MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN GURU YANG PROFESIONAL

BAB I: PENDAHULUAN

Makin menjadi konsensus umum bahwa upaya untuk meningkatkan mutu Pendidikan Nasional sangat tergantung dari peran tenaga kependidikan dan khususnya guru. Dirasakan bahwa segala keinginan untuk melaksanakan perbaikan selalu terbentur pada kondisi dan kemampuan guru yang belum sesuai dengan peran yang harus dimainkan. Dengan perkataan lain, guru pada umumnya belum menjalankan fungsinya secara profesional.

Untuk membentuk korps guru yang profesional, baik dari para guru yang sudah ada maupun yang masih harus diadakan, perlu dipenuhi tiga syarat utama, yaitu:

1. Harus ada pendidikan untuk menjadikan guru sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan, demikian pula pendidikan untuk menjadikan guru yang sudah ada menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan.

2. Harus ada penghasilan dan kesejahteraan pada umumnya yang lebih sesuai dengan peran penting yang dimainkan guru.

3. Harus ada perbaikan status sosial guru sehingga profesi guru kembali dihormati oleh masyarakat dan mempunyai daya tarik cukup kuat untuk dijadikan pilihan studi serta kehidupan bagi lebih banyak lulusan terbaik dari berbagai jenjang pendidikan lainnya.

Mengingat bahwa sudah ada Memorandum Pandangan yang berjudul Peningkatan Profesionalisme Guru Indonesia pada Abad Ke-21 yang dihasilkan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) pada tahun 1999, maka Saran Pertimbangan ini tidak akan mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan dalam Memorandum Pandangan tersebut. Oleh sebab itu, Saran Pertimbangan ini menitikberatkan pada penyelenggaraan Pendidikan Guru yang Profesional dan tidak lagi membicarakan masalah kesejahteraan dan status sosial Guru. Hal itu berarti, Saran Pertimbangan ini mengasumsikan bahwa dua hal tersebut telah terpenuhi atau masih sedang diperjuangkan.

Dalam membicarakan pendidikan guru yang profesional juga akan dibahas mengapa kewibawaan guru telah makin merosot dibandingkan dengan 40-50 tahun yang lalu.

Pengertian profesional yang ingin dicapai melalui pendidikan guru meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Memiliki keahlian di bidangnya dan menguasai kompetensi teknik serta mampu menghadapi berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam melaksanakan pekerjaannya.

2. Mempunyai tanggung jawab moral atas penggunaan kompetensinya.

3. Ada komitmen kuat untuk melaksanakan profesinya.

4. Mampu menghasilkan produk yang diakui manfaat dan mutunya oleh masyarakat.

5. Berperilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi dan moral keahliannya.

Keahlian profesional tidak identik dengan kesarjanaan. Seseorang dapat menjadi tenaga profesional dalam suatu bidang, tanpa harus menjadi sarjana. Sebaliknya seorang sarjana tidak dengan sendirinya harus seorang profesional, yaitu jika ia tidak memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan pengertian profesional tersebut di atas. Namun demikian karena makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengaruhnya yang amat besar bagi kehidupan, maka akan lebih baik apabila keahlian profesional disertai kesarjanaan dalam profesi tersebut.

Dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dikenal aneka macam guru yang semuanya seharusnya adalah pendidik yang profesional. Namun dari sekian macam guru, yang paling mendasar perannya adalah guru Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak (TK). Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik pada masa bersekolah di TK dan SD meletakkan landasan baginya untuk pendidikan yang lebih lanjut dan bahkan berpengaruh di masa-masa mendatang. Dalam kaitan itu, Saran Pertimbangan ini menitikberatkan pada pendidikan guru untuk menjadi guru kelas dan guru mata pelajaran.

BAB II: PERMASALAHAN

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan guru yang profesional dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Wajib belajar pendidikan dasar ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), Pasal 14 ayat (2) yang berbunyi, Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Wajib Belajar tersebut mengharuskan Pemerintah RI untuk melaksanakan Pendidikan Dasar bagi semua anak Indonesia yang berumur kira-kira 7-15 tahun. Berdasarkan “Data Pokok Pendidikan Tahun 1999/2000”, terbitan Balitbang Depdiknas, diketahui jumlah siswa SD Negeri sebanyak 23.688.794 orang, dan jumlah siswa SLTP Negeri sebanyak 5.392.172 orang. Hal itu berarti bahwa jumlah siswa SD dan SLTP yang harus dididik banyak sekali dan diperlukan banyak guru SD dan SLTP.

2. Pendidikan guru melalui Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) tidak mencapai tujuan yang diinginkan karena jumlah yang dihasilkan tidak seimbang dengan kebutuhan. Di samping itu banyak lulusan IKIP tidak berminat menjadi guru SD karena penghasilannya yang dianggap kurang sesuai dengan tingkat kesarjanaannya. Kondisi itu mengakibatkan banyak lulusan IKIP tidak menjalankan profesi sebagai guru dan terutama bukan sebagai guru SD.

3. Pendidikan Guru melalui Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan sekolah guru lainnya pada jenjang pendidikan menengah dinilai kurang mempersiapkan calon guru dengan ilmu pengetahuan yang memadai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin maju. Berdasarkan penilaian itu maka pemerintah telah mengakhiri pendidikan guru pada jenjang pendidikan menengah. Lulusan SPG diwajibkan menambah pendidikannya dengan mengikuti pendidikan tingkat Diploma II (D-II).

4. Dalam kenyataan masih banyak lulusan pendidikan guru tingkat menengah yang belum dapat melaksanakan pendidikan tingkat D-II. Selain itu, di daerah tertentu ada kebutuhan guru lulusan pendidikan menengah, karena umumnya guru yang berstatus Sarjana atau D-II terbatas jumlahnya dan kurang bersedia untuk menjalankan pekerjaan di daerah-daerah terpencil. Pendapat itu diperkuat oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa sebagian guru dari luar daerah yang ditempatkan di daerah-daerah tertentu tidak betah karena kurang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan setempat.

5. Salah satu sebab menurunnya kewibawaan guru, khususnya Guru SD, adalah karena guru tidak lagi menjadi satu-satunya tempat bertanya bagi masyarakat di lingkungannya. Pada tingkat desa dan kecamatan, guru disaingi pamornya dalam status pendidikan oleh camat yang lulusan APDN, DANRAMIL lulusan Akademi Militer dan Penyuluh Pertanian Lapangan yang sarjana. Faktor persaingan ini makin lama makin banyak dan dipengaruhi oleh semakin meningkatnya status pendidikan yang dimiliki para anggota masyarakat.

6. Permasalahan mendasar tentang pengembangan pendidikan guru yang profesional berkisar pada pertanyaan: pendidikan guru itu harus berstatus apa untuk dapat menjawab berbagai kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan khususnya Wajib Belajar 9 tahun.

7. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah substansi pendidikan guru tersebut agar lulusannya dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan syarat-syarat profesionalisme yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan.

8. Budaya pendidikan perlu mendapat pembaruan sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan masa kini dan masa depan harus berorientasi atau berfokus kepada peserta didik. Peran guru tetap penting tetapi berubah menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing bagi peserta didik.

BAB III: PEMBAHASAN

Usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional, khususnya dalam sistem persekolahannya, sangat tergantung pada keberhasilan kita membentuk guru sebagai profesi yang dijalankan dengan penuh kebanggaan serta percaya diri. Sebab itu kita harus membentuk guru yang profesional untuk segala bidang pengajaran, khususnya guru kelas dan guru mata pelajaran.

Sesuai dengan perkembangan zaman yang terutama dipengaruhi oleh kemajuan teknologi serta perubahan dalam pandangan hidup, maka diperlukan pembaruan budaya pendidikan. Budaya pendidikan baru yang harus ditegakkan berorientasi pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sebaik-baiknya dengan memanfaatkan segala faktor yang tersedia. Dalam hubungan itu peran guru tetap penting tetapi mengalami perubahan. Kalau tadinya guru menjadi sumber utama penyampaian ilmu kepada peserta didik, maka dalam budaya pendidikan baru guru terutama menjadi fasilitator bagi peserta didik untuk memperoleh ilmu. Selain itu menjadi motivator dan pembimbing bagi peserta didik dalam perluasan pengetahuannya. Guru merangsang peserta didik untuk mengembangkan kreativitasnya dan mengubah potensinya menjadi kemampuan dan kekuatan. Guru membantu peserta didik dalam mengukur kemajuan pelajarannya dan memberikan petunjuk dalam melaksanakan kurikulum.

Dalam hubungan itu perlu ada pendidikan guru profesional yang sesuai dengan maksud tersebut. Untuk mewujudkan guru profesional itu adalah ideal kalau semua guru adalah sarjana lulusan pendidikan tinggi. Akan tetapi kita tidak dapat mengabaikan kenyataan yang kita hadapi.

Dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut perlu ditetapkan pembentukan guru kelas sebagai sasaran utama dan pembentukan guru mata pelajaran sebagai sasaran kedua. Guru kelas mempunyai peran penting karena memimpin dan mendidik peserta didik TK dan SD kelas 1 hingga kelas 3, sehingga menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak selanjutnya. Sedangkan guru mata pelajaran mendidik mata pelajaran tertentu dari SD kelas 4 ke atas dan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermutu.

Berdasarkan budaya pendidikan baru yang menjadikan peserta didik sebagai titik berat atau fokus dari seluruh usaha pendidikan, para guru dibiasakan untuk memimpin peserta didiknya dengan mengaktifkan mereka dalam setiap mata pelajaran. Guru sebagai fasilitator memberikan bimbingan dan dorongan agar peserta didik secara bersama-sama menghasilkan satu kesimpulan atau produk bersama. Kebiasaan lama yang memperlihatkan guru yang aktif dan peserta didik yang pasif harus ditinggalkan. Namun guru perlu menjadi teladan bagi peserta didik, sebab itu perilakunya sehari-hari dengan sesama guru dan dengan para peserta didik bahkan dengan pihak lain harus selalu dijaga agar menimbulkan respek peserta didiknya. Dalam pada itu guru harus meninggalkan kebiasaan buruk yang cenderung untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang dikatakan. Bahkan guru harus mampu menimbulkan kebiasaan pada peserta didik untuk sanggup mengutarakan pendapatnya secara jujur dan teratur, baik secara lisan maupun secara tulisan, termasuk dalam bentuk karangan. Seiring dengan itu guru harus bersedia menerima umpan balik dari peserta didik dan masyarakat tentang kinerja dan perilakunya. Makin dewasa umur peserta didik, makin harus terwujud sikap guru sebagai kakak yang membantu adiknya.

I. Sasaran Pertama: Guru Kelas

Untuk mencapai sasaran utama yaitu pembentukan guru kelas, ada tiga macam sarana.

a. Sarana Pertama

Dalam kenyataan dihadapi banyak guru lulusan pendidikan menengah yang masih harus mencapai status D-II. Di pihak lain para sarjana lulusan IKIP atau dengan nama baru Universitas Negeri pada umumnya menjadi guru bidang studi tertentu sebagai konsekuensi struktur pendidikan di IKIP dalam hal ini Universitas Negeri. Pada umumnya lulusan IKIP tidak berminat menjadi guru SD kecuali di beberapa SD swasta yang memberikan penghasilan setara dengan para ahli setingkat sarjana lainnya.

Sebenarnya lulusan SPG cukup baik pengetahuan dan kemampuannya untuk mengajar di SD. Sebab itu dalam sarana pertama fokus pengembangan pendidikan guru profesional diarahkan pada peningkatan mutu semua guru lulusan pendidikan menengah yang masih ada dengan umur maksimum 40 tahun. Guru-guru tersebut harus memperoleh pendidikan profesional guru selama kurang lebih dua tahun.

Pendidikan ini dapat dilakukan dengan dua kemungkinan: (1) dapat diusahakan untuk mempergunakan gedung dan tenaga pengajar eks SPG yang sekarang sudah beralih status menjadi SMU dan SMK, (2) melakukan pendidikan tersebut di fakultas ilmu pendidikan di universitas negeri bekas IKIP atau universitas lainnya yang memiliki Fakultas Ilmu Pendidikan. Pilihan antara dua alternatif ini diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah.

Substansi pendidikan profesional bagi lulusan SPG tersebut dibagi dalam satu tahun teori dan satu tahun praktek mengajar dan peningkatan kepribadian. Praktek mengajar dan peningkatan kepribadian ini merupakan bagian yang sangat menentukan dalam pendidikan guru profesional. Guru harus cakap berkomunikasi dengan kelas dan peserta didik. Tidak mungkin ada guru profesional yang tidak cakap dapat berdiri di depan kelas membawa peserta didik kelas itu untuk memberikan minatnya secara maksimal kepada hal-hal yang hendak dipelajari. Oleh sebab itu praktek mengajar dan peningkatan kepribadian harus merupakan syarat utama untuk lulus dari pendidikan guru profesional.

Untuk kepentingan praktek mengajar harus ditetapkan SD Latihan (bandingkan dengan Leerschool) yang jumlahnya sebanding dengan banyaknya orang yang harus melakukan praktek mengajar. Selain itu harus ada pengawasan dan bimbingan dari para guru senior dan profesional sehingga praktek mengajar mencapai tujuannya. Peningkatan kepribadian dilakukan oleh para guru senior dan berbagai pihak lainnya yang dianggap mempunyai keahlian di bidangnya.

Lulusan SPG yang telah mengikuti dan lulus pendidikan guru profesional mendapat status D-II.

b. Sarana Kedua

Sarana kedua adalah pembentukan guru kelas melalui Teacher’s College atau Akademi Pendidikan Guru (APG) yang berlangsung selama dua tahun setelah lulus SMU/SMK.

Teacher’s College ini diselenggarakan melalui pendidikan berasrama atau diselenggarakan di Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas dalam bentuk program D-II. Dalam pada itu diharapkan agar usaha perbaikan penghasilan dan kesejahteraan guru, khususnya guru SD, sudah mulai berjalan baik. Mahasiswa yang diterima di Akademi Pendidikan Guru (APG) atau di fakultas ilmu pendidikan di universitas adalah lulusan pendidikan menengah tingkat atas, baik SMU maupun SMK yang berminat menjadi guru. Dalam rangka itu, diadakan ujian atau tes masuk yang bersifat teori atau tertulis dan lisan berupa wawancara. Di samping itu diadakan ujian kesehatan jasmani karena di kemudian hari pada saat menjadi guru kelas di SD, mereka juga harus mengajarkan olahraga.

Sukses dari pembentukan Akademi Pendidikan Guru dijamin dengan kenyataan bahwa setiap lulusannya langsung mendapat pekerjaan sebagai guru setelah tamat.

Lulusan Akademi Pendidikan Guru atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas harus menjadi guru kelas di SD, artinya mampu mengajarkan semua mata pelajaran kecuali pelajaran agama. Dari sudut teori APG atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas harus menyiapkan calon guru agar mampu mengajarkan semua mata pelajaran dengan baik. Namun yang lebih utama adalah praktek mengajar yang harus membuktikan bahwa calon guru memang siap menjadi guru SD yang baik. Oleh sebab itu semua SD Latihan yang digunakan untuk meningkatkan mutu lulusan SPG harus juga dimanfaatkan oleh APG atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas. Dalam hal ini perlu ada koordinasi yang erat antara Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), sebab APG atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas akan masuk dalam wewenang Ditjen Dikti, sedangkan SD Latihan ada di bawah Ditjen Dikdasmen. Pembentukan kepribadian harus juga diadakan bagi calon guru yang mengikuti pendidikan tersebut.

Meskipun lulusan APG atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas bukan sarjana, namun penghasilan yang diterima sebagai Guru SD harus ditetapkan sesuai dengan pekerjaan yang dijalankan. Penentuan penghasilan permulaan guru SD sebaiknya antara Rp. 800.000 - Rp. 1.000.000 tanpa melihat status pendidikannya. Apabila lulusan APG atau D-II Fakultas Ilmu Pendidikan menunjukkan bukti profesionalisme tinggi sebagai guru SD, maka ia dapat melanjutkan studi mengambil tingkat Strata 1 di universitas negeri atau lembaga pendidikan tinggi lainnya. Hal ini juga berlaku bagi lulusan SPG yang lulus dari pendidikan guru profesional yang diadakan sebagai sarana pertama.

c. Sarana Ketiga

Sarana ketiga adalah pembentukan guru kelas yang dilakukan melalui pendidikan Strata 1 (S1) di Sekolah Tinggi Guru (STG) atau di Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas setelah lulus SMU/SMK selama 4 tahun.

Hal ini akan menghasilkan guru SD yang dilihat dari aspek keilmuan berstatus sarjana, sebagaimana yang diharapkan. Walaupun demikian praktek mengajar tetap harus merupakan bagian utama dari pendidikan guru, sebab profesionalisme guru terletak pada kecakapannya mengajar atau memimpin kelas. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan STG, tahun terakhir ditetapkan sebagai pendidikan profesional untuk guru. Atau pada Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas diadakan pendidikan dan pengembangan profesi guru yang bertujuan untuk mewujudkan profesionalisme guru, yaitu kecakapan mengajar atau memimpin kelas.

II. Sasaran Kedua: Guru Mata Pelajaran

Di samping masalah guru kelas untuk SD perlu ada perhatian untuk guru Mata Pelajaran (MP). Untuk SD kelas 4 ke atas, SLTP dan SMU/SMK, pengajaran dilakukan guru MP. Guru MP meliputi semua mata pelajaran yang diberikan, termasuk Olahraga, Matematika, Ilmu Sosial, Biologi, Fisika, Kimia, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Asing, Agama dan Kesenian.

Agar diperoleh mutu keahlian yang tinggi dalam mata pelajaran masing-masing, sebaiknya guru MP adalah sarjana dalam mata pelajaran yang bersangkutan dan/atau orang yang sangat kompeten (seperti dalam Kesenian dan Bahasa Daerah). Dengan begitu guru MP Matematika umpamanya adalah seorang sarjana MIPA atau sarjana teknik, Guru MP Ekonomi adalah Sarjana Ekonomi dan lainnya. Guru MP Agama adalah sarjana lulusan IAIN, Sekolah Tinggi Theologi/Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Kristen Protestan, Seminari Tinggi, dan sebagainya. Untuk guru MP Kesenian dapat diambil seorang yang kompetensi keahliannya diakui oleh masyarakat keseniannya, sekalipun bukan sarjana. Akan tetapi untuk menjadi guru profesional mereka harus mengambil brevet atau bukti keahlian guru profesional. Untuk itu mereka menempuh pendidikan selama satu tahun di STG, Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas/lembaga pendidikan atau di lembaga lain yang setara.

Mengingat faktor globalisasi dan meningkatnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi (komputer dan internet) maka pendidikan guru profesional harus memperhatikan kemampuan guru dalam penggunaan teknologi informasi serta penguasaan Bahasa Inggris secara baik.

Dalam upaya melaksanakan pendidikan dan pengembangan profesi guru yang bermutu dan diakui secara internasional maka diharapkan agar organisasi profesi guru dapat mengadakan hubungan kerja sama dengan organisasi guru di negara lain untuk menentukan pendidikan dan pengembangan profesi guru yang mutunya diakui secara internasional. Sesuai dengan perkembangan organisasi profesi di Indonesia, di kemudian hari pendidikan dan pengembangan profesi guru menjadi tanggung jawab organisasi profesi guru.

Dalam pada itu diharapkan dan diperkirakan Indonesia sudah pada tahap kemajuan umum yang cukup tinggi, termasuk dalam bidang ekonomi. Oleh sebab itu pada waktu itu penghasilan sarjana sebagai guru tidak boleh kalah dari misalnya sarjana teknik yang bekerja di suatu pabrik. Pada waktu itu diperkirakan bahwa profesionalisme guru menjadi kenyataan di Indonesia, sebab pasti profesionalisme dalam mendidik yang berkembang di SD akan menular ke SLTP, SMU dan bahkan ke Perguruan Tinggi. Hal itu disebabkan pengaruh dari jumlah SD yang begitu banyak sehingga perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikannya akan berdampak pada seluruh aspek pendidikan nasional. Demikian pula hasil pendidikan dan pengembangan profesi guru bagi bukan lulusan STG atau Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas akan memberikan dampak positif untuk perkembangan profesionalisme guru.

Peran kepala sekolah sangat besar untuk mengubah budaya pendidikan ketika para guru harus berubah dari pihak yang aktif menjadi pihak yang mengaktifkan peserta didik. Kalau kepala sekolah tidak memahami betapa pentingnya perubahan budaya pendidikan itu, maka para guru tidak akan dapat menjalankan fungsinya sebagai guru profesional. Di samping itu, peran kepala sekolah sangat penting untuk memimpin sekolahnya yang mendapat otonomi luas dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh sebab itu, kepala sekolah tidak hanya seorang pendidik yang baik tetapi juga seorang manajer dan pemimpin untuk lembaga yang dipimpinnya. Untuk memenuhi keperluan itu perlu segera diadakan penataran kepala sekolah dasar untuk menjadikan mereka pimpinan yang cakap sebagai pendidik dan manajer bagi lembaga yang dipimpinnya.

Bersamaan dengan penataran kepala sekolah diadakan penataran pengawas sekolah agar mereka pun turut serta dalam perubahan budaya sekolah dan tidak sebaliknya malahan menjadi rintangan.

Dengan proses pengembangan pendidikan guru yang profesional itu diperkirakan bahwa wibawa guru akan kembali naik. Sekalipun demikian tidak dapat lagi diharapkan bahwa guru menjadi satu-satunya tempat bertanya bagi lingkungannya. Dunia dan masyarakat sudah sangat berubah dan semua profesi pun berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian profesi guru akan kembali menjadi profesi yang tidak dianggap inferior lagi dalam kehidupan masyarakat, karena dalam kenyataan sudah menghasilkan produk yang dirasakan bermanfaat dan bermutu oleh masyarakat.

Dalam rangka otonomi daerah maka konsep pendidikan guru profesional perlu dilakukan oleh setiap provinsi berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pusat. Sebaiknya daerah tersebut diberikan kebebasan untuk melakukannya.

Untuk pemeliharaan dan peningkatan profesionalisme guru perlu diadakan berbagai pendidikan dan usaha lain oleh organisasi/asosiasi guru.

BAB IV: KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka pengembangan pendidikan guru yang Profesional harus dilakukan melalui tahap-tahap perkembangan dengan memberikan titik berat pada hal-hal yang esensial:

1. Pengembangan pendidikan guru yang profesional akan menegakkan profesi guru dan memulai budaya pendidikan baru.

2. Dalam pengembangan pendidikan guru ada dua sasaran, yaitu pembentukan guru kelas sebagai sasaran utama dan pembentukan guru mata pelajaran sebagai sasaran kedua.

3. Peningkatan mutu lulusan SPG merupakan sarana pertama dari pengembangan pendidikan guru yang profesional. Untuk itu diadakan pendidikan yang dapat dilakukan dengan memilih di antara dua alternatif, yaitu: (a) dapat diusahakan untuk mempergunakan gedung dan tenaga pengajar eks SPG yang sekarang sudah beralih status menjadi SMU dan SMK, (b) melakukan pendidikan tersebut di Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas negeri bekas IKIP atau universitas lainnya yang memiliki Fakultas Ilmu Pendidikan. Pilihan antara dua alternatif ini diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah. Titik berat pendidikan terletak pada praktek mengajar berdasarkan budaya pendidikan baru, yaitu guru dapat mengaktifkan peserta didiknya dalam berbagai kegiatan dan studi di kelas dan lingkungannya.

4. Perlu ada SD Latihan yang tetap bagi setiap pendidikan guru profesional untuk membiasakan para guru melaksanakan budaya pendidikan baru. Untuk keperluan tersebut para guru pembimbing harus pula mendapat penataran tentang budaya pendidikan baru.

5. Guru-guru yang lulus dengan baik ditempatkan sebagai guru kelas di SD dengan penghasilan antara Rp. 800.000 - Rp. 1.000.000 sehingga diharapkan mutu pendidikan SD mulai meningkat secara luas.

6. Apabila yang tersebut pada butir 3 dan 4 kurang mencapai tujuan, maka ada alternatif lain untuk perbaikan mutu guru, yaitu melalui penataran para kepala sekolah tentang budaya pendidikan baru. Kemudian, para kepala sekolah itu nanti di dalam memimpin sekolahnya masing-masing melaksanakan budaya pendidikan baru dan juga menjadi manajer yang baik dengan mendidik para guru yang ada di sekolah tersebut (yang dipimpinnya). Dalam hal ini, maka pelaksanaan butir 5 disesuaikan dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan para guru SD.

7. Sarana kedua dalam pembentukan guru kelas adalah melalui Teacher’s College atau akademi pendidikan guru (APG) yang berasrama atau di fakultas ilmu pendidikan di universitas dalam bentuk program D-II. Peserta didik diterima dari SMU/SMK melalui ujian lisan dan tulisan, termasuk wawancara untuk menelusuri minat menjadi guru serta ujian jasmani. Pendidikan dilakukan selama dua tahun.

8. APG atau program D-II Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas hendaknya menghasilkan guru SD untuk berfungsi sebagai guru kelas yang mengajar semua mata pelajaran, kecuali pelajaran Agama. Oleh sebab itu di samping perlu pendidikan teori yang memadai, praktek mengajar harus terus dilaksanakan untuk memperoleh profesionalisme guru yang tinggi.

9. Sarana ketiga dalam pembentukan guru kelas adalah melalui pendidikan Strata 1 (S1) selama 4 tahun setelah lulus SMU/SMK. Pendidikan S1 dapat melalui Sekolah Tinggi Guru (STG) atau Fakultas Ilmu Pendidikan yang membentuk Guru SD berstatus sarjana, namun tetap yang menjadi inti pendidikan adalah praktek mengajar. Untuk itu di STG ditetapkan adanya pendidikan dan pengembangan profesi guru selama satu tahun, atau pada Fakultas Ilmu Pendidikan di universitas ditetapkan adanya penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan profesi guru yang bertujuan untuk mewujudkan profesionalisme guru, yaitu kecakapan mengajar atau memimpin kelas. Dengan perkembangan itu, diharapkan profesionalisme guru berkembang baik di Indonesia, sehingga baik tingkat intelektualitas, status sosial, maupun penghasilannya tidak kalah dari profesi lainnya dalam masyarakat.

Dalam upaya menangani pendidikan guru yang profesional ini, termasuk penentuan SD Latihan yang diperlukan untuk praktek calon guru, perlu dilakukan koordinasi yang baik antara Ditjen Dikti dan Ditjen Dikdasmen.

1. Guru Mata Pelajaran diambil dari sarjana menurut bidang keahliannya atau dalam hal kesenian dan bahasa daerah dapat pula diambil dari orang yang diakui tinggi kompetensinya dalam bidangnya. Namun untuk menjadi guru mereka harus lebih dulu mengambil brevet guru profesional dengan mengikuti pendidikan guru profesional yang diselenggarakan STG atau fakultas pendidikan di universitas atau lembaga lain yang setara.

2. Pada dasarnya guru dapat berasal dari semua daerah di Indonesia untuk mengajar di semua sekolah, akan tetapi mengingat kondisi yang dihadapi, sebaiknya untuk daerah-daerah tertentu dapat diberi keleluasaan bagi Guru untuk dapat mengajar di daerahnya sendiri.

3. Lulusan APG atau program D-II Fakultas Ilmu Pendidikan yang mengikuti pendidikan dan pengembangan profesi guru dapat melanjutkan studinya untuk mencapai pendidikan Strata 1, apabila menunjukkan bukti bahwa pekerjaannya sebagai guru SD bermutu tinggi.

4. Untuk mewujudkan pendidikan dan pengembangan profesi guru yang bermutu dan diakui secara internasional perlu dilakukan kerja sama antara organisasi profesi guru di Indonesia dengan organisasi profesi sejenis di negara lain. Sesuai dengan perkembangan organisasi profesi di Indonesia, di masa depan pendidikan dan pengembangan profesi guru menjadi tanggung jawab dan diselenggarakan oleh organisasi profesi guru.

5. Dalam rangka otonomi daerah maka pendidikan guru profesional perlu dilakukan oleh setiap provinsi berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Pusat.

6. Dalam upaya memelihara dan meningkatkan profesionalisme guru perlu diadakan berbagai pendidikan dan upaya lainnya untuk menumbuhkan keahlian di bidangnya dan menguasai kompetensi teknik serta mampu menghadapi berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam melaksanakan pekerjaannya. Khususnya kemampuan menggunakan Teknologi Informasi serta penguasaan Bahasa Inggris menjadi amat penting. Hal ini dilakukan antara lain melalui kursus-kursus oleh organisasi/asosiasi guru, termasuk penentuan SD Latihan untuk praktek pendidikan guru.

DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK

Sayidiman Suryohadiprojo (Ketua Kelompok)

Pdt. Weinata Sairin (Sekretaris Kelompok)

KH. Ali Yafie (Anggota)

Soetjipto Wirosardjono (Anggota)

F.X. Soedijana (Anggota)

Mien Rachman Uno (Anggota)

K.H. Sahal Mahfudh (Anggota)

Umar Anggara Jenie (Anggota)

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA