PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU INDONESIA PADA ABAD 21

.

KATA PENGANTAR

Peranan guru sangat penting artinya dan merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan pendidikan. Sejalan dengan era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat dan makin canggih, dengan peran yang makin luas maka diperlukan guru yang mempunyai karakter. Berawal dari proses pendidikan guru, yang nantinya akan menghasilkan tenaga guru yang profesional dan berkarakter.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, permasalahan utama yang akan dibahas dalam memorandum pandangan ini adalah peningkatan profesional guru Indonesia pada abad ke-21. Pemerintah senantiasa berupaya memberikan kesempatan belajar bagi para guru untuk memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan mereka. Hal ini pun tidak terlepas dari upaya peningkatan kehidupan sosial mereka. Dengan meningkatnya kehidupan sosial para guru diharapkan agar guru dapat lebih profesional dan berkonsentrasi pada kegiatan belajar mengajar.

Memorandum pandangan ini memuat pemikiran, pandangan, pendapat, usul dan saran dari para anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) sebagai hasil dari pengkajian terhadap berbagai kebijakan yang bersifat nasional maupun lokal dari berbagai daerah, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan profesionalitas guru Indonesia pada abad ke-21.

Untuk merumuskan memorandum pandangan ini BPPN mempercayakan kepada Kelompok Kerja yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ahmad Amiruddin, dan Bapak Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. sebagai sekretaris, dengan anggota adalah Bapak Prof. K.H. Ali Yafie; Bapak Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjosoemantri, S.H.,M.L.; Bapak Drs. GBPH Poeger; dan Bapak K.H. MA Sahal Mahfudh.

BPPN mengharapkan agar buah pikiran serta saran-saran yang disajikan dalam memorandum pandangan ini dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan pendidikan.

Jakarta, Juli 1999

.

Awaloedin Djamin

Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

.

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Era globalisasi abad 21 yang akan melanda semua negara menuntut kesiapan masyarakat secara memadai. Bangsa yang masyarakatnya tidak siap hampir bisa dipastikan akan jatuh oleh dahsyatnya perubahan alam dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai cirikhas globalisasi itu sendiri. Karena itulah maka setiap negara dan bangsa harus meningkatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki serta kemampuan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.

Bangsa Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang serba melimpah. Dengan kekayaan laut yang berlebih, kekayaan bumi yang melimpah, kekayaan hutan yang membanggakan dan kekayaan alam lainnya yang serba memadai merupakan bukti dimilikinya keunggulan komparatif secara optimal. Di sisi lain ternyata dimilikinya keunggulan komparatif yang optimal itu tidak diimbangi dengan keunggulan kompetitif yang handal hingga perjalanan bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan pada berbagai bidang kehidupan banyak mengalami kendala. Itulah sebabnya, bangsa Indonesia ditantang dapat meningkatkan daya saing dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resources) yang dimilikinya.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka metode yang paling efektif serta pilihan yang paling tepat ialah meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hal ini guru menjadi tumpuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hanya dengan guru yang profesional maka pelaksanaan pendidikan nasional dapat ditingkatkan mutunya; dan hanya dengan pelaksanaan pendidikan nasional yang bermutu maka kualitas manusia dapat ditingkatkan. Dengan manusia yang berkualitas inilah bangsa Indonesia akan mempunyai daya saing yang memadai di abad 21.

Secara luas, guru bermakna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadiannya. Di dalam pengertian yang terbatas, guru diartikan sebagai sosok individu yang berada di depan kelas untuk mengajar para peserta didik. Sementara itu menurut Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru merupakan tenaga pendidik yang bertugas untuk membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik.

Pada abad 21 nanti maka tantangan guru tidak ringan, akan tetapi semakin berat; di sisi lain tugas guru tidak sederhana tetapi semakin kompleks. Untuk menghadapi tantangan yang semakin berat dan tugas yang semakin kompleks itulah maka profesionalisme guru harus dapat ditingkatkan dari yang sudah ada selama ini.

Secara umum, selama ini kesejahteraan guru di Indonesia yang relatif rendah kalau dibanding dengan kesejahteraan kaum profesional lain diperkirakan telah menjadi kendala paling mendasar dalam upaya riil peningkatan profesionalisme guru. Relatif rendahnya kesejahteraan guru diperkirakan telah berpengaruh pada aktivitas guru baik di dalam kelas, di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Relatif rendahnya kesejahteraan guru telah menjadikan aktivitasnya kurang optimal dan produktif.

Secara lebih khusus, sistem pengadaan guru, sistem pengelolaan guru, dan sistem pengembangan karir guru yang belum dapat dikelola secara profesional juga menjadi kendala tersendiri dalam upaya-upaya peningkatan profesionalisme guru.

Pada abad 21 nanti, ketika profesionalisme guru menjadi prasyarat utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional maka hal-hal yang berkait dengan upaya peningkatan kualitas guru harus sudah bisa diklarifikasi. Dengan kata lain pada abad 21 sistem kesejahteraan guru di Indonesia haruslah dapat ditangani secara lebih baik sehingga benar-benar sebanding dengan beratnya tantangan serta kompleksnya tugas; begitu pula sistem pengadaan, pengelolaan, dan pengembangan karir guru harus ditangani secara baik pula sehingga dapat memotivasi guru untuk berperilaku secara profesional.

.

B. PERUMUSAN MASALAH

Secara umum permasalahan kesejahteraan diperkirakan berpengaruh pada aktivitas guru yang pada akhirnya secara tidak langsung akan mempengaruhi profesionalismenya. Permasalahan ini dapat diformulasi sebagai berikut: "Sejauh manakah tingkat profesionalisme guru sekarang ini, serta sejauh mana kesejahteraan berpengaruh terhadap profesionalisme guru dalam mengembangkan penampilan profesinya?" Pada sisi yang lain secara lebih khusus terdapat berbagai permasalahan yang dapat diformulasi sebagai berikut.

1. Sejauh manakah sistem pengadaan guru di Indonesia berpengaruh kepada profesionalisme guru di dalam mengembangkan profesinya? Apakah sistem pengadaan guru selama ini sudah dilakukan secara profesional, ataukah masih banyak hal yang perlu dibenahi? Sejauh manakah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) telah menjalankan fungsi pendidikannya?

2. Sejauh manakah sistem pengelolaan guru di Indonesia berpengaruh kepada profesionalisme guru di dalam mengembangkan profesinya? Apakah sistem pengelolaan guru selama ini sudah dilaksanakan secara profesional, ataukah masih banyak hal yang perlu dibenahi? Sejauh manakah efektivitas sistem multidepartementasi dalam apli-kasinya di lapangan?

3. Sejauh manakah sistem pengembangan karir guru di Indonesia berpengaruh kepada profesionalisme guru di dalam mengembangkan profesinya? Apakah sistem pengembangan karir guru selama ini sudah dilakukan secara profesional,ataukah masih banyak hal yang perlu dibenahi? Sejauhmanakah efektivitas sistem ganjaran terhadap guru selama ini?

.

BAB II: LANDASAN TEORI

A. KARAKTERISTIK GURU ABAD 21

Dalam abad 21 nanti setiap bangsa akan mendapatkan tantangan kehidupan yang semakin berat; oleh karena itu setiap bangsa haruslah memiliki daya saing yang tinggi bagi masyarakatnya. Di sisi yang lain masyarakat yang memiliki daya saing tinggi tersebut hanya tercapai apabila memenuhi persyaratan sbb: (a) masyarakatnya terbangun dari manusia yang berwawasan global, menguasai iptek, berkompentensi, kreatif dan produktif, (b) masyarakatnya terbangun dari manusia yang mampu berkinerja dalam tim kerja yang kreatif, (c) masyarakat yang menghargai manusia berdasarkan kemampuannya dan bukan asal usulnya, serta (d) masyarakat dengan kehidupan religius dalam suasana demokratis dan keterbukaan.

Secara timbal balik kondisi masyarakat suatu bangsa berpengaruh pada kualitas pendidikan. Pendidikan dalam abad 21 akan mengalami pergeseran paradigma dengan tanda-tanda sbb: (a) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (b) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (c) dari citra hubungan di antara guru siswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (d) dari pengajaran yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) pada penekanan keseimbangan dengan pendidikan nilai, (e) dari kampanye melawan buta aksara dan angka kepada kampanye buta teknologi dan budaya, (f) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (g) dari konsentrasi ekslusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama (Makagiansar, 1996: 1-20).

Perubahan paradigma pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran guru karena berbagai informasi terkini senantiasa mengalir kepada siswa atas kerja keras yang dilakukannya. Bahwa di luar itu ada media lain yang membantu siswa bukan berarti peran guru harus ditiadakan.

Memang harus diakui dalam maraknya arus informasi pada masa kini, guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi tetapi merupakan salah satu sumber informasi. Meskipun demikian perannya di dalam proses pendidikan masih tetap diperlukan, khususnya yang berkenaan dengan sentuhan-sentuhan psikologis dan edukatif terhadap anak didik. Oleh karena itu, pada hakekatnya guru itu dibutuhkan oleh setiap orang dan semua orang sangat mengharapkan kehadiran citra guru yang ideal di dalam dirinya.

Untuk itu, guru akan lebih tetap berperan sebagai pendidik sekaligus berperan sebagai manager atau fasilitator pendidikan, oleh sebab itu guru harus sanggup merencanakan, melaksanakan dan mengawasi sumber daya pendidikan agar supaya peserta didik dapat belajar secara produktif.

Citra guru mempunyai arti sebagai suatu penilaian yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan sosok pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja. Citra guru ini tercermin melalui keunggulan mengajar, memiliki hubungan yang harmonis dengan peserta didik, serta memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesama teman seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan profesional. Dari sudut pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa memberi motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan, penuh kasih sayang, serta mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan.

Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi citra guru tersebut dapat diidentifikasi sbb: (a) kesejahteraan, khususnya imbal jasa yang diperoleh karena sang guru tidak mungkin mengabaikan kesejahteraan keluarga dan dirinya, (b) rasa aman di dalam menjalankan tugas, (c) hubungan antarpribadi, (d) kondisi lingkungan kerja, (e) kesempatan untuk mengembangkan diri, serta (f) status sosial yang layak.

Jelaslah bahwa abad 21 menuntut peran guru yang semakin tinggi dan optimal. Sebagai konsekuensinya, guru yang tidak bisa mengikuti perkembangan alam dan jaman akan semakin tertinggal sehingga tidak bisa lagi memainkan perannya secara optimal dalam mengemban tugas dan menjalankan profesinya.

Guru di abad 21 memiliki karakteristik yang spesifik dibanding dengan guru pada abad-abad sebelumnya. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Memiliki semangat juang dan etos kerja yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketakwaan yang mantap.

2. Mampu memanfaatkan iptek sesuai tuntutan lingkungan sosial dan budaya di sekitarnya.

3. Berperilaku profesional tinggi dalam mengemban tugas dan menjalankan profesi.

4. Memiliki wawasan ke depan yang luas dan tidak picik dalam memandang berbagai permasalahan.

5. Memiliki keteladanan moral serta rasa estetika yang tinggi.

6. Mengembangkan prinsip kerja bersaing dan bersanding.

Untuk dapat berperilaku profesional dalam mengemban tugas dan menjalankan profesi maka terdapat lima faktor yang harus senantiasa diperhatikan; (1) sikap keinginan untuk mewujudkan kinerja ideal, (2) sikap memelihara citra profesi, (3) sikap selalu ada keinginan untuk mengejar kesempatan-kesempatan profesionalisme, (4) sikap mental selalu ingin mengejar kualitas cita-cita profesi, serta (5) sikap mental yang mempunyai kebanggaan profesi. Kelima faktor sikap mental ini memungkinkan profesionalisme guru menjadi berkembang.

Karakter ideal serta perilaku profesional tersebut tidak mungkin dapat dicapai apabila di dalam menjalankan profesinya sang guru tidak didasarkan pada panggilan jiwa.

.

B. KESEJAHTERAAN GURU

Pengabdian guru di Indonesia yang dikenal tinggi ternyata belum dapat terimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. Gaji yang rendah, nafkah yang sering datang terlambat, pungutan ataupun potongan yang besar, penghasilan di luar gaji yang minim, dsb masih merupakan masalah-masalah klasik yang tidak pernah tersolusi secara tuntas. Kalau dibanding dengan dosen misalnya, walau pada dasarnya dosen juga seorang tenaga pengajar, ternyata penghasilan guru jauh lebih tidak memadai.

Kiranya harus jujur diakui bahwa sekarang masih ada sistem yang kurang handal dalam hal kesejahteraan guru; dan ternyata sistem itu terkadang justru berada di luar jangkauan guru itu sendiri.

Sebagai ilustrasi konkrit dapat ditampilkan angka-angka tentang tunjangan fungsional guru. Dalam sistem yang berjalan sekarang ini maka besarnya tunjangan fungsional guru berkisar antara 45.000 s/d 65.000 rupiah. Angka ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan tunjangan fungsional dosen yang besarnya berkisar antara 125.000 s/d 600.000 rupiah. Padahal, tugas utama guru adalah sama dengan tugas utama dosen; bahkan beban tugasnya sering lebih berat.

Apabila dibanding dengan profesi lain seperti bankir, konsultan, kontraktor, manajer, ekonom, penerbang, dokter, bidan, penyanyi dan profesi lain pada umumnya; ternyata kesejahteraan guru berada pada urutan yang paling bawah. Dengan demikian muncul kesan di masyarakat bahwa seseorang bersedia menjadi guru karena sudah tidak ada peluang untuk menjalankan profesi lain di luarnya.

Status sosial guru akhir-akhir ini juga menjadi kompleksitas yang tidak terhindarkan. Meski tidak dapat dikatakan status sosial guru kini menjadi rendah tetapi setidaknya tidak setinggi waktu lampau. Akhir-akhir ini makin jarang guru yang diberi peran utama dalam organisasi politik, agama, budaya, seni, olah raga, dan sebagainya.

Rendahnya kesejahteraan guru di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sistem alokasi dana pembangunan. Pada negara-negara maju, umumnya dana pendidikan mencapai angka di atas 6 persen dari nilai Gross Domestic Product (GDP), bahkan banyak negara mengalokasi dana pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran negara; tetapi angka-angka ini tidak pernah terlampaui untuk kasus Indonesia. Kalau dicermati secara teliti, anggaran pendidikan di Indonesia tidak pernah mencapai angka 5 persen terhadap GDP atau di atas 10 persen terhadap total anggaran negara. Dalam belasan tahun terakhir ini anggaran sektor pendidikan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) senantiasa masuk kelompok lima besar di dalam hal jumlah; namun demikian nilainya tidak pernah lebih 10 persen terhadap nilai total RAPBN itu sendiri (Supriyoko, 1996: 1-8).

Dari sisi kuantitas dapat diperhatikan data berikut. Untuk satuan Sekolah Dasar (SD), termasuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), untuk tahun ajaran 1996/1997 ada sebanyak 1.327.178 guru, 173.893 sekolah, dan 29.236.283 siswa; jadi di setiap SD rata-rata ada 8 guru yang masing-masing melayani 22 siswa. Untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), termasuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), terdapat 588.271 guru, 30.390 sekolah, dan 9.277.891 siswa; jadi di setiap SLTP rata-rata terdapat 19 guru yang masing-masing melayani 16 siswa. Untuk Sekolah Menengah Umum (SMU), termasuk Madrasah Aliyah (MA), terdapat 275.118 guru, 11.457 sekolah, dan 3.164.922 siswa; jadi di setiap SMU rata-rata terdapat 24 guru yang masing-masing melayani 11 siswa. Sementara itu untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terdapat sebanyak 123.507 guru, 3.894 sekolah, dan 1.767.161 siswa; jadi di setiap SMK rata-rata terdapat 32 guru yang masing-masing melayani 14 siswa (MOEC, 1998: 36-45).

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa secara umum tidak ada masalah yang besar dengan kuantitas guru, terkecuali soal penempatan dan kesesuaian disiplinnya. Rendahnya kesejahteraan lebih berpengaruh pada kualitas guru itu sendiri. Secara umum kualitas guru masih rendah dan jauh dari kualitas akademik yang ideal, meskipun kualitas akademik bukanlah satu-satunya determinan kualitas guru.

Sesungguhnya untuk menjadi seorang guru, baik guru SD, SLTP maupun SMU dan SMK secara ideal memiliki kualitas akademik sarjana (S1); tetapi dalam realitanya banyak guru yang belum mencapai derajat yang dimaksud. Guru SMU, SMK dan apalagi guru SLTP dan SD banyak yang belum sarjana.

Sebagai ilustrasi yang konkrit dapat disajikan peta kualitas guru di Indonesia sbb: untuk SD sebanyak 6,4 persen berkualifikasi SLTP ke bawah, 79,8 persen sekolah menengah, serta 13,8 persen berkualifikasi diploma dan sarjana. Untuk satuan SLTP sebanyak 55,1 persen berkualifikasi diploma, 23,4 persen sarjana muda, serta 21,5 persen berkualifikasi sarjana dan magister. Sementara itu untuk satuan SMU dan SMK sebanyak 25,9 persen berkualifikasi diploma, 19,9 persen sarjana muda, 54,0 persen berkualifikasi sarjana, dan sebanyak hanya 0,2 persen berkualifikasi magister (MOEC, 1998: 76-77).

Rendahnya kualitas akademik sebagai akibat dari relatif rendahnya kesejahteraan tersebut kiranya menjadi faktor penentu rendahnya profesionalisme guru.

.

C. PENGADAAN, PENGELOLAAN DAN KARIR

Pengandaan guru di Indonesia selama ini ditangani oleh LPTK, yang kalau di jenjang pendidikan menengah antara lain terdiri dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Olah Raga (SGO) dan Pendidikan Guru Agama (PGA), serta di pendidikan tinggi antara lain ialah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP). Sejak awal tahun 1990-an pengadaan guru ditangani oleh perguruan tinggi sehingga keberadaan SPG, SGO, PGA, dsb, dihapus.

Menurut catatan Depdikbud sekarang ini terdapat 641.531 orang mahasiswa LPTK, terdiri dari 363.062 orang (56,6 persen) program diploma dan 278.469 orang (43,4 persen) program sarjana. Apabila dilihat dari program studi jumlah tersebut terdiri dari 558.797 orang (87,1 persen) program studi sosial, 70.930 orang (11,1 persen) program studi eksakta, dan sebanyak 11.804 orang (1,8 persen) program studi teknologi (MOEC, 1998: 97).

Dari angka-angka tersebut terlihat sekali bahwa jumlah mahasiswa program studi sosial jauh lebih tinggi dibandingkan program studi eksakta dan teknologi. Keadaan ini sering memunculkan problematika di lapangan; pada satu sisi lulusan eksakta dan teknologi relatif mudah mencari pekerjaan sebaliknya lulusan sosial sulit mencari pekerjaan di lapangan. Terkadang bahkan lulusan LPTK sosial ini sudah beberapa tahun menyelesaikan studinya di perguruan tinggi tetapi tidak berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai guru ilmu-ilmu sosial di sekolah. Problematika ini menjadi lebih kompleks lagi manakala ditemui keluhan dari sekolah bahwa para calon guru lulusan LPTK belum mempunyai kesiapan yang memadai untuk menjadi guru. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari rendahnya kualitas calon mahasiswa LPTK itu sendiri. Rendahnya kesejahteraan guru telah menurunkan minat masyarakat untuk menjadi guru, dan menurunnya minat masyarakat menyebabkan menurunnya kualitas calon guru yang nota bene mahasiswa LPTK.

Apabila sistem pengadaan calon guru dilakukan oleh LPTK maka untuk pengelolaannya dilaksanakan oleh lembaga lain, yaitu Direktorat Guru dan Tenaga Teknis Depdikbud. Bagi para guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka pengangkatan dilakukan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), sementara itu bagi para guru yang berstatus sebagai pegawai yayasan di sekolah swasta pengangkatannya dilaksanakan oleh pimpinan yayasan yang bersangkutan. Di sini terlihat bahwa sistem pengadaan, pengangkatan dan pengelolaan guru tidak ditangani oleh satu instansi atau lembaga. Khusus untuk guru SD sistem pengelolaan dan pembinaan karir juga melibatkan instansi lain lagi, dalam hal ini pemerintah daerah di bawah struktur Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Pengembangan SD di Indonesia mengaplikasi sistem dualisme, yaitu hal-hal yang menyangkut kegiatan akademis ditangani oleh Depdikbud melalui Kantor Wilayah (Kanwil) sedangkan hal-hal yang menyangkut kegiatan fisik dan finansial ditangani oleh Depdagri melalui Pemerintah Daerah (Pemda).

Untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan wawasan para guru dilaksanakan dengan penataran-penataran dengan dana dari pemerintah. Oleh karena dana yang sangat terbatas maka peserta penataran biasanya diprioritaskan bagi guru-guru di sekolah negeri; itu saja belum dapat diratakan bagi semua guru. Banyak guru negeri yang dalam waktu lima sampai sepuluh tahun tidak pernah diikutkan dalam kegiatan penataran sekali pun. Guru-guru swasta nasibnya lebih tidak menentu lagi dalam hal ini karena ada yang selama karirnya menjadi guru belum pernah diikutkan dalam penataran sekalipun.

Untuk kenaikan jabatan bagi guru negeri dikembangkan "Sistem Angka Kredit". Sistem yang dikembangkan sejak tahun 1994 ini memungkinkan seorang guru naik jabatan hanya dalam waktu dua tahun apabila dapat mengumpulkan kredit sebagaimana yang sudah ditentukan. Tetapi, bagi guru swasta sistem ini tidak berlaku karena sangat tergantung kepada kebijakan yayasannya masing-masing.

.

BAB III: METODOLOGI PEMBAHASAN

A. CAKUPAN PEMBAHASAN

Cakupan pembahasan dalam Memorandum Pandangan ini adalah guru dan tenaga kependidikan lain ekuivalensinya, utamanya guru SD, SLTP, SMU dan SMK, di tingkat nasional; baik guru yang bertugas di sekolah-sekolah negeri maupun guru yang bertugas di sekolah-sekolah swasta.

.

B. WAKTU DAN TEMPAT

Kegiatan pembahasan Memorandum Pandangan ini, dari tahapan persiapan sampai dengan penulisan naskah akhir, dilaksanakan secara intensif selama empat bulan; dari Desember 1998 s/d Maret 1999. Adapun tempat pembahasan Memorandum Pandangan ini dilaksanakan di Jakarta dan Ujung Pandang.

.

C. METODE PEMBAHASAN

Pembahasan dilaksanakan dengan mengaplikasi beberapa metode secara bervariasi; dalam hal ini adalah studi pustaka, kajian makalah, diskusi kelompok (focus group discussion), serta kunjungan lapangan (school visit). Informasi yang masuk dari berbagai pendekatan ini dianalisis secara kualitatif.

.

D. KEGIATAN PEMBAHASAN

Kegiatan pembahasan yang dilasanakan dengan berbagai metode seperti tersebut di atas selain melibatkan BPPN juga melibatkan unsur di luar BPPN seperti SD, SLTP, SMU, SMK, IKIP, DPR, MPS, dan sebagainya. Adapun metode kegiatan, waktu, tempat dan peserta dilaporkan secara sistematis melalui tabel berikut.

Tabel 1: KEGIATAN PEMBAHASAN MEMORANDUM PANDANGAN MENGENAI GURU PADA ABAD 21

METODE

WAKTU

PESERTA

TEMPAT

Kajian Makalah

22/12/98

Kel.Guru BPPN

Jakarta

Diskusi Kelompok

06/01/99 07/01/99 08/01/99 15/01/99 29/01/99 16/02/99

BPPN, SD, SLTP, SMU, SMK, BP3, IKIP, Univer., Dirgutentis, Roren Dikbud, DPR, MPS, PGRI, ISPI, Swasta, PPG-PPM, BKKBN, Tokoh masyarakat

Jakarta, U.Pandang

Tim Kecil

14/01/99

BPPN, PGRI, Digutentis, Dikdasmen

Jakarta

Kunjungan Sekolah

27/01/99

Kel.Guru BPPN

Jakarta

Formulasi Ranc.

12/02/99 02/03/99 08/03/99

Kel.Guru BPPN

Jakarta Yogyakarta

Sidang Pleno

02-05/02 22-23/03

BPPN

Jakarta

Dari Tabel 1 tersebut di atas terlihat jelas banyaknya unsur di luar BPPN yang dilibatkan di dalam kegiatan penyusunan dan pembahasan memorandum pandangan mengenai guru pada abad 21. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya masalah profesionalisme guru menjelang dimasukinya abad 21.

Sekarang ini, profesionalisme guru masih rendah. Realitas tentang kesejahteraan guru yang rendah mengakibatkan sulitnya meningkatkan kualitas dan meluaskan wawasan. Selanjutnya hal ini telah mengakibatkan terjadinya tekanan jiwa, munculnya rasa inferior atau rendah diri, rendahnya daya saing, serta rendahnya peran sosial para guru di masyarakat yang secara akumulatif berpengaruh pada upaya-upaya peningkatan profesionalisme guru.

Jadi, secara umum upaya-upaya peningkatan profesionalisme guru untuk memasuki abad 21 terhambat oleh rendahnya kesejahteraan para guru itu sendiri. Di sisi yang lain secara khusus ada beberapa kesimpulan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Sistem pengadaan guru yang dilakukan oleh LPTK belum berhasil memperoleh calon guru yang bermutu sebagaimana tuntutan profesionalisme abad 21. Hal ini disebabkan karena, di samping mutu calon mahasiswa LPTK yang rendah juga proses belajar mengajar di LPTK yang belum optimal. LPTK sendiri yang keberadaaannya mulai dipertanyakan masyarakat terlalu sibuk dengan pengadaan guru baru dan kurang memberi pelayanan kepada guru lama yang ingin meningkatkan profesionalismenya.

2. Pengelolaan guru yang dilakukan oleh banyak instansi, baik oleh BAKN, Depdikbud, Depdagri, Yayasan Swasta, dsb ternyata justru menimbulkan inefisiensi. Khusus untuk satuan SD, dualisme yang diterapkan selama ini juga banyak menimbulkan kerancuan, kebingungan, dan tumpang tindih di lapangan. Secara umum hal ini justru menghambat upaya-upaya para guru untuk meningkatkan profesionalismenya.

3. Sistem pengembangan karir guru di Indonesia ternyata belum bisa dilaksanakan secara efektif. Banyak guru yang terhambat pengembangan karirnya disebabkan belum efektifnya sistem dan belum siapnya petugas dalam pelayanannya. Sistem Angka Kredit yang dikembangkan sebenarnya cukup baik akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata banyak kendala. Secara umum sistem ganjaran terhadap para guru belum memuaskan. Hal ini terlebih-lebih lagi dialami oleh para guru swasta.

.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan kesimpulan umum tersebut di atas maka dalam akhir Memorandum Pandangan ini diajukan saran umum agar peningkatan profesionalisme guru abad 21 dapat berjalan lancar maka perlu segera dibentuk suatu badan yang riil dapat meningkatkan kesejahteraan para guru Indonesia. Badan yang dimaksud selanjutnya diberi nama Badan Kesejahteraan Guru Nasional (BKGN) atau National Board of Teachers Welfare (NBTW).

Karakteristik BKGN tersebut di atas ialah sbb: (a) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, (b) independent dan nonstruktural, (c) bersifat sosial, profesional nonkomersial, nonpolitis di dalam menjalankan fungsinya, (d) dibentuk langsung oleh Presiden Republik Indonesia, (e) sasaran kesejahteraan adalah para guru dan dosen serta tenaga ekuivalensinya, (f) memberikan tunjangan mengajar dan dana lain yang dapat mensejahterakan guru, (g) beranggotakan para tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan guru yang dijamin bersih sosial dan terpercaya, (g) memiliki dana abadi, serta (h) memdapatkan hak untuk mengumpulkan dana dari masyarakat, pemerintah dan lembaga donor baik di dalam maupun di luar negeri.

Selanjutnya berdasarkan kesimpulan-kesimpulan khusus di dalam akhir Memorandum Pandangan ini diajukan beberapa saran yang bisa dideskripsi sebagai berikut.

1. Perlu segera dilakukan pembenahan tentang sistem pengadaan guru di Indonesia. Institusi LPTK harus segera dibenahi, baik sistem maupun strukturnya agar bisa menghasilkan calon-calon guru yang sesuai dengan tuntutan profesionalisme abad 21. Keberadaan LPTK harus dimantabkan kembali melalui program-program yang ber-mutu dan bermanfaat bagi masyarakat. LPTK tidak hanya terpaku melakukan pengadaan guru baru tetapi juga memberi pelayanan kepada guru lama yang ingin meningkatkan profesionalismenya.

2. Perlu segera dilakukan "Sistem Tunggal" dalam pengelolaan guru dari sejak pengangkatan, penempatan, pembinaan sampai dengan pengembangan karirnya. Dualisme pengelolaan SD ini perlu segera diakhiri agar supaya tidak lagi terjadi kerancuan, kebingungan dan tumpang tindih di lapangan. Kalau perlu, untuk mengelola guru ini dapat dikhususkan oleh Direktorat Jenderal tersendiri di bawah struktur Depdikbud.

3. Sistem pengembangan karir guru di Indonesia perlu diefektifkan di tingkat operasional. Sistem ganjaran terhadap jasa-jasa para guru mutlak perlu diperbaiki dan disempurnakan. Sistem Angka Kredit yang dikembangkan dapat terus dijalankan setelah dilakukan pembenahan baik menyangkut ketentuan, pelaksanaan maupun para petugas pelaksananya. Para guru swasta perlu dibantu pengembangan karir profesinya melalui sistem yang konstruktif dan koordinatif.

.

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. Rekomendasi-Rekomendasi untuk Pemberdayaan Guru dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kelompok Kerja Tenaga Kependidikan, 1999

BPPN. Pembinaan Karir Guru. Jakarta: BPPN, 1998

BPPN. Pendidikan Guru : Suatu Alternatif untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Guru. Jakarta: BPPN, 1998

BPPN. Stereotip dan Fungsi Guru di Masa Depan. Jakarta: BPPN, 1998

BPPN. Tenaga Kependidikan Non Guru. Jakarta: BPPN, 1998

Makagiansar, Makaminan. Peranan Guru dalam Melaksanakan Pendidikan untuk Semua yang Mengacu ke masa Depan dalam Era Kebangkitan Nasional II. Jakarta: PGRI, 1994

Makagiansar, Makaminan. Shifts in Global Paradigm and The Teacher of Tomorrow. Singapore: Singapore, 1996

Ministry of Education and Culture (MOEC). Indonesia Education Statistics in Brief 1996/1997. Jakarta: MOEC, 1998

Mohamad Surya. Citra Baru Guru di Era Reformasi Menuju Indonesia Baru. Bandung: IKIP Bandung, 1999

Supriyoko. Problematika Keguruan dan Eksistensi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Tamansiswa Yogyakarta, 1996

World Bank. Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Jakarta: Educ. Sector Unit EAP Region, 1998

.

DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK

Prof. Dr. Ahmad Amiruddin (Ketua)

Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. (Sekretaris)

Prof. K.H. Ali Yafie (Anggota)

Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L. (Anggota)

Drs. GBPH Poeger (Anggota)

K.H. MA Sahal Mahfudh (Anggota)

Dra. Mien Rachman Uno (Anggota)

.

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA