PENDIDIKAN DAN DUNIA KERJA

 

KATA PENGANTAR

            Memorandum pandangan ini memuat ulasan mengenai beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan dan dunia kerja serta saran pemecahan terhadap permasalahan tersebut.

            Pendidikan berkaitan erat dengan dunia kerja.  Kenyataan menunjukkan bahwa di satu pihak banyak lulusan pendidikan yang atau belum tertampung di dalam dunia kerja yang ada.

            Memorandum pandangan ini merupakan kristalisasi dari pemikiran, penadapat, saran, dan usul kebijaksanaan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) berkenaan dengan pendidikan dan dunia kerja.  Serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan untuk mengkaji memorandum pandangan ini adalah menelaah berbagai hasil penelitian, mengadakan dialog dengan komisi IX DPR-RI, Menteri Kabinet Pembangunan V, para pejabat di pusat dan daerah, di samping mengadakan kunjungan ke berbagai satuan pendidikan.

            Berlandaskan kesepakatan pendapat anggota BPPN, Penyusunan memorandum pandangan ini dikoordinasikan Bapak Letjen TNI (Purn.) H. Soetanto Wirjoprasonto yang dibantu oleh Bapak Mohammad Noer, Bapak F. Darmanto Ki Soeratman.

            Semoga pemikiran yang tertuang dalam memorandum pandangan ini dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kebijaksanaan pembangunan pendidikan ataupun menilai pelaksanaan pendidikan.

 

                                                                                    Jakarta, Novenber 1992

Makaminan Makagiansar

Ketua Badan Pertimbangan 

                                                                                    Pendidikan Nasional

 

I. Pendahuluan

            Setelah 47 tahun merdeka, bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pembangunan jangka panjang (25 tahun) tahap pertama, dan menciptakan kerangka landasan bagi pembangunan jangka panjang tahap berikutnya.

            Dalam era pembangunan jangka panjang tahap kedua diperkirakan terjadi perubahan-perubahan mendasar di berbagai bidang kehidupan, yang sebelumnya belum pernah tergambarkan.  Diantara perubahan-perubahan tersebut ada yang secara langsung akan bepengaruh terhadap pendidikan, misalnya pergeseran struktur ekonomi dari agraris ke industri dan jasa.  Pergeseran itu secara kait mengkait akan berpengaruh pula terhadap kebutuhan tenaga kerja, baik menyangkut jumlah maupun mutu mereka. Perubahan kebutuhan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap pendidikan.

            Kenyataan menunjukan bahwa selama ini banyak lulusan pendidkkan tidak atau belum tertampung di dalam dunia kerja.  Jumlah mereka dari tahun ketahun cenderung meningkat.  Hal ini anatara lain disebabkan oleh pertambahan lapangan kerja yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertambahan jumlah lulusan SLTP/SLTA/Pendidikan Tinggi dari tahun ke tahun. Kecilnya pertambahan lapangan kerja berkaitan erat dengan laju pertumbuhan ekonomi, yang saat ini berkisar antara 5%--7%.

            Pada sisi lain terdapat pula sejumlah lapangan kerja yang sulit dipenuhi oleh angkatan kerja yang ada.  Hal ini berkaitan erat dengan adanya kesenjangan antara jenis pengetahuan akademik maupun keahlian atau ketrampilan yang dimiliki lulusan pendidikan dan kemampuan kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.  Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukan bahwa ada kaitannya erat antara pendidikan dan dunia kerja.

            Sehubungan kaitan antara dan dunia kerja, ada beberapa masalah yang perlu dikaji, misalnya pengertian “siapPakai” dan “Siap Latih” serta dampaknya, pembinaan pendidikan pra kejuruan pendidikan dan pelatihan, dan program pendidikan ketrampilan pra kejuruan (vocationalization of general education) di SLTP/SLTA. Di samping itu, perlu dikaji pula permasalahan pengguruan dikaitkan dengan pendidikan nasional.

            Dalam masalah-masalah tersebut akan diperhatikan pula segi keterpaduan langkah-langkah dari sektor-sektor yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan tenaga kerja lewat pendidikan atau pelatihan, seperti diamanatkan di dalam GBHN 1989.

            Lewat kajian masalah-masalah tersebut diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi tentang kebijakan penanganan latihan dan pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan amanat GBHN, yang mampu menjawab kebutuhan tenaga kerja bermutu dari dunia kerja.

 

II. PERMASALAHAN

 

A. “Siap Pakai” atau “Siap Latih”

            Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1989 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bab III,B,7 menyatakan bahwa pemberantasan pengangguran dengan jalan memperluas kesempatan keja merupakan sasaran penting bagi Pembangunan Jangka Panjang.  Perluasan kesempatan kerja dan pembinaan system pendidikan yang mampu menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan harus dilaksanakan secara bersama dan serasi.

            Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasonal menyatakan “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.

            Undang-Undang RI Nomor 1989 maupun GBHN 1989 menekankan tugas pendidikan adalah menyiapkan peserta didik, entah untuk keperluan pembangunan entah untuk peranan peserta didik yang seharusnya dicapai melalui pendidikan, terdapat perbedaan pendapat dikalangan masyarakat, khususnya para pakar.  Pendapat yang satu mengatakan bahwa setelah melewati pendidikan peserta didik harus siap pakai memasuki dunia kerja.  Pendapat lainnya menyatakan bahwa pendidikan tidak semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja,  melainkan juga dan bahkan pertama-tama untuk mengembangkan pribadi peserta didik.  Karena itu cukup kalau lulusan pendidikan siap latih kembali (retrainable).

            Pebedaan pendapat tersebut pada hakekatnya bersumber pada perbedaan pemahaman  mengenai peran dan fungsi pendidikan.

 

B.  Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan

            Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989, telah terbit Peraturan Pemerintah (PP)) Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah.  Di samping itu telah terbit pula PP Nomor 71 Tahun 1991 tentang Latihan Kerja, yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja.

            Sebagai PP-PP tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang kurang tegas dan tumpang tindih, sehingga dapat menimbulkan perbenturan dalam pelaksanaan pembinaan pendidikan dan pelatihan, misalnya Pasal 22 ayat (2) PP Nomor 73 Tahun 1991 dan Pasal 3 serta Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 71 Tahun 1991.

            Sebelum Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 terbit, telah ada Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan . Selain itu ada pula Instruksi Presiden nomor 15 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Pembinaan Pendidikan dan Latihan. Kedua Peraturan tersebut pada intinya menegaskan lingkup tugas dan tanggung jawab pembinaan secara fungsional pendidikan dan pelatihan, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.  Menurut peraturan tersebut, Menteri Pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan umum dan kejuruan;  Menteri Tenaga Karja bertugas dan bertanggung jawab atas negeri, dan ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Pasal 1 Keppres Nomor 34 Tahun 1972)

Walaupun telah ada Keputusan Presiden, Instruksi Presiden dan penjabaran, berupa Peraturan-peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maupun surat edaran menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Tenaga Kerja, serta dua Peraturan Pemerintah, namun pelaksanaan pembinaan pendidikan dan pelatihan di lapangan oleh aparatur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan oleh Departemen Tenaga Kerja selama ini masih tumpang tindih dan simpang siur, sebagai contoh kursus kecantikan, bahasa, MBA, dibina Departemen Pendidikan dan kebudayaan maupun oleh Departeman Tenaga Kerja.

 

C. Kaitan antara pengangguran dan Sistem Pendidikan Nasional

Kenyataan selama ini menunjukan bahwa di satu sisi tersedia berbagai jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja tetapi kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, dan sisi lain banyak tenaga kerja berpendidikan yang mencari pekerjaan tetapi tidak dapat memperolehnya, antara lain ketrampilan/ keahlian yang dituntut oleh jenis pekerjaan yang tersedia.

Sebagai ilustrasi berikut ini gambaran mengenai rasio tarhadap lapangan kerja di Bali 10 : 3:2, artinya untuk 10 orang pencari keraj tersedia lowongan jabatan, dan hanya 2 jabatan yang dapat diisi oleh tenaga yang memenuhi persyaratan (Kanwil Depnaker Bali).

Dari gambaran fakta tersebut dapat di simpulkan bahwa ada permasalahan berikut:

(1) pertumbuhan lapangan kerja dari waktu ke waktu tidak sebanding dengan pertambahan jumlah lulusan pendidikan yang mencari atau membutuhkan pekerjaan;

(2) lulusan pendidikan kejuruan tidak memperoleh bekal ketrampilan kejuruan;

(3) lulusan pendidikan umum sama sekali tidak dibekali ketrampilan pra kejuruan.

 

 

III. ANALISIS PERMASALAHAN

 

A. “Siap pakai” atau Siap latih 

            Di dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989, pasal 11, dinyatakan bahwa pendidikan terdiri dari beberapa jenis, antara lain pendidikan umum dan pendidikan kejuruan .

            Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan ketrampilan peserta didik dengan kekhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan (ayat2)

            Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu (ayat 3).  Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa pendidikan kejuruan hanya diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah.

            Pada Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Selanjuutnya pada pasal 16 dinyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselanggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, tekhnolohi dan/ atau kesenian.

Dari pernyataan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa memang ada jenis pendidikan, yakni pendidikan kejuruan (vocational and technical education), yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terampil/ahli di bidang tertentu pada dunia kerja.

Meskipun demikian, peserta didik pada pendidikan kejuruan tidak diarahkan menjadi tenaga “siapPakai”, dalam arti langsung dimanfaatkan untuk jenis pekerjaan tertentu, melainkan diarahkan menjadi tenaga yang siap dilatih dan dilatih kembali (trainable and retrainable), dalam arti selalu siap dan mampu menyesuaikan penerapan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan keterampilan yang diperolehnya dengan kebutuhan dan tuntutan pekerjaan yang dilakukannya, yang dapat berubah atau berkembang dari waktu kewaktu.  Penyesuaian ini dilaksanakn lewat latihan.

Pendidikan baik umum maupun kejuruan yang diarahkan untuk membentuk tenaga “Siap Pakai” seperti diartikan dimuka, tidak sesuai dengan harkat dan martabat peserta didik sebagai pribadi, yang dalam setiap interaksinya dengan pihak lain selalu berkedudukan sebagai subyek bukan obyek.

Konsep pendidikan yang menghasilkan tenaga “Siap Pakai” mempunyai implikasi bahwa pendidikan harus menyediakan macam-macam program sesuai dengan jenis pekerjaan yang ada atau akan dibutuhkan.  Sebaliknya konsep pendidikan yang menghasilkan tenaga “Siap Latih” mempunyai implikasi bahwa lulusan pendidikan cukup dibekali dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh lulusan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan melalui latihan kerja.  Kehadiran latihan kerja mutlak diperlukan di samping pendidikan.

 

B.  Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan

            PP Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah membagi pendidikan luar sekolah menjadi 5 jenis : umum, keagamaan, jabatan kerja, kedinasan dan kejuruan. Pasal 22 (2) PP tersebut menyatakan, “Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan merupakan tanggung jawab Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departeman”.

            Pembinaan yang dimaksud dalam ayat ini meliputi pemberian bimbingan, dorongan, pengayoman dan/atau bantuan yang pelaksanannya tidak boleh menghambat perkembangan, prakarsa dan kemandirian satuan pendidikan yang bersangkutan (ayat 6 dan penjelasannya), serta harus terkoordinasi (ayat 7).

            Pasal tersebut membuka peluang untuk terjadinya pelaksanan pembinaan yang tumpang tindih, khususnya pembinaan satuan pendidikan kejuruan yang diselenggarakan oleh masyarakat.  Hal ini dapat disimpulkan dari banyaknya penanggung jawab yang disebut (PP 73 Tahun 1991, pasal 22) untuk pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang berbentuk pendidikan kejuruan.  Pengalaman selama ini menunjukan bahwa koordinasi antar Departemen selama ini menunjukan bahwa koordinasi antar Departemen maupun anatara Departemen dan lembaga Pemerintah non Departeman tidak mudah dilaksanakan.

            Pada PP Nomor 71 1991 tentang Latihan Kerja, Pasal 4 ayat 2 latihan kerja dibagi menjadi 3(tiga) bidang : teknik, manajerial dan kewirausahaan.  Setiap bidang dibagi lagi dalam kejuruan-kejuruan dan sub kejuruan (ayat 3).  Latihan kerja yang bidangnya cukup luas, mencakup kejuruan, dinyatakan diatur oleh menteri Tenaga Kerja (ayat 5).

            Mengingat pengertian dan tujuan Latihan kerja dalam PP Nomor 71 Tahun 1991 mirip dengan pengertian dan tujuan Pendidikan Luar Sekolah dalam PP Nomor 73 Tahun 1991, maka tidak mustahil bahwa pelaksanaan pembinaan pendidikan dan pelatihan di lapangan dapat berbenturan.   

            Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya benturan dan kesimpngsiiuran pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, ketidakjelasan dan peluang-peluang kesalahpahaman di dalam PP-PP tersebut perlu diselesaikan.  Salah satu langkah menuju penyelelasaian tersebut dapat ditempuh melalui forum pertemuan antar departemen yang terkait dengan koordinasi dari instansi/pejabat yang kedudukannya di atas departemen-departemen tersebut.

            Pengelolaan system pelatihan kerja nasional, yang merupakan jabatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, hendaknya menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri tenaga kerja, seperti halnya pengelolaan system pendidikan nasional menjadi tanggung jawab dan wewenang tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

            Pengelolaan system pelatihan kerja nasional tersebut meliputi : penentuan kriteria tentang penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian pelatihan, serta pemantauan penerapan kriteria pelatihan.  Penentuan kriteria hendaknya melibatkan semua pihak yang terklait, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

            Sejauh ini, Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan ketantuan-ketentuan tentang pola umum Pembinaan Sistem Latihan Kerja Nasional, Pola Standar Kualifikasi Ketrampilan dan Standar pembarian sertifikat, dapat dilaksanakan oleh Departemen departemen lain, lembaga Non-departemen atau masyarakat, dengan mengaju kepada kriteria nasional tentang penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian latihan kerja.

            Hendaknya diadakan pemisahan antara memberikan/ mengeluarkan sertifikat dan hak memberikan/ mengeluarkan izin usaha/ kerja bagi lulusan pelatihan kerja.  Pemberian izin usaha /kerja bukan wewenang departemen atau Lembaga Non-departemen yang menyelenggarakan satuan pelatihan, melainkan Departemen atau Lembaga pemerintah yang terkait dengan jenis usaha/kerja yang bersngkutan, kecuali jika satuan penyelenggaraan pelatihan termasuk dalam kategori terakhir ini.

            Dalam menghadapi perkembangan kuantitatif maupun kualitatif yang begini cepat dari dunia usaha dan industri, hendaknya sektor swasta yang mengelola usaha dan industri. Didorong dan diberi peluang untuk menyelenggarakan atau mengembangkan pelatihan.  Dengan demikian keterbatasan dana pemerintah, yang merupakan salah satu kendala peningkatan dan perluasan penyelenggaraan palatihan, diharapkan dapat teratsi.

 

C. Kaitan antara Pengangguran dan Sistem Pendidikan Nasional

            Indonesia berhasil dalam pembangunan pendidikan, khususnya dalam hal perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang tinggi.  Namun di sisi lain banyak para lulusan pendidikan yang menganggur, baik karena tidak dapat menciptakan pekerjaan sendiri maupun Karena tidak terserap oleh lapangankerja yang tersedia.  Ada beberapa kemungkinan penyebab lulusan pendidikan tidak terserap, antara lain:  Pertumbuhan kesempatan atau lapangan kerja lebih kecil dari pada pertumbuhan lulusan pendidikan.   Pertumbuhan kesempatan ekonomi nasional.  Pengangguran bukan semata-mata merupakan masalah pendidikan, melainkan juga masalah ekonomi.  Karena itu, pemecahannyapun tidak dapat hanya diupayakan oleh sektor pendidikan.

            Tahun 1980 terdapat pengangguran sekitar 1 juta di Indonesia.  Selama masa ressi dunia, 1981—1984 tambahan pengangguran sekitar 1,5 juta orang.  Selama PELITA V angkatan kerja diperkirakan bertambah sekitar 11,9 jita.  Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun, maka akan dapat diciptakan lapangan kerja sekitar 11,5 juta orang.  Dengan demikian selama PELITA V akan ada tambahan pengangguran sekitar 0,4 juta orang.  Pada akhi PELITA V diperkirakan ada 2 jut penganggur.  (Drs. Cosmas Batubara, Manpower Problems and in Indonesia, Departement of Manpower RI, Jakarta 1991)

            Dalam situasi ekonomi seperti itu, pendidikan diharapkan dapat membantu menemukan pemecahan pengangguran.  Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pendidikan ialah memberikan kepada setiap peserta didik selama roses pendidikan berjalan suatu latihan berpikir dan bertindak eksploratif (mencari sampai menemukan).  Latihan ini harus juga dapat mendorong daya cipta, kemampuan inovasi, dan menumbuhkan kebiasaan kerja secara disiplin, efisien dan produktif.  Dengan demikian, mereka diharapkan mampu bekerja mandiri atau menciptakan lapangan kerja sendiri.

            Upaya ini dapat membantu tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu

“mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mentap dan serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

            Bahwa lulusan  pendidikan tidak terserap dalam dunia kerja dapat pula terjadi karena peserta didik belajar pada pendidikan kejuruan, merek tidak mendapatkan ketrampilan kejuruan yang telah ditargetkan.  Hal ini terjadi di satuan-satuan pendidikan kejuruan yang tenaga kependidikan, sarana dan prasarananya tidak memadai.

            Menurut data Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah jumlah sekolah menengah kejuruan yang bermutu masih sangat terbatas.  Para lulusan sekolah menengah kejuruan bermutu tidak mengalami kesulitan dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai, bahkan mampu bekerja sendiri.

            Dewasa ini jumlah satuan pendidikan menengah dan kejuruan dan politaknik terus meningkat., dan jumlah peminat betambah.  Menurut data Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah,  perbandingan sekolah menengah kejuruan dengan sekolah menengah umum dewasa ini adalah 1 : 1,5, lima tahun lalu perbandingan tersebut adalah 1:3.  Perkembangan atau meningkatnya mutu jenis pendidikan tersebut layak mendapatkan prioritas.

            Pendidikan menengah kejuruan maupun politeknik mudah tertinggal dari laju perkembangan teknologi, dunia usaha dan dunia industri.  Karena itu dalam kurun waktu tertentu perlu diadakan analisis atas program-progam yang berjalan, untuk mendapatkan perkiraan (prediksi) program-program yang lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan menyesuaikan dengan perkembangan tersebut.

            Pendidikan umum (SLTA dan SLTP) etujuan terutama menyiapkan peserta didik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.  Karen itu, lulusan atau putus sekolah dari pendidikan umum (SLTP maupun SLTA) seringkali sulit memperoleh pekerjaan, apabila selama belajar mereka tidak mendapatkan setidaktidaknya ketrampilan pra kejuruan atau katrampilan awal.

            Dengan ketrampilanawal itu, mereka akanlebih siap untuk mengikuti program pealtihan jabatan kerja tertentu di Balai Latihan kerja atau di perusahaan tempay mereka bekerja.          

            Pendidikan pra kejuruan yang diintegrasikan pada pendidikan umum (vocationalization of general education) dapat merupakan alternatif umtuk  mengatasi kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja.

            Program pendidikan pra kejuruan pada pendidikan umum tersebut hendaknya realistis, disesuaikan dengan pasaran kerja, yang terdapat di daerah tempat pendidikan umum berlangsung.

            Program tersebut bukannya merubah kurikulum nasional, melainkan memanfaatkan kurikulum muatan lokal, yang dimungkinakn oleh Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989, Pasal 38.  Untuk kota-kota besar, di mana banyak suami istri bekerja dari pagi sampai sore / malam, pendidikan umum yang mengintegrasikan pra kejuruan, (dual system) dapat menjadi alternatif untuk menyiapkan peserta didik siap terjun ke dunia kerja.  Namun pendidikan semacam itu membutuhkan industri-industri sebagi institut pasangan di mana peserta didik dapat melakukan praktek kerja.

 

 

IV. KESIMPULAN: STRATEGI PEMECAHANMASALAH

 

1.     Pendidikan yang diselenggarakan oleh  pemerintah maupun masyarakt mempunyai tugas untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, seperti dinyatakan dalam pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sisitem Peendidikan Nasional, yang berbunyi:

            Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

 

Dengan demikian tugas tersebut pendidikan tidak menyiapkan peserta didik menjadi tenaga “Siap Pakai”, dalam arti dapat langsung dimanfaatkan untuk jenis pekerjaan tertentu.  Dalam hal ini perlu diperhatikan wawasan pengembangan potensi sumber daya manusia secara keseluruhannya.  Secara teknis-operasional hal itu juga sangat sulit dilaksanakan, karena dengan demikian pendidikan harus menyediakan aneka macam program sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan yang tersedia atau yang akan dibutuhkan.

Mengingat hal tersebut perlu ada latihan-latihan, yang menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja.  Latihan berfungsi membantu keluaran/lulusan satuan pendidikan untuk menyesuaikan penerapan atau pengembangan bekal-bekal yang diperolehnya dengan kebutuhan atau tuntutan enis pekerjaan yang dilakukan.  Bekal-bekal itu tidak hanya terdiri atas ilmu dan tekhnologi, seni serta ketrampilan, melainkan juga kemampuan berpikir dan bertindak logis, kritis dan secara disiplin, efisien dan produktif.

            Selama ini, pelaksanaan pembinaan pelatihan oleh aparat pemerintah di lapangan masih sering rancu, akibat kerancuan yang terdapat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain PP Nomor 71 dan PP Nomor 73 Tahun 1991.  Kerancuan peraturan tersebut perlu segera dicarikan penyekesaian.  Penyelesaian dapat ditempuh lewat koordinasi pihak-pihak yang bersangkutan berdasarkan aspirasi yang sama.  Apabila cara itu sulit dilaksanakan “mutlak” ditempuh cara lain yang dapat mengatasi masalah ini.  Penyelesaian hendaknya meliputi baik rumusan peraturan maupun penerbitan di lapangan.

            Sebagaimana tanggung jawab dan wewenang pengelolaan system pendidikan nasional diserahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, demikian pula hendaknya tanggung jawab dan wewenag pengelolaan system pelatihan, Menteri Tenaga Kerja menetapkan criteria penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian satuan-satuan pelatihan dalam koordiansi dengan instansi-instansi terkait.

            Dalam rangka menyongsong laju perkembangan ekonomi dan industtri, sektor swasta hendaknya terus didorong untuk meningkatkan peranan dan tanggung jaawab dalam menyelenggarakan dan mengembangkan pelatihan bagi para putus sekolah maupun lulusan sekolah menengah.  Dalam hal ini sekolah Ahli Kejuruan Tekhnologi Industri (SAKTI) di Surabaya, Jawa Timur yang diselenggarakan atas kerja sama sejumlah perusahaan kecil dan menengah sejenis dapat dijadikan model.

 

3.  Dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja, pendidikan menengah kejuruan dan politeknik yang semakin bertambah jumlah eminat maupun satuan pendidikannya, hendaknya terus ditingkatkan mutu tenaga kependidikan dan sarana prakteknya.  Program-program pendidikan menengah kejuruan dan politeknik hendaknya diupayakan senantiasa akomodatif terhadap perkembangan dunia usaha dan industri,  agar lulusan mampu mengisi jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan.  Untuk mendukung upaya itu Departemen Tenaga Kerja diharapkan membantu menyediakan data dan informasi tentang kebutuhan actual maupun yang akan dating akan jenis-jenis pekerjaan di sektor jasa, industri, perbankan, dan lain-lainnya.

            Untuk membantu peserta didik pendidikan umum (SLTP dan SLTA) yang tidak mampu menyelesaikan atau meneruskan studi mereka dan bermaksud bekerja, kepada mereka itu selama proses pendidikan dapat diberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan pra kejuruan.  Bekal pengetahuan dan ketrampilan ini disesuaikan dengan peluang nyata, yang terdapat di lingkungan belajar dan tempat tinggal peserta didik.  Program pembekalan ini dapat menggunakan kurikulum muatan local.

 

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA