PEMANTAPAN PENDIDIKAN BERAKAR PADA KEBUDAYAAN BANGSA: KONSEPSI DAN STRATEGI PELAKSANAANNYA

 

KATA PENGANTAR

            Pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

            Pembangunan pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

            Untuk mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibahas dalam memorandum pandangan ini, telah dilakukan serangkaian kegiatan antara lain: menelaah berbagai hasil penelitian, mengkaji berbagai dokumen, mengadakan pertemuan khusus dengan para ahli pendidikan; mengadakan temu wicara dan dialog dengan beberapa Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I beserta jajarannya, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat.

            Memorandum pandangan ini merupakan kristalisasi dari pandangan, pendapat, dan pemikiran anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) yang penyusunannya dikoordinasikan oleh Bapak Barnabas Suebu, S.H., dan dibantu Bapak Prof. Dr. Makaminan Makagiansar, M.A., Ibu Prof. Dr. Lily I. Rilantono, Bapak Drs. GBPH Poeger, dan Bapak Prof. Dr. I  Made Bandem.

            Semoga memorandum pandangan ini bermanfaat untuk merumuskan kebijaksanaan pembangunan pendidikan,

Jakarta, April 1994

Makaminan Makagiansar

Ketua Badan Pertimbangan

Pendidikan Nasional

 

BAB I. PENDAHULUAN

 

            Pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Bab I Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).

            Usaha pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa dalam arti luas perlu dimantapkan sejalan dengan perkembangan sosial budaya agar sumber daya manusia dapat melakukan adaptasi, mengembangkan daya cipta, dan kreativitas dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

            Manusia senantiasa hidup dalam suatu kelompok yang terdiri dari sejumlah anggota, oleh  karena itu, sejak awal kehidupannya, manusia mengembangkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing anggota demi ketertiban pergaulan sosial mereka. Ketentuan-ketentuan tersebut biasanya berupa perangkat nilai, norma sosial maupun pandangan hidup yang terpadu dalam sistem budaya yang berfungsi sebagai rujukan hidup para anggotanya. Rujukan tersebut, melalui proses belajar, diwariskan kepada generasi penerus yang akan melestarikan dan mengembangkannya. Dengan demikian kelangsungan hidup suatu kelompok sosial pada suatu masyarakat secara disengaja atau tidak senantiasa menyelenggarakan pendidikan dengan berbagai cara dan sarana untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Berbagai cara  dilakukan masyarakat untuk mendidik anggota-anggotanya, seperti menceriterakan dongeng-dongeng mitos, mananamkan etika sosial dengan cara memberitahu, menegur dan memberi keteladanan. Kegiatan pendidikan tersebut kini  meluas dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah dengan menggunakan alat bantu yang didukung oleh teknologi modern.

            Mengingat bahwa kebudayaan selalu berkembang, tidak mustahil secara perlahan-lahan membawa pergeseran norma-norma dan tata nilai. Lebih dari itu, perkembangan dimaksud bahkan mungkin dapat terjadi dengan cepat akibat dari kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peradaban dunia yang semakin transparan dan dapat diikuti setiap saat melalui komunikasi informasi yang semakin canggih.

Sehubungan dengan itu, agar terdapat kesinambungan yang serasi dalam pertumbuhan kebudayaan Indonesia, kiranya perlu dipikirkan dari sekarang norma-norma dan tata nilai kehidupan yang dapat menjadi pedoman dalam merumuskan ciri-ciri logika, etika, estetika, dan keterampilan yang akan ditumbuhkan melalui proses pendidikan nasional Indonesia. Norma-norma dimaksud sudah tentu harus merupakan kesepakatan bersama dari bangsa Indonesia sendiri, meskipun di dalamnya mungkin terdapat juga nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal. Pendidikan itu pun harus dapat mempersiapkan generasi muda sebagai anggota masyarakat yang tidak sekedar menerima dan mematuhi pola-pola kehidupan sosial yang berlaku, melainkan juga harus dapat mempersiapkan mereka untuk menghadapi dan mengantisipasi tantangan  hari depan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dapat merangsang kreativitas budaya peserta didik untuk beradaptasi secara aktif dengan lingkungannya, dan pengelola pendidikan hendaknya tanggap dalam melihat dan mengikuti kenyataan sosial budaya yang senantiasa mengalami perkembangan.

Dengan demikian pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa dapat terselenggara sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 dan penjelasannya, yaitu: kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah menyatakan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup. Mengingat pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan berhubung dengan keberlangsungan tersebut, pendidikan dapat dikatakan berupa satu proses. Satu proses belajar-mengajar yang membiasakan para warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, mengenal, memahami, menyadari, menguasai, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai terpuji, dihendaki dan berguna bagi kehidupan dan perkembangan diri pribadi, masyarakat dan bangsa.

Di kepulauan nusantara yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia dewasa ini hidup lebih dari 500 suku bangsa yang mengembangkan kebudayaan dan tradisi masing-masing secara tersendiri.

Kemajemukan suatu masyarakat seringkali diabaikan orang, dalam usaha pembangunan suatu bangsa. Orang mengabaikan adanya kemungkinan pengelompokan-pengelompokan sosial di dalamnya yang di samping membantu kelancaran bermasyarakat, kadang-kadang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti pertentangan antar kelompok dalam setiap kesatuan sosial.

Pertentangan antar kelompok dalam setiap kesatuan sosial dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain perbedaan kepentingan antara mereka yang berusaha untuk mengatasi perbedaan dalam mengembangakan kesatuan, dengan mereka yang berusaha mempertahankan perbedaan-perbedaan dalam membangun persatuan. Oleh karena itu, dinamika sosial budaya sebagai akibat pergaulan antar suku atau golongan dalam suatu masyarakat yang majemuk tidak dapat diabaikan. Selain akan menimbulkan ketidakseimbangan sosial, juga dapat memacu perubahan ke arah pembaharuan yang justru dapat mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat.

Perlu disadari bahwa dalam kaitannya dengan kebudayaan, fungsi pendidikan bersifat mendua, yaitu sering diistilahkan dengan kata change and continuity (perubahan dan kesinambungan). Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk mendorong peserta didik ke arah perubahan yang diinginkan, termasuk internalisasi nilai-nilai modern. Dalam keadaan seperti ini, terjadi suatu proses diskontinuitas. Di sisi lain, pendidikan berfungsi pula mendorong peserta didik untuk tetap meyakini keberadaan sistem budayanya, termasuk internalisasi nilai-nilai dasar funfamental yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Dalam konteks ini terjadilah proses kontinuitas atau kesinambungan pelestarian nilai-nilai budaya.

Sesuai dengan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 32 dan penjelasannya, dewasa ini berkembang kebudayaan bangsa yang memenuhi kebutuhan akan kerangka acuan bagi masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sungguh pun  demikian, kebudayaan bangsa tersebut belum sepenuhnya berkembang dan memenuhi kebutuhan di segala sektor kehidupan masyarakat.

 

BAB II: PERMASALAHAN

 

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat disebutkan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1.     Sejauh mana pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah mampu membekali peserta didik tidak hanya dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berperan sosial di kemudian hari, melainkan juga membantu upaya pengembangan diri mereka sebagai warga negara yang berbudi pekerti lurhur, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan?

2.     Sejauh mana pendidikan sebagai  usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran  dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (proses belajar-mengajar) dapat diselenggarakan secara tepat dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia secara keseluruhan, dengan memperhatikan adanya kesenjangan latar belakang sosial peserta didik, adanya kemajemukan masyarakat dengan aneka ragam latar belakang kebudayaan.

3.     Sejauh mana sistem pendidikan nasional ini benar-benar berfungsi untuk mewariskan berbagai unsur budaya luhur bangsa Indonesia, seperti sistem  nilai produk-produk teknologi, peninggalan-peninggalan sejarah, kesenian, dan macam-macam unsur kebudayaan. Bagaimana agar komponen tersebut dapat diwariskan terus menerus melalui pendidikan.

4.     Bagaimana pengembangan sistem pendidikan nasional mampu mengaitkan secara harmonis nilai-nilai budaya fundamental (akar budaya) yang telah kita miliki dan nilai-nilai modern yang diperlukan untuk menunjang pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, sejauh mana manusia Indonesia mampu menghadapi dan mengelola perubahan dan perkembangan sistem nilai yang diperkirakan akan berlaku di masa depan.

5.     Mutu pendidikan secara umum dinilai telah mengalami peningkatan namun bila ditinjau dari segi pembentukan sikap dan perilaku mutu pendidikan mengalami kemerosotan. Dalam hal ini, sejauh mana peranan dan tanggung jawab para pendidik, muatan kurikulum nasional maupun lokal, proses belajar-mengajar, metode, dan sarana prasarana pendidikan mampu meningkatkan mutu pendidikan yang menghasilkan perubahan sikap dan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik.

6.     Sesungguhnya pendidikan nasional kita dewasa ini telah diaktualisasikan berdasarkan  akar budaya bangsa, tetapi kondisinya masih jauh dari budaya yang diharapkan. Hal ini disebabkan cultural message-nya kurang ditanamkan di dalam komponen proses belajar-mengajar yang antara lain disebabkan:

a.    Guru yang belum memenuhi fungsi utamanya sebagai pendidik

b.    Kurikulum yang kurang memperhatikan kandungan aspek afektif.

c.    Sarana, prasarana dan dana yang kurang memadai.

d.    Metodologi pengajaran yang kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

e.     Guru yang kurang berinisiatif, kreatif dan mengembangkan pribadi sebagai ideal (panutan).

 

BAB III: ANALISIS PERMASALAHAN DAN STRATEGI PEMECAHANNYA

 

            Telaah dan kajian keenam permasalahan di atas, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena masing-masing permasalahan tersebut saling kait-mengkait. Oleh sebab itu, permasalahan tentang bagaimana memantapkan pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh. Dikatakan sistematis karena manyangkut pemantapan sistem nilai atau norma perikehidupan dalam rangka upaya pembentukan sikap dan perilaku yang dinilai terpuji dan dapat diteladani. Dikatakan menyeluruh karena menyangkut semuan unsur pendidikan, dalam suatu proses yang saling berinteraksi, di dalam usaha manusia yang dilakukan dengan sadar untuk mempengaruhi  perilaku manusia lainnya menuju suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, sistematika penelaahan disusun berdasarkan unsur-unsur pendidikan sebagai berikut.

A. Analisis Permasalahan

      1.  Tujuan Pendidikan

Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangakan manusia Indonesia sutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Berdasarkan Statistik  Pendidikan Indonesia Tahun 1992/1993 dari Balitbang Dikbud, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diketahui bahwa angka partisipasi murni pendidikan dasar enam tahun 91,5% (25.215.662 orang) dari jumlah penduduk usia 7 - 12 tahun sebanyak 27.558.100 orang, yang berarti masih terdapat 8,5% (2.342.438 orang) anak usia sekolah dasar yang belum tertampung. Sementara itu, orang Indonesia yang buta huruf masih cukup banyak. Tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akan semakin berat dengan diterapkannya wajib belajar pendidikan dasar mulai tahun 1994. Ini adalah sebagian dari konsep pendidikan untuk semua di tanah air Indonesia.

Usaha penuntasan buta huruf menuntut kepedulian semua pihak, yaitu keluarga, masyarakat (dunia usaha/industri) dan pemerintah. Untuk itu, usaha yang paling tepat adalah melalui pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat.

    2.    Peserta Didik

Selama ini upaya peningkatan mutu pendidikan masih diutamakan pada aspek ilmu pengetahuan, sedangkan aspek nilai-nilai perilaku peserta didik cenderung kurang mendapat perhatian. Dengan demikian, ditinjau dari sisi pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa telah terjadi pemerosotan mutu pendidikan. Fakta yang mendukung perkiraan tersebut dapat dilihat antara lain dari pola tingkah laku, etika pergaulan, dan sopan santun dari sejumlah peserta didik dengan timbulnya agresivitas (kejahatan), kurang disiplin, dan kurang kesadaran untuk kepentingan bersama/umum.

    3.    Tenaga Pendidik

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa tenaga pengajar adalah merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah  disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. Masalah selanjutnya ialah sosok tenaga pengajar yang bagaimanakah yang mampu melaksanakan perannya guna mencapai tujuan pendidikan di Indonesia yaitu untuk menghasilkan manusia yang mandiri dan bertanggung jawab dengan rasa kejuangan yang tinggi. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seorang guru juga berperan sebagai teladan bagi peserta didiknya. Oleh sebab itu, guru diharapkan memiliki kemampuan profesional, berkepribadian yang utuh dan matang, di samping mampu bekerja sama dengan berbagai pihak.

a.     Guru yang ada sekarang terutama berasal dari lulusan pendidikan guru yang memilih profesi guru sebagai pilihan terakhir.

b.     Guru cenderung melakukan tugasnya hanya sebagai pengajar, bukan sebagai pendidik. Hal ini menyebabkan anak didik hanya mendapat pendidikan pada aspek kognitif, dan kurang mendapatkan pendidikan aspek afektif.

c.     Dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga kependidikan (guru dan dosen) telah dilakukan beberapa upaya antara lain: melalui program penyetaraan guru SD setara diploma II, program S-1, S-2 dan S-3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun sekembalinya mereka menyelesaikan tugas belajar, mereka cenderung tidak berminat mengajar, tetapi mengejar jabatan atau beralih ke profesi lain.

d.     Pada kenyataannya guru berasal dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam pendidikan guru perlu diterapkan pengetahuan mengenai kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa.

Akhir-akhir ini peran seorang guru sering diganti dengan perangkat teknologi seperti modul, televisi, radio dan sebagainya. Kendati pun sarana tersebut telah membantu melancarkan proses belajar mengajar, namun peran guru sebagai sosol teladan, yang patut digugu dan ditiru masih harus dilaksanakan oleh manusia. Masalahnya adalah bagaimana meningkatkan pendidikan melalui peningkatan mutu tenaga pengajarnya, bagaimana mengembangkan pribadi guru sebagai idola dan mengembangkan konsep keteladanan.

Dalam hal ini pendidikan guru tidak cukup dibekali dengan keterampilan mengajar serta keahlian di bidang ilmu tertentu, melainkan juga perlu dibekali dengan kepekaan pengamatan dan pemahaman kebudayaan di tempat bertugas. Mengingat kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia, para guru hendaknya mampu mengapresiasi kemajemukan budaya untuk menjamin kesatuan bangsa dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

    4.    Mata Pelajaran

Selama ini banyak orang berpendapat bahwa untuk menanmkan pengetahuan tertentu, harus diciptakan mata pelajaran khusus. Misalnya: dengan adanya masalah lingkungan hidup, maka sekolah harus menciptakan mata pelajaran khusus tentang lingkungan hidup; Adanya masalah pertambahan penduduk yang perlu dikendalikan, maka orang berpikir perlunya mata pelajaran kependudukan. Apabila jalan pikiran ini diikuti, akibatnya pendidikan sekolah tidak akan mampu menampung dan menyelenggarakan pengajaran dengan baik, selain hanya memperkenalkan mata-mata pelajaran untuk diketahui.

Di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa, sesungguhnya tidak berarti harus diciptakan  satu mata pelajaran khusus. Justru proses belajar mengajar maupun penyelenggaraan pengajaran di sekolah itu sendiri yang seharusnya merupakan wahana pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa. Karena itu, proses belajar mengajar yang mencakup pola-pola hubungan antar sesama guru, antar guru dengan peserta didik maupun antara sesama peserta didik hendaknya dapat dimanfaatkan  sebagai sarana dan kegiatan yang mencerminkan kebudayaan bangsa. Proses belajar mengajar tersebut hendaknya diselenggarakan dengan memperhatikan keanekaragaman latar belakang kebudayaan peserta didik dalam rangka pengembangan kebudayaan bangsa.

Mengenai akar kebudayaan yang hendak ditanamkan, tidak diperlukan mata pelajaran khusus karena sejumlah mata pelajaran yang dapat menampungnya, seperti Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; Bahasa dam Sastra; Sejarah dan Ilmu Pengetahuan Sosial; Kesenian dan Agama (kurikulum 1984), atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia/Bahasa dan Sastra Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Kesenian dan muatan lokal (kurikulum 1994).

    5.    Metode dan Media Pendidikan

Metode diartikan sebagai cara-cara  mendidik, sedangkan media diartikan sebagai sarana penunjang terlaksananya proses pendidikan dalam arti yang luar. Di lingkungan kelas metode dimaksudkan sebagai proses belajar mengajar. Kita mengetahui bahwa pendidikan berlangsung  pada tiga pusat pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah, dan masyarakat termasuk lingkungan sosial. Dengan demikian, media yang diperlukan oleh ketiga pusat pendidikan tersebut satu sama lain akan berbeda dan akan memiliki variasi masing-masing. Pada prinsipnya variasi metode dan media tersebut harus saling menunjang dan secara taat asas ditujukan untuk pembentukan manusia Indonesia yang mandiri dan bertanggung jawab.

Dalam masa pembangunan dewasa ini masyarakat agraris cenderung berubah ke arah masyarakat industrialis. Sebagai akibatnya setiap orang menemukan nilai-nilai baru, antara lain bekerja keras, sifat hemat (ekonomis), sifat sosial dan disiplin. Di sisi lain, masyarakat cenderung menggunakan waktunya untuk kegiatan-kegiatan di uar rumah. Dalam kaitan ini, bagaimana hubungan orang tua dengan anak-anak mereka di rumah? Adakah waktu untuk berinteraksi secara intensif dengan anak-anak di rumah? Jika tersedia peluang, masihkah mereka berperan sebagai teman bicara dan berceritera pengantar tidur (mendongeng)? Sedangkan kita meyakini bahwa cara-cara seperti ini memungkinkan kita mentransformasikan nilai-nilai budaya kepada anak-anak, baik berupa nasihat maupun keteladanan.

Fungsi di atas, sering diganti oleh alat-alat elektronik seperti televisi dan radio, sementara adanya Taman budaya (art centre), museum, arsip nasional, lapangan olah raga, dan lainnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Meskipun diakui bahwa belum semua daerah memiliki secara lengkap fasilitas seperti tersebut di atas. Hal ini merupakan sebagian dari masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional, sehingga peningkatan mutu pendidikan secara umum masih sulit dicapai.

    6.    Proses Belajar Mengajar

Pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar di sekolah maupun di luar sekolah melalui pesan-pesan pengajaran yang ditanamkan. Proses belajar-mengajar di sekolah merupakan satu kegiatan yang amat penting artinya dalam membentuk pola pikir peserta didik sesuai dengan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial maupun pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat.

Kegiatan tersebut berlangsung antar sesama pengajar, antar pengajar dan peserta didik maupun antara sesama peserta didik itu sendiri dan merupakan kegiatan pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa.

Namun demikian, tidak banyak orang menyadarinya, karena mereka terpaku pada isi pengajaran yang ditanamkan. Karena itu, orang seringkali lebih mempersoalkan kurikulum dari pada mempersoalkan proses belajar-mengajar yang berlangsung di sekolah.

    7.    Penilaian Hasil Pendidikan

Pemerintah selama ini telah menerapkan suatu strategi pembangunan Pendidikan Nasional yang dikenal dengan empat tema pokok yaitu: pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, relevansi pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Salah satu esensi dari relevansi pendidikan dipertajam pengertiannya dengan keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match).

Namun demikian, kenyataannya strategi pembangunan pendidikan nasional tersebut belum memenuhi harapan sesuai dengan tujuan nasional. Sebagai contoh:

a.     berkaitan dengan pemerataan pendidikan, masih terapat anak usia sekolah yang belum berkesempatan memperoleh pendidikan terutama di daerah terpencil;

b.     berkaitan dengan mutu pendidikan, terdapat perbedaan (disparitas) mutu antar daerah/sekolah;

c.     berkaitan dengan relevansi pendidikan, terjadinya pengangguran akibat dari kurangnya keterkaitan dan kesepadanan antara lulusan pendidikan dengan dunia usaha/industri; dan

d.     berkaitan dengan efisiensi pendidikan, keterbatasan sumber daya menuntut perlunya penggunaan sumber daya tersebut secara efisien. Misalnya, masalah kekurangan guru bukan hanya disebabkan oleh faktor kuantitatif, melainkan disebabkan juga oleh penyebarannya yang tidak merata.

B.    Strategi Pemecahan Masalah

Bahwa unsur-unsur  pendidikan tersebut di atas dengan berbagai permasalahan secara teknis edukatif perlu terus ditingkatkan dan disempurnakan. Di samping itu hal yang penting juga harus melaksanakan secara nyata nilai-nilai budaya bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Strategi pemecahan permasalahan dimaksud dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini.

    1.     Lingkungan Belajar-Mengajar

GBHN menegaskan baha pendidikan berlangsung seumur hidup, dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan berlangsung tidak dalam suatu kekosongan, tetapi di dalam dan di tengah-tengah suatu lingkungan. Baik disengaja ataupun tidak, lingkungan ini turut mempengaruhi pendidikan. Oleh karena itu, lingkungan perlu dibina sehingga menjadi suatu lingkungan yang bermanfaat (conducive) bagi perkembangan pendidikan, termasuk lingkungan sekolah. Istilah lingkungan tersebut hendaknya  diartikan sebagai suasana kondisional dari proses belajar-mengajar di sekolah yang bersangkutan.

Lingkungan sekolah di jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ke bawah perlu dibina menjadi pusat kebudayaan seangkan yang di jenjang pendidikan tinggi di samping sebagai kelanjutan pusat kebudayaan, juga dikembangkan menjadi lingkungan ilmiah.

a.     Sekolah sebagai pusat kebudayaan

Sekolah yang merupakan pusat kebudayaan dimaksudkan sebagai pusat nilai-nilai yang disepakati, perlu dikembangkan untuk kehidupan warga masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, perlu dibiasakan kepada peserta didik untuk sedini mungkin menggali, mengenal, memahami, menyadari, menguasai, menghayati dan belajar mengamalkan nilai-nilai melalui proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan perkataan lain, sekolah sebagai wadah utama untuk mengembangakan kebudayaan, yaitu mengembangkan perwujudan logika, etika dan estetika serta praktika sehingga peserta didik terbantu untuk menguasai pengetahuan, mampu mengadakan pilihan-pilihan hidup serta sanggup berkomunikasi secara tepat. Dengan demikian peserta didik dapat tumbuh sebagai manusia pembangunan yang bertanggung jawab, menjadi manusia Indonesia seutuhnya, dapat mewujudkan peradaban bangsa yang luhur. Oleh sebab itu, apabila sekolah ingin dianggap sebagai pusat kebudayaan, maka sekolah tersebut harus mampu menciptakan masyarakat belajar, meningkatkan mutu pendidikan, menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya dan mampu membentuk manusia pembangunan.

b.    Kampus sebagai lingkungan ilmiah

Perguruan tinggi sebagai lingkungan ilmiah dimaksudkan sebagai suatu lingkungan studi, kerja dan karya yang diandasi oleh semangat ilmiah dalam pergaulan, tindak-tanduk, perilaku, sikap maupun tutur kata para warga lingkungan tersebut.

Kampus dijadikan lingkungan ilmiah, dengan alasan: Pertama, demi pelaksanaan amanat GBHN, yang menyatakan bahwa “kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis, berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan berkepribadian  Indonesia”. Kedua, demi pelaksanaan yang mantap dan tuntas dari Tridarma perguruan tinggi, yaitu “Perguruan tinggi diusahakan agar mampu menyelenggarakan pendidikan, melakukan penelitian dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan”. Ketiga, merupakan kelanjutan dari sekolah sebagai pusat kebudayaan.

c.    Keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan masyarakat belajar (learning society)

Pembinaan terhadap pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai tempat pendidikan pertama dan wahana sosialisasi perlu dikembangkan agar lebih mampu meletakkan landasan pembentukan watak dan kepribadian, penanaman dan pengenalan agama dan budi pekerti serta dasar pergaulan. Dalam hal ini perlu keteladanan dan pengembangan suasana yang membantu peletakan dasar ke arah pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta.

 

  1. Pendidikan sebagai Totalitas Enkulturasi (Enculturation) dan Akulturasi  (Acculturation) adalah Pendidikan yang Berakar pada Kebudayaan Bangsa

Salah satu wahana pembinaan kebudayaan bangsa yang dewasa ini sangat besar potensinya ialah pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta (masyarakat) harus mengikuti ketentuan yang berlaku  dan bersifat nasional  (UUSPN Tahun 1989). Maka di seluruh wilayah nusantara tanpa kecuali berlaku sistem pendidikan yang seragam. Oleh karena itu, penyelenggara atau organisasi pendidikan swasta yang mempunyai misi berbeda, inti pelajaran yang diberikannya harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan tersebut. Dengan demikian, sistem pendidikan nasional merupakan sarana dan wahana integratif yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Sistem pendidikan nasional yang berlaku tersebut, dapat membentuk kepribadian bangsa pada generasi muda sejak mereka belajar di sekolah.

Penyelenggaraan pendidikan yang berakar pada budaya bangsa seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat awam tentang apa wujud kebudayaan dan cara mengajarkannya. Hal ini dapat dimengerti karena ada anggapan yang keliru bahwa pendidikan sekolah dianggap sebagai satu-satunya kegiatan reproduksi dan pembaharuan sosial dan seolah-olah telah menggeser fungsi pendidikan keluarga dan masyarakat.

Pendidikan, merupakan proses reproduksi dan pembaharuan sosial yang mempersiapkan segenap individu agar dapat memainkan peran sesuai dengan kedudukan sosial dan pilihan hidup mereka dengan mengacu pada pranata sosial yang berlaku. Untuk itu, maka pendidikan sering kali disebut sebagai sosialisasi.

Patut disyukuri bahwa bangsa Indonesia telah memiliki pranata sosial yang telah sama-sama diyakini sebagai pandangan hidup bangsa dan nilai budaya bangsa yang telah teruji keampuhannya. Pancasila telah menjadi sumber tertib keseluruhan perikehidupan masyarakat, bangsa dan negara, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Hal ini tercermin di dalam menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas di dalam pergaulan di segenap aspek kehidupan, yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.

Namun demikian yang manjadi permasalahan adalah Pancasila yang disepakati sebagai pandangan hidup dan sumber tertib keseluruhan perikehidupan tersebut belum mampu diaktualisasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun Pancasila itu telah dijabarkan ke dalam 36 butir nilai yang harus  dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh stiap pribadi manusia Indonesia, perlu diperhatikan bahwa ke-36 butir nilai tersebut  dalam kenyataannya belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, perlu diusahakan agar ke-36 butir nilai Pancasila itu dapat dijadikan pedoman dasar oleh setiap individu manusia Indonesia di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (terlampir 36 butir penjabaran dari Pancasila).

Selanjutnya, agar individu mampu memainkan peran-peran sosial sesuai dengan kedudukan (status) mereka dalam masyarakat, di samping harus memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai budaya bangsa yang berlaku tersebut, perlu pula tetap melestarikan nilai budaya yang luhur dan tidak bertentangan  dengan nilai-nilai di atas, yang terdapat di daerah di seluruh Indonesia.

 

BAB IV: SARAN KEBIJAKSANAAN

 

            Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, BPPN berkesimpulan untuk memberikan saran sebagai berikut:

1.     Dalam upaya memantapkan pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa perlu ditanamkan pembentukan watak dan sikap perilaku yang berakar pada kebudayaan bangsa, yaitu: bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional , bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, mempertebal rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan.

2.     Pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa harus dapat mengukuhkan kebudayaan bangsa sebagai kebudayaan persatuan yang terdiri dari simbol-simbol dan pranata sosial.

3.     Pada dasarnya kebudayaan bangsa secara formal sudah tertuang dalam Pancasila yang dijabarkan ke dalam 36 butir (terlampir), namun yang masih perlu mendapat perhatian adalah aktualisasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

4.     Dalam setiap kebudayaan terdapat simbol-simbol  dan pranata yang menjadi nilai-nilai inti (core values). Simbol-simbol tersebut berasal dari kebudayaan asli dan kebudayaan yang telah dikembangkan, termasuk kebudayaan yang datang dari luar  sebagai nilai-nilai baru. Untuk itu, nilai inti (core value)  perlu ditanamkan penghayatan dan pengamalannya dalam menghadapi derasnya pengaruh  budaya asing baik melalui difusi maupun kontak-kontak langsung.

5.     Sekolah yang merupakan pusat kebudayaan, dan kampus sebagai lingkungan  ilmiah, keduanya merupakan pusat pembinaan budaya, di samping keluarga dan masyarakat, perlu lebih dikembangkan lagi.

6.     Untuk mengatasi terjadinya pemerosotan mutu pendidikan dari segi pembentukan sikap dan perilaku perlu dilakukan upaya antara lain:

a.     Mendidik/melatih kembali guru/dosen dengan membekali guru dengan pengetahuan budaya.

b.     Menanamkan kesadaran pada penyelenggara pendidikan tentang arti pentingnya keteladanan mereka sebagai pamong.

c.      Menanamkan kesadaran pada masyarakat akan arti pentingnya fungsi pendidikan dalam keluarga.

d.     Perlu dikembangkan hubungan yang harmonis antara penyelenggara pendidikan dengan orang tua peserta didik.

Di samping itu, yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah bagaimana pemerintah melaksanakan  arah pembangunan jangka panjang kedua yang tertuang dalam GBHN yaitu:

a.    Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta kualitas sumber daya manusia Indonesia  dan memperluas serta meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan termasuk di daerah terpencil.

b.   Peningkatan kualitas pendidikan harus dipenuhi melalui: 1) peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, 2) pembaharuan kurikulum sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan zaman dan tahapan pembangunan, dan 3) penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.

c.     Pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dalam semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan perlu didorong dan ditingkatkan.

7.     Dalam muatan lokal, di samping memuat kebudayaan satu daerah tertentu, perlu pula memuat kebudayaan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

 

 

Lampiran:

BUTIR-BUTIR PANCASILA

 

I.           SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

1.       Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

2.       Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.

3.       Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

4.       Tidak memaksaakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

 

II.           SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

1.     Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.

2.     Saling mencintai sesama manusia.

3.     Mengembangkan sikap tenggang rasa.

4.     Tidak semena-mena terhadap orang lain.

5.     Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

6.     Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

7.     Berani membela kebenaran dan keadilan.

8.     Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

 

III.           SILA PERSATUAN INDONESIA

1.     Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

2.     Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

3.     Cinta tanah air dan bangsa.

4.     Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.

5.     Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika.

 

IV.       SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN

1.     Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.

2.     Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

3.     Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

4.     Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.

5.     Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.

6.     Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

7.     Keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

 

V.          SILA KEADILAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

1.           Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan dan kegotongroyongan.

2.           Bersikap adil.

3.           Menjaga kesemimbangan antara hak dan kewajiban.

4.           Menghormati hak-hak orang lain.

5.           Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

6.           Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

7.           Tidak bersifat boros.

8.           Tidak bergaya hidup mewah.

9.           Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

10.        Suka bekerja keras.

11.        Menghargai hasil karya orang lain

12.        Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

 

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA