MEMBERDAYAKAN PENDIDIKAN KELUARGA

BAB I: PENDAHULUAN

Melihat tantangan masa mendatang bahwa umat manusia dihadapkan pada kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu pesat, maka sebagai implikasinya adalah setiap orang atau setiap keluarga mempunyai tanggung jawab untuk ikut berkiprah. Keluarga merupakan homebase atau pangkalan pertama bagi setiap anggotanya sebagai individu agar dapat mengaktualisasikan diri dalam budaya untuk terus belajar sehingga diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut.

Ditengah gelombang ketidak pastian dan perubahan dalam wujud modernisasi dan globalisasi, anggota keluarga perlu secara bersama-sama dan saling mendukung menciptakan suasana yang baik dalam mempertahankan nilai-nilai luhur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membangun nilai-nilai masyarakat yang luas untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan masa depannya. Keluarga juga merupakan kontrol sosial yang kuat dalam membangun nilai-nilai luhur masyarakat yang lebih luas. Dalam hubungan ini, pendidikan keluarga merupakan modal utama dalam membangun masyarakat yang madani pada kehidupan global dan modern tersebut.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga. Sementara itu, GBHN Tahun 1999-2004 dalam arah kebijakan tentang pendidikan antara lain menyatakan bahwa: "Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai".

Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah menyebutkan bahwa: "Pendidikan luar sekolah yang sangat mendasar sifatnya adalah pendidikan keluarga. Meskipun pendidikan keluarga amat penting, yang bahkan meletakkan dasar-dasar kesiapan hidup sebagai anggota masyarakat, pengaturannya merupakan wewenang keluarga yang bersangkutan". Oleh sebab itu, peran keluarga sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya perlu di berdayakan melalui cara-cara yang terarah dan jelas.

Yang dimaksud dengan memberdayakan pendidikan keluarga dalam saran pertimbangan ini adalah mengembangkan pendidikan anak di dalam keluarga. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Selama ini disimak bahwa kualitas manusia Indonesia bila ditilik kembali akan sangat tergantung pada bagaimana anak itu dididik di dalam keluarga.

Pendidikan keluarga bertujuan untuk membuat anak berhasil dalam hidup di masyarakat maju yang berkeadilan dan berkemakmuran. Untuk itu, kualitas yang dikembangkan adalah secara menyeluruh baik fisik, mental, spiritual, moral, sosial, sesuai dengan makna dan semangat yang tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak, agar diperoleh kualitas anak yang memiliki nilai-nilai universal tetapi masih mempertahankan budaya masyarakat itu sendiri.

Dari memorandum pandangan (saran pertimbangan) BPPN tahun 1996 yang berjudul "Peranan dan Tanggung Jawab Keluarga dalam Pendidikan Anak", diartikan bahwa keluarga adalah kelompok terkecil (keluarga inti) dalam masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari Bapak dan/atau Ibu, beserta anak yang menjadi tanggungannya. Pendidikan anak dalam keluarga adalah pendidikan anak yang dilakukan oleh orang tua maupun anggota keluarga lainnya, berkenaan dengan pembentukan sikap, perilaku, dan kepribadian serta daya cipta yang sesuai dengan norma-norma agama dan sosial.

BAB II: PERMASALAHAN

1. Pendidikan dalam keluarga selama ini sedikit sekali dibicarakan atau ditangani secara sadar dan belum ada konsep yang jelas, sehingga anak cenderung tumbuh dan berkembang secara alamiah. Padahal pertumbuhan dan perkembangan anak sangat tergantung pada lingkungan keluarga, yaitu bagaimana keluarga tersebut memfasilitasi potensi anak dalam membentuk kepribadian dan kualitas hidupnya.

2. Keadaan keluarga dalam masyarakat Indonesia sangat heterogen bila dilihat dari berbagai aspek, yaitu latar belakang keluarga, agama, suku, lingkungan, ekonomi, sosial, dan latar belakang pendidikan serta nilai-nilai yang dianutnya, sehingga pendidikan dalam keluarga sangat beraneka ragam.

3. Banyak keluarga yang kurang memberikan perhatian dan tanggung jawab untuk mendidik anaknya. Keluarga tersebut antara lain adalah: (a) orang tua yang mengutamakan karir. Meskipun orang tua tersebut mempunyai kemampuan mendidik, tetapi kurang memiliki waktu untuk mendidik anaknya, (b) orang tua yang mempunyai banyak kesempatan bersama-sama dengan anak-anaknya, tetapi kurang pengetahuan dan kemampuan dalam mendidik anaknya baik dalam membina kesehatan dan gizinya, pengembangan potensi anak dan pengembangan kepribadiannya. (c) orang-tua yang tidak harmonis dalam menjaga keutuhan keluarga, sehingga memberikan dampak negatif pada anak itu sendiri. Hal yang perlu diperhatikan bahwa masih banyak calon orang tua kurang mempersiapkan diri dalam membangun keluarga dan belum ada pendidikan pranikah khusus untuk membangun keluarga.

4. Lingkungan yang kurang mendukung terciptanya pendidikan keluarga antara lain kehadiran elektronik, internet, yang selain memuat tayangan/informasi positif di dapat banyak tayangan/informasi yang berdampak negatif (cyber crime).

5. Ada ketidakseimbangan antara pendidikan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang masing-masing mempunyai tujuan berbeda.

6. Selama ini anak lebih dituntut untuk selalu patuh mengikuti kehendak orangtua tanpa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.

BAB III: ANALISIS PERMASALAHAN

1. Pada umumnya pendidikan keluarga berlangsung secara alamiah menurut lingkungan orangtua yang membesarkannya, bukan merupakan sesuatu yang mereka peroleh melalui pendidikan khusus sebelum mereka melakukan kehidupan berkeluarga. Mereka mendidik anaknya sama dengan ketika orangtuanya mendidik mereka. Oleh karena itu, cara orangtua mengajar mereka dahulu juga dipraktekkan kepada anaknya. Dengan demikian apa yang dilakukan sekarang sama dengan yang dilakukan orangtuanya dahulu. Kebiasaan didalam keluarga akan tetap diikuti dan dianut oleh anak-anak dan generasi berikutnya sebagai suatu Belief System. Belief System ini dimaksudkan sebagai gagasan atau pemikiran orangtua tentang pendidikan dan perkembang anaknya. Artinya apa yang dipikirkan orangtua untuk mengasuh, merawat, membesarkan, mendidik, mengarahkan, dan membina anaknya betul-betul merupakan pikiran yang diperoleh dari pengalaman hidup orangtuanya sesuai dengan budaya yang dimilikinya, latar belakang pendidikan dan ilmu pengetahuan yang didapat dari sumber-sumber lainnya. Dalam kaitan dengan tantangan dan dinamika perubahan yang demikian pesat dan seiring dengan konsep optimalisasi pendidikan kualitas anak diperlukan upaya nyata pemberdayaan pendidikan keluarga yang sengaja dirancang untuk dilaksanakan.

2. Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen dilihat dari berbagai aspek. Adanya heterogenitas bangsa khususnya dalam aspek kemiskinan, etnis yang berbeda, dan pendidikan yang kurang membawa peluang mudahnya timbul konflik. Belakangan ini peluang tersebut telah menjadi kenyataan, antara lain, perkelahian antarwarga, antardesa, antarpelajar, dan antaretnis. Juga tindakan dari warga yang main hakim sendiri yang menjurus pada anarkisme. Peristiwa seperti itu tidak terjadi dengan serta merta, tetapi melalui proses panjang yang terakumulasi dari lemahnya pembentukan karakter bangsa yang luhur didalam keluarga.

Dalam upaya pemberdayaan pendidikan keluarga pada masyarakat yang heterogen, perlu dilakukan penanganan secara spesifik, tetapi didasarkan pada suatu konsep umum yang bersumber pada pemikiran-pemikiran baru dalam pembangunan kualitas anak yang kemudian dapat diterapkan sesuai dengan situasi keluarga dalam masyarakat. Konsep umum tersebut adalah untuk mewujudkan anak berkualitas dan mempunyai kepribadian luhur dan erat kaitannya dengan budaya dalam keluarga, dalam arti nilai-nilai yang dianutnya hendaknya mampu melestarikan nilai-nilai masyarakat yang luhur, tetapi juga mampu menyesuaikan/mengubah nilai-nilai budaya yang cocok untuk menghadapi tantangan masa depan. Oleh sebab itu, yang perlu diberdayakan adalah membantu para orangtua agar mampu mendidik anaknya.

3. Peran pendidikan keluarga sebagaimana telah diuraikan di atas akan sangat menentukan terbentuknya karakter bangsa yang luhur. Pernyataan ini didukung oleh suatu studi di Amerika bahwa hasil akhir anak didik yang terbesar adalah dari pengaruh pendidikan keluarga, bukan dari sekolah.

Di beberapa negara pendidikan keluarga diberikan kepada pasangan yang akan berkeluarga seperti yang terjadi di Singapura yang diselenggarakan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dan Malaysia. Pasangan tersebut wajib mengikuti kursus selama tiga bulan atau lebih sampai dinyatakan lulus. Pada tahap berikutnya setelah mereka mempunyai anak mereka diberi bekal bagaimana mendidik anak. Di Indonesia sebagian besar pasangan yang akan membina rumah tangga belum melalui persiapan yang baik dengan mengikuti kursus seperti itu. Lembaga-lembaga keagamaan selama ini memiliki tradisi untuk melakukan pembinaan/kursus bagi pasangan yang akan menikah, sehingga turut membantu dalam memantapkan keluarga, tetapi upaya tersebut belum maksimal sehingga banyak keluarga muda yang rapuh/tidak harmonis. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta yang menunjukkan bahwa dari angka perkawinan sebanyak kira-kira 2 juta pasangan terjadi perselisihan perkawinan sekitar 40% dan 15% diantaranya sampai pada perceraian. Hanya 0,01% dari angka perceraian tersebut yang rujuk kembali. Di Singapura angka perceraian hanya 0,05%.

Namun tidak dapat diingkari bahwa pasangan yang akan berkeluarga untuk generasi sekarang telah mulai menyimak konsep-konsep baru tentang pendidikan anak, tetapi hasilnya belum cukup memadai dan belum aktif dilakukan oleh banyak orang. Bila sebuah keluarga sudah mempunyai anak maka keluarga tersebut harus berbudaya, senantiasa menyimak informasi yang terus berkembang, mampu memberikan wawasan kepada anak-anaknya. Orangtua harus menjadi fasilitator, memberikan contoh sebagai panutan, dan memelihara komunikasi antar keluarga. Yang penting pula menciptakan lingkungan yang mendukung, memberi peluang, mendorong dan yang melindungi hak-hak anaknya baik fisik (termasuk kesehatan dan gizinya), maupun mental dan spiritual. Dalam segala upaya mengutamakan kepentingan anak, memberi perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan (gender nondiscrimination). Secara singkat keluarga mengembangkan kemampuan anak secara total dan mencapai kualitas yang andal dalam mempersiapkan anak selain untuk masa depannya juga kelak dalam memasuki jenjang berkeluarga.

Untuk itu bimbingan dan penyuluhan bahkan dimulai sejak anak sebelum menentukan pilihan/pasangan. Kemudian pendidikan keluarga berlanjut diberikan pada usia anak balita, usia dimana si anak tidak berada di pendidikan formal. Di usia sekolah keluarga merupakan fasilitator, evaluator, dan pengawas. Pada usia remaja keluarga memberikan wawasan untuk memasuki jenjang keluarga.

4. Kehadiran informasi yang mempunyai dampak negatif baik melalui media elektronik maupun media cetak seperti tindakan kekerasan, pornografi, dan perilaku menyimpang lainnya merupakan dampak yang sangat berarti dalam mengembangkan kualitas anak. Sangat disayangkan bahwa cyber crime justru dilakukan oleh orang yang memiliki intelektualitas tinggi tetapi kurang bermoral. Dalam menghadapi masalah ini kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat perlu dikendalikan dan diimbangi dengan tayangan positif.

5. Pendidikan anak meliputi pendidikan intelektual, pendidikan kultural dan pendidikan spiritual. Dalam prosesnya ketiga aspek pendidikan tersebut tidak berjalan secara seimbang.

Pendidikan sebetulnya adalah pengembangan wawasan berpikir. Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya wawasan berpikir orangtua masih terbatas. Dengan keterbatasan itu, sebagian orangtua belum menyadari akan pentingnya pendidikan bagi anaknya, sehingga mereka cenderung tidak ingin menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Ada kecenderungan bahwa orang tua merasa telah lepas dari tanggung jawab pendidikan anaknya bila telah menyerahkan anaknya ke sekolah/lembaga pendidikan lainnya. Orangtua tersebut mempercayakan pendidikan anaknya sepenuhnya kepada guru di lembaga pendidikan tersebut, sehingga kalau terjadi sesuatu hal yang negatif terhadap anaknya, orangtua cenderung menyalahkan guru. Di samping itu, tidak sedikit orang tua yang mempercayakan pendidikan anaknya kepada asuhan baby sitter atau pembantu rumah tangga. Sebetulnya sudah ada wahana-wahana di masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan berpikir keluarga, misalnya melalui posyandu, pertemuan majelis taklim, dan arisan warga. Dalam pertemuan tersebut dapat diberikan pendidikan tentang kesehatan, tanggung jawab keluarga, pembentukan anak berkualitas, percaya diri, dan peran orangtua agar menjadi panutan bagi anaknya.

Selama ini fungsi edukatif di dalam keluarga masih sangat lemah. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi bidang-bidang apa saja yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga dan yang menjadi tanggung jawab sekolah.

Selanjutnya, berkaitan dengan peran dan tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anaknya di sekolah ada sebuah lembaga yang berperan menjembatani orangtua dengan sekolah yaitu Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pada kenyataannya POMG dan BP3 yang semula diharapkan dapat membantu mengatasi dan memecahkan persoalan yang dihadapi sekolah dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar di sekolah, pada akhir-akhir ini cenderung hanya membantu mengatasi masalah kesulitan dana. Padahal seharusnya POMG dan BP3 diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama antara sekolah dan keluarga. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan antara lain oleh ITB dengan mengembangkan konsep bahwa mahasiswa tidak hanya diperlakukan sebagai individu yang menempuh ilmu, tetapi juga diperlakukan sebagai anak dalam keluarga besar ITB. Para dosen tidak hanya berperan dalam pengajaran, tetapi juga mempunyai tanggung jawab sebagai wali bagi para orangtua mahasiswa. Sebaliknya orangtua mahasiswa tidak hanya berperan untuk memperhatikan anaknya sendiri melainkan juga harus memperhatikan kepentingan mahasiswa lainnya sebagaimana anaknya sendiri. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan upaya pemberdayaan POMG dan BP3 sebagai lembaga yang dapat mendidik kepribadian anak, melalui program yang dirancang untuk itu.

6. Kelemahan-kelemahan orangtua di dalam mendidik anaknya sebagaimana telah dikemukakan diatas, memberi peluang timbulnya budaya otoriter. Budaya otoriter ini teraktualisasi oleh orangtua dalam mendidik dan membina anaknya. Dalam hal ini, anak tidak dianggap sebagai individu yang mempunyai potensi untuk berpendapat. Padahal seharusnya anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan didengarkan pendapatnya sesuai dengan Konvensi Hak-hak Anak. Dalam hubungan ini diperlukan suatu komitmen transformasi budaya dari otoriter ke budaya yang lebih demokratis dalam mendidik anak. Pengertian budaya adalah pengkondisian alur pikir, jadi dalam upaya mengubah budaya diartikan mengubah cara berpikir.

Upaya peralihan budaya tersebut diatas bukanlah hal yang sederhana, karena masih banyak keluarga yang merasa dirinya berpendidikan dan berpikiran rasional/modern, masih menuntut kepatuhan mutlak dari anaknya. Seperti hasil penelitian UI terhadap Suku Jawa dan Sunda diperoleh informasi bahwa 80% orangtua menuntut kepatuhan dari anaknya.

Dalam upaya mengubah pola pikir orang tua ke arah berpikir rasional/modern dibutuhkan thinking skill dan personality agar mampu menyadarkan dirinya dari kekurangannya dalam mendidik anak melalui pemberdayaan pendidikan keluarga.

BAB IV: SARAN

1. Untuk melaksanakan pendidikan keluarga yang demikian kompleks, maka langkah pertama yang harus dikembangkan adalah menyusun konsep yang dirancang secara jelas dan dapat diaktualisasikan dalam suatu lingkungan keluarga. Konsep dimaksud harus dapat mewujudkan anak berkualitas memperoleh kebebasan dan perlindungan untuk mengembangkan potensinya dan mengenal lingkungan, termasuk pengenalan budaya dalam masyarakat yang mampu menjawab tantangan masa depan. Dalam hubungan ini diperlukan adanya: lingkungan yang kondusif untuk memberi pengaruh terhadap upaya pemberdayaan pendidikan keluarga, konsep keteladanan yang dapat dicontoh, dan kegiatan pendampingan orangtua kepada anak untuk mampu meningkatkan pemberdayaan pendidikan keluarga melalui pendekatan korektif, pemeliharaan kesehatan dan gizi serta komunikasi. Untuk itu, diharapkan keluarga dapat memfasilitasi anaknya agar dapat mengembangkan dirinya, antara lain dapat mengakses informasi yang positif, dan diberi hak untuk mengemukakan pemikiran dan pendapatnya. Oleh sebab itu, dalam mengubah pola pikir harus mampu mengkondisikan anak ke arah yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian perlu diambil langkah-langkah konkrit melalui intervensi pemerintah bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam upaya memberdayakan pendidikan keluarga.

2. Pendidikan keluarga terasa semakin penting karena heterogenitas bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, adat-istiadat, agama, dan kondisi geografi, ditambah dengan masih besarnya jumlah dan persentase masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan. Kehidupan yang beranekaragam tersebut bila tidak ditangani melalui pendidikan keluarga yang dapat membentuk karakter bangsa yang luhur akan berakibat timbulnya konflik yang disertai kekerasan yang akhirnya menjurus ke anarki, seperti tawuran pelajar, perkelahian antarwarga, perilaku menyimpang, dan penggunaan obat-obat terlarang.

Pemerintah sebagai penanggung jawab seluruh sistem pendidikan nasional dapat memfasilitasi terwujudnya konsep yang tepat bagi pendidikan keluarga yang pelaksanaannya dilakukan secara harmonis dalam upaya penyusunan konsep yang tepat bagi pendidikan keluarga, melalui Depdiknas, Depag, Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Depkessos, Depdagri, LSM dan masyarakat. Khusus untuk masyarakat miskin, pemerintah hendaknya meningkatkan program beasiswa dan mendorong serta memberdayakan LSM meningkatkan program anak asuh.

3. Pemberdayaan pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang mengikuti konsep siklus kehidupan (life cycle) yang dimulai dari usia sekolah, remaja, dan usia pranikah sampai dengan menjadi calon orangtua, sehingga secara umum meskipun berbeda budaya mereka dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Pemberdayaan pendidikan keluarga ini hendaknya dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi pedoman bagi orangtua dari kalangan masyarakat yang berbeda dalam bentuk modul, yang dapat diselenggarakan melalui kursus-kursus.

Secara singkat yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pendidikan keluarga adalah penciptaan iklim yang kondusif dalam keluarga, keteladanan orangtua terhadap seluruh anggota keluarga, dan pendampingan orangtua terhadap anak.

4. Pemberdayaan pendidikan keluarga hendaknya juga dirancang untuk dapat mengatasi dan menanggulangi berbagai pengaruh negatif pada anak yang ditimbulkan oleh arus informasi dan keterbukaan, dengan tetap menghormati dan melindungi hak-hak anak atas kemerdekaan berpikir, hati nurani dan beragama. Untuk itu pemerintah bersama-sama lembaga kemasyarakatan hendaknya mempunyai kepedulian dan kontrol sosial untuk menanggulangi kondisi yang demikian dan mempertahankan nilai-nilai yang baik.

5. Dalam mengatasi ketidakseimbangan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keluarga perlu ditempuh upaya untuk mengidentifikasi bidang-bidang pendidikan yang menjadi tanggung jawab keluarga dan bidang-bidang yang menjadi tanggung jawab sekolah.

Pemerintah bersama-sama dengan LSM dan lembaga-lembaga keagamaan hendaknya mendorong upaya pemberdayaan pendidikan keluarga dengan memanfaatkan wahana-wahana yang ada di masyarakat, seperti posyandu, majelis taklim, arisan warga dan pertemuan-pertemuan keagamaan yang dikelola lembaga keagamaan.

Dalam hubungannya dengan Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG), sebagai jembatan antara keluarga dengan sekolah, perlu diupayakan peningkatan perannya sebagai lembaga yang dapat mendidik kepribadian anak, melalui program yang dirancang untuk itu. Disarankan agar keanggotaan Dewan Sekolah [yaitu POMG dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3)] terdiri dari orang tua yang mempunyai keinginan agar anaknya berhasil dalam pendidikan. Dalam upaya meningkatkan perhatian dan tanggung jawab orangtua untuk mendidik anaknya maka perlu digalakkan bimbingan dan penyuluhan oleh lembaga keagamaan, LSM dan POMG.

6. Berkenaan dengan upaya orangtua memberi kebebasan kepada anak untuk berbicara dan didengar pendapatnya, sesuai dengan makna dan semangat Konvensi Hak-hak Anak, maka hal ini perlu dituangkan dalam perundang-undangan yang menghasilkan kebijakan umum dan khususnya kebijakan pendidikan.

Dalam upaya mengadakan transformasi budaya yang pada hakikatnya adalah peru­bahan pola pikir, diperlukan kebijakan-kebijakan khususnya kebijakan pendidikan yang mengalir dari perundangundangan.

DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK

1. Lily I. Rilantono (Ketua)

2. Corneles Wowor (Sekretaris)

3. Awaloedin Djamin (Anggota)

4. Mien Rachman Uno (Anggota)

5. Fahmi D Saifuddin (Anggota)

6. K. H. MA Sahal Mahfudh (Anggota)

7. K. H. Ali Yafie (Anggota)

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA