru

Dalam rangka reformasi yang diinginkan yang berbeda dengan keadaan yang dikemukakan di atas, diperlukan masyarakat madani (civil society) dengan persyaratan sebagai berikut:

Pertama, masyarakat baru yang hendak kita wujudkan adalah masyarakat Pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan masa depan. Harapan-harapan itu akan memperkukuh kesatuan dan persatuan nasional yang amat pluralistik ini sebagai suatu totalitas dengan semangat kesetiakawanan, kebersamaan, dan persaudaraan untuk membangun suatu hari depan bersama melalui perwujudan cita-cita yang sama itu. Hal ini berarti bahwa masyarakat baru yang didambakan itu adalah masyarakat yang tenteram, damai, memiliki hubungan antar etnis yang selaras, dan terintegrasi secara teritorial, di mana semua warga hidup penuh dengan harmoni dan dinamika kesetiakawanan, sehingga terpatri semangat pengabdian dan peran yang sungguh-sungguh dari seluruh warganya untuk membangun Indonesia dalam perspektif yang sama.

Kedua, masyarakat madani yang didambakan adalah masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat dipandang sebagai wahana untuk memantapkan kehidupan demokrasi dalam semua strata kehidupan masyarakat.

Ketiga, masyarakat baru yang didambakan adalah masyarakat yang mengakui hak-hak asasi manusia sebagaimana yang digariskan dalam UUD 1945.

Keempat, masyarakat madani yang diinginkan adalah masyarakat yang tertib dan sadar hukum. Budaya malu apabila melanggar hukum melekat dalam semua lapisan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Budaya malu sebagai sistem nilai dapat mendorong terjadinya kontrol sosial masyarakat terhadap segala hal yang dilakukan oleh pimpinannya. Dengan demikian siapa saja akan segera dikoreksi oleh suatu mekanisme kontrol apabila terbukti melanggar norma-norma yang ada, misalnya: menempatkan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan umum.

Kelima, masyarakat baru yang diharapkan adalah masyarakat yang percaya pada diri sendiri, memiliki kemandirian dan kreatif terhadap pemecahan masalah yang dihadapi.

Keenam, masyarakat yang hendak diwujudkan adalah masyarakat baru sebagai bagian dari masyarakat global yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan secara universal. Dengan kesadaran itu, akan tumbuh sesuatu kesadaran dan solidaritas antar bangsa dan antar generasi (international and intergeneration solidarity) dalam suasana kompetisi yang sehat.

Dalam rangka mencapai masyarakat madani sebagaimana diusahakan di atas, perlu adanya pergeseran paradigma pendidikan nasional.

Dalam mempersiapkan pergeseran paradigma tersebut perlu diadakan upaya reinventing education supaya masa depan menjadi jelas dengan program yang konsisten. GBHN harus menempatkan pengembangan sumber daya manusia sebagai prioritas utama, agar bangsa dapat tetap berdiri tegak (survive) dalam kerja sama regional dan internasional.

Persiapan paradigma baru memerlukan data yang akurat, yang dihimpun dari bawah.

Berbagai aspek yang perlu diperhatikan adalah: (1) kurikulum yang terlampau berat (overloaded); (2) proses belajar mengajar yang tidak demokratis; (3) pendidikan yang terlepas dari kebudayaan, sehingga menghasilkan peserta didik yang tidak memahami kebudayaannya sendiri; (4) identitas bangsa perlu dipertahankan, karena global culture terjadi dari adanya local culture; dan (5) peningkatan profesionalisme guru, mengingat Millenium ke-3 adalah era profesionalisme.

Dalam pengelolaan pendidikan perlu diperhatikan paradigma baru sebagai berikut:

Pertama, pendidikan nasional ialah membangun manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudaya, seorang nasionalis yang berwawasan global.

Kedua, paradigma baru pendidikan harus berfokus pada penciptaan situasi belajar yang menyerasikan keseimbangan penumbuhan kreativitas dan pembentukan kebiasaan berdisiplin.

Ketiga, pendidikan harus diarahkan kepada penumbuhan sikap penalaran kritis (logika-analitik-verifikasi) agar anak didik dapat menyingkap rahasia sumber daya alam yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sosialnya.

Keempat, pendidikan harus diarahkan untuk memasuki pasar global melalui perubahan sejumlah peraturan dan ketentuan sehingga memungkinkan semua pihak dapat berprakarsa secara kreatif untuk membangkitkan prakarsa kompetitif dalam memasuki era persaingan global.

.

BAB III: PERGESERAN PARADIGMA DARI SUDUT PENGEMBANGAN PRIBADI PESERTA DIDIK

.

A. Permasalahan

Kelemahan dalam sistem pendidikan selama ini telah melahirkan lulusan sekolah yang kini ternyata belum memperlihatkan kemampuan untuk mengatasi krisis kepercayaan, krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis hukum. Padahal dalam era abad ke-21 mendatang lulusan sekolah juga dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan yang penuh dengan ketidakpastian. Sehubungan dengan itu perlu ada upaya pergeseran paradigma dari sudut pengembangan pribadi peserta didik.

B. Paradigma Baru

Abad ke-21, yang juga disebut sebagai abad yang dilandasi konsep universal gifttedness, adalah abad yang memiliki kemungkinan menciptakan peradaban yang di dalamnya dihuni oleh masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki kemampuan tidak terbatas (unlimited capacity).

Paradigma baru pendidikan harus didasarkan atas asumsi bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) dan dengan demikian memiliki kemampuan luar biasa untuk mencipta dan produktif. Kerangka pikirnya adalah bahwa dengan harapan tiada terbatasnya bakat setiap orang, setiap orang memiliki keunikan keragaman yang seharusnya dipandang sebagai kekuatan, bukan suatu defisit, dan karenanya harus dirancang integritas belajar (integrity of learning) sebagai proses pembelajaran yang holistik sesuai kebutuhan peserta didik.

Perubahan yang harus terjadi adalah terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran yang bersifat project based, bukan saja process based, lebih-lebih bukan program based. Pembelajaran seperti ini akan memberi peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya secara kreatif, berpikir kritis dan bukan saja kemampuan untuk meraih peluang memperoleh pekerjaan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja.

Sekolah yang menghasilkan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja, yaitu lulusan yang susila, yang mampu berkreasi, memperjuangkan penghasilan yang cukup tanpa menjatuhkan martabatnya (kolusi, korupsi) adalah sekolah yang melatih peserta didiknya untuk berpikir kreatif dalam mengatasi masalah dalam kehidupan nyata yang terkait secara terintegrasi dengan berbagai topik esensial mata pelajaran tertentu yang relevan dalam menjelajah lingkungannya. Dengan demikian keunggulan potensial yang muncul berdasarkan keunikan dan keragaman individu akan memperoleh peluang untuk terwujud karena adanya kecocokan pengalaman belajar dan bakat mencapai kemampuan intelektual yang secara substansial lebih tinggi bahkan mencapai keunggulan. Ini berarti bahwa genius dalam diri anak menunjuk pada unlocking of a capacity yang hanya bisa terjadi dan ditemukan melalui kurikulum dan cara belajar yang sama sekali berbeda dari yang kini terjadi.

Dengan paradigma baru pendidikan yang diarahkan kepada pengembangan kepribadian peserta didik sebagaimana diuraikan di atas, terjadi pergeseran yaitu tidak semata-mata manpower development planning akan tetapi dan terutama brainpower development planning, sehingga tercapai human capacity development, bukan hanya human resources development.

.

BAB IV: KONDISI AKTUAL DI LAPANGAN

.

Dalam tatap muka dengan para guru SD, SMP, dan SMU serta pejabat Kanwil telah diketengahkan masalah-masalah yang dirasakan di lapangan yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan pergeseran paradigma.

Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Guru SD terlampau berat tugasnya, karena di samping menjadi guru kelas dengan sekian banyak mata pelajaran yang harus diberikan di kelasnya, juga dibebani tugas administrasi serta tugas-tugas lainnya.

2. Terdapat kekurangpahaman tentang muatan lokal, sehingga misalnya bahasa Inggris di SD dianggap perlu diberikan, padahal pilihan mata pelajaran muatan lokal tergantung pada tersedianya tenaga dan kemampuan di sekolah yang bersangkutan.

3. Isi buku paket sering tidak cocok dengan kurikulum maupun tidak sesuai dengan kenyataan.

4. Sebagian guru khususnya guru mata pelajaran di tingkat SLTP masih kurang menguasai materi pelajarannya. 5. Sampai saat ini pengelolaan sekolah dasar masih ditangani oleh dua instansi, sehingga menimbulkan kesulitan dalam pembinaan guru.

.

BAB V: SARAN KEBIJAKAN

.

A. Paradigma Baru

Untuk mencapai suatu masyarakat madani yang diinginkan dalam memasuki abad ke-21 perlu diupayakan pergeseran paradigma terhadap pengelolaan pendidikan sekaligus pengembangan peserta didik terutama pada tingkat pendidikan dasar dan menengah sebagaimana telah diutarakan dalam Bab II dan Bab III.

B. Kondisi Aktual di Lapangan

Saran-saran yang dapat disampaikan kepada pemerintah dalam mengelola pendidikan dasar dan menengah yang didasarkan atas kondisi aktual di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Perlu segera diadakan tenaga tata usaha di SD bagi sekolah yang belum ada.

2. Perlu dipertimbangkan adanya guru mata pelajaran untuk Kelas IV, V, dan VI SD untuk sekolah negeri, sehingga pemberian substansi mata pelajaran lebih berbobot sebagaimana telah dilakukan oleh beberapa sekolah swasta.

3. Perlu dipertimbangkan bantuan tenaga dosen muda lulusan program bahasa Inggris IKIP untuk mengajar bahasa Inggris di SD dalam hubungan dengan penambahan "kum" untuk kenaikan pangkat dosen muda yang bersangkutan. Upaya lain adalah memberikan tugas belajar kepada guru-guru SD yang memenuhi syarat untuk mengikuti kuliah di IKIP dalam program studi bahasa Inggris.

4. Mengenai muatan lokal perlu diperhatikan karakteristik daerah yang bersangkutan, sehingga keterampilan yang diberikan menjadi bermakna, seperti misalnya bagi SD di pantai diberikan keterampilan yang menunjang keberhasilan dalam upaya nelayan menangkap ikan serta pengawetannya.

5. Perlu dipertimbangkan perubahan kualifikasi pendidikan untuk pengangkatan calon guru kelas SD sekiranya masih memungkinkan diangkat lulusan SPG.

6. Pendidikan Agama dan Pendidikan Budi Pekerti perlu lebih banyak memperoleh perhatian. Penetapan formasi guru Agama supaya dipertimbangkan diserahkan kepada daerah, agar dapat disesuaikan dengan kondisi riil dan kebutuhan yang sesungguhnya.

7. Pelajaran Olahraga untuk kelas III SMU yang sudah ditiadakan, perlu dikembalikan sesuai kurikulum sebelumnya.

8. Pengangkatan Guru Kesenian dengan kualifikasi DIII/S1 sangat sulit dilakukan sehingga perlu terobosan yang tepat untuk pemecahannya.

9. Syarat pengawas harus bergelar S1 perlu dilonggarkan untuk daerah yang terpencil; pengalaman, dedikasi dan keteladanan seyogyanya lebih diutamakan.

10.Peran Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) banyak membantu dan oleh karenanya MGMP ini perlu ditingkatkan keberadaan dan aktivitasnya.

11.Kurikulum nasional perlu diberikan penjelasan tentang batas-batas materinya, yang sangat berguna bagi guru di lapangan.

12.Kesejahteraan guru perlu diperhatikan, agar dihindari upaya menutup kekurangan belanja dengan mengajar pula di tempat lain, yang memberi pengaruh terhadap pelaksanaan tugas utamanya. Guru adalah profesi yang perlu mendapat penghargaan selayaknya. Perumahan untuk guru, terutama di daerah terpencil, perlu diprioritaskan.

13.Sisa waktu yang tersedia bagi guru dalam pemberian suatu mata pelajaran perlu diisi dengan pengayaan materi yang perlu didukung dengan bahan rujukan bagi guru yang bersangkutan. Pengayaan ini merupakan hak guru yang perlu dilaksanakan.

14.Penataran secara berkala bagi guru mata pelajaran amat diperlukan dan dalam hubungan ini kerja sama dengan IKIP perlu ditingkatkan.

15.Terhadap sekolah-sekolah swasta yang pada kenyataannya justru lebih berperan di daerah terpencil/pedalaman perlu diberikan perhatian yang sama dengan sekolah negeri.

16.Perlu dipecahkan dualisme pengelolaan SD, terutama dalam kaitan dengan masalah guru. Dalam hubungan ini dilontarkan pemikiran untuk memasukkan pembinaan guru SD dalam satu atap dengan guru SLTP, SM, dan dosen, yaitu di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan mengenai pembiayaan penyelenggaraan sekolah dan penyediaan fasilitas bangunan dan sarana tetap ada di bawah pengelolaan daerah otonom.

.

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA