UJIAN MASUK KE SEKOLAH MENENGAH DAN PERGURUAN TINGGI NEGERI: SISTEM DAN PROSEDUR

 

 

KATA  PENGANTAR

 

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Namun kenyataanya tidak semua lulusan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena berbagai sebab dan alasan.

Memorandum Pandangan ini membahas permasalahan tentang ujian masuk ke Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi.

Dalam penyusunan Memorandum Pandangan ini kelompok kerja antara lain telah mengadakan dialog dengan Bapak Drs. H. Amirudin  Maulana, Kepala Kanwil Depdikbud Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Drs. H. Moh. Abidin, Kepala SMA Negri Buah Batu Bandung, Ibu Pangestu, B.A., Kepala SMA Negeri 8 Bukitduri, Jakarta, Bapak Drs. Bambang Wiwit Widiantono, Wakil Ketua Panitia Ujian Masuk Fakultas Teknik Universitas Parahyangan  Bandung, dan Bapak Prof. Dr. Mawardi Yunus, Ketua Bidang Akademik, Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BM-PTSI).

Pemikiran, pendapat, dan pandangan serta saran Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) yang terumus dalam Memorandum Pandangan ini berpangkal pada hasil karya kelompok kerja yang diketuai oleh Bapak Dr. M. Quraish Shihab, M.A., dengan anggota-anggota Bapak Jenderal Polisi (Purn) Prof. Dr. Awaludin Djamin, Drs. M.P.A., Bapak Pdt. Dr. Sularso Sopater, Bapak Prof. Achmad Baiquni, M.Sc, Ph.D., dan Bapak Drs. GBPH Poeger.

Semoga pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam Memorandum Pandangan ini dapat bermanfaat bagi upaya pembenahan dan penyempurnaan sistem ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi.

 

                                         Jakarta, April 1994

                                         Makaminan Makagiansar

                                         Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

 

 

BAB  I: PENDAHULUAN

 

      A.   Latar Belakang

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Namun demikian dalam kenyataannya tidak semua lulusan dapat melajutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena berbagai sebab dan alasan, antara lain adanya ketidak-seimbangan antara  daya tampung dengan jumlah lulusan yang ingin melanjutkan. Pada tahun 1992/1993 lulusan SLTA berjumlah 1.255.700 orang, yang diterima menjadi mahasiswa baru baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta berjumlah 376.000 orang (tidak termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam dan Perguruan Tinggi Kedinasan). Dengan kata lain angka melanjutkan hanya mencapai 29,9% (Sumber: Statistik Pendidikan Indonesia Tahun 1992/1993, Balitbang Dikbud).

Sistem ujian masuk dari masa ke masa telah mengalami beberapa perubahan pola. Pada sistem ujian masuk ke sekolah menengah perubahan tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda.

Sistem ujian masuk ke sekolah menengah dewasa ini dilaksanakan dengan menggunakan Nilai Ebanas Murni (NEM). Sedangkan sistem seleksi masuk ke perguruan tinggi sampai dengan tahun 1970-an masing-masing perguruan tinggi melaksanakan seleksi sendiri-sendiri dan cara yang ditempuh satu sama lain pada umumnya berbeda. Usaha pengembangan sistem seleksi dimulai oleh perguruan tinggi anggota Sekretariat Kerjasama  Antar Lima Universitas (SKALU), yaitu Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Airlangga. Usaha ini merupakan suatu terobosan dalam seleksi calon mahasiswa. Model SKALU kemudian dikembangkan menjadi sistem nasional dan dilaksanakan dalam bentuk proyek perintis (I, II, III dan IV). Pengalaman penyelenggaraan proyek perintis itu kemudian dijadikan model untuk mengembangkan model seleksi yang diberi nama Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Sistem ini memiliki  dua komponen, yaitu (1) Penelusuran Minat dan Kemampuan  (PMDK), dan (2) Ujian Tulis (UTUL). Sistem seleksi ini berubah lagi menjadi Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN) sejak tahun 1989.

Masing-masing sistem seleksi tersebut mengandung maksud tertentu. UTUL dan Sipenmaru lebih menjurus kepada pendeteksian potensi akademik. Sedangkan EBTANAS merupakan upaya pengukuran taraf penguasaan bidang yang telah dipelajari di sekolah menengah. PMDK merupakan penelusuran riwayat prestasi belajar selama di sekolah menengah, dan UMPTN merupakan upaya menjaring calon mahasiswa yang mempunyai kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan  pendidikan sesuai batas waktu.

Berbagai perubahan sistem seleksi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh suatu sistem penerimaan mahasiswa baru yang efektif, efisien, sahih, dan adil. Dengan kata lain, di dalam pengembangan sistem seleksi masuk ke perguruan tinggi sekurang-kurangnya ada empat kriteria yang harus dipertimbangkan, yaitu kecermatan prediksi, pengaruh terhadap proses belajar-mengajar di SMTA, keadilan (equity) dan efesiensi ekonomi.

Permasalah yang timbul di dalam sistem seleksi masuk ke perguruan tinggi pada umumnya berkaitan dengan isu-isu pokok di dalam penyelenggaraan pendidikan, antara lain masalah mutu lulusan, pemerataan kesempatan, dan keadilan dan efesiensi.

Indikator permasalahan itu antara lain dapat dilihat pada (a) terbatasnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, (b) tingginya angka mahasiswa putus sekolah (drop-out), dan (c) mahasiswa yang masa belajarnya terlalu lama untuk menyelesaikan program studi. Hal ini mempengaruhi efisiensi ekonomis dan penyelenggaraan pendidikan, dan juga mempengaruhi kesempatan bagi calon peserta lain yang ingin menikmati pendidikan tinggi.

 

B.    Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji dan menelaah kebijakan yang telah ada dan pelaksanaannya, khususnya yang berkaitan dengan tata cara dan sistem ujian masuk ke sekolah menengah dan perguruan tinggi.

 

C.    Ruang Lingkup

Mengkaji permasalahan-permasalahan yang menyangkut sistem ujian masuk ke sekolah menengah dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, yang meliputi:

1). Kriteria, sistem, dan alat seleksi: bersifat nasional, regional, wilayah/rayon, atau sekolah

2)     Perbedaan mutu pendidikan antar daerah

3)     Lembaga yang berwenag menangani seleksi; dan

4)     Permasalahan mutu dan perluasan kesempatan belajar.

 

 

BAB  II: PERMASALAHAN

 

1.     EBTANAS  selama ini menggunakan bentuk objective test, yaitu multiple choice. Bentuk soal semacam ini oleh banyak pihak termasuk ilmuwan dan pakar-pakar pendidikan dinilai kurang menjamin kemampuan untuk memprediksi presetasi belajar siswa secara akurat.

Sejauh mana Nilai Ebatanas Murni (NEM) dapat dipergunakan untuk memprediksi kemampuan (potensi) belajar siswa?

2.     Penerimaan siswa baru di Sekolah Menengah Swasta sangat bervariasi. Ada sekolah swasta yang mengikuti seutuhnya cara seleksi sekolah negeri, yaitu dengan menggunakan NEM, ada pula sekolah swasta yang selain menggunakan NEM masih menambah tolak ukur lain: STTB, rapot kelas I dan II SMP, hasil tes kemampuan (aptitude test) dan tes masuk. Sekolah swasta yang menambah tolak ukur tersebut umumnya berdasarkan pengalaman kurang menyakini keandalan NEM untuk memprediksi kemampuan (potensi) belajar siswa baru.

Apakah EBTANAS pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dapat terus dipertahankan?

3.     Aspek keadilan dalam seleksi calon mahasiswa adalah aspek paling sulit untuk diterjemahkan secara oprasional. Tes seleksi disusun berdasarkan standar kurikulum yang berlaku, sementara calon siswa dan mahasiswa berasal dari sekolah yang memiliki sumber daya kependidikan yang berbeda-beda dan kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua sekolah mempunyai standar mutu yang sama. Perbedaan mutu pendidikan terdapat antara sekolah dalam satu daerah maupun antar daerah. Misalnya sekolah-sekolah  yang berada di Pulau Jawa dengan sekolah-sekolah yang ada di luar Pulau Jawa, dan antara sekolah-sekolah yang ada di perkotaan dengan sekolah-sekolah yang ada di pedesaan.

      Adilkah kalau lulusan SMA yang terletak di daerah terpencil dan lulusan SMA di Ibukota Negara dan Ibukota Provinsi diperlakukan sama?

4.     Selama ini sistem seleksi sering lebih memberi kesan sebagai sarana yang dianggap adil untuk menolak calon daripada sebagai sarana untuk mencari calon yang tepat. Jadi suatu sistem seleksi yang cenderung berperan sebagai pengendali stabilitas politik/ masyarakat.

Seberapa tepat keputusan seleksi menerima calon-calon yang berpotensi tinggi dan menolak calon-calon yang berpotensi rendah?

5.     Pendidikan tinggi adalah suatu upaya yang sangat mahal, karena itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebagai gambaran dapat disebutkan bahwa di negara berkembang yang GNP-nya kurang dari US$265 per kapita, biaya pendidikan untuk seorang mahasiswa sama dengan tujuh kali biaya pendidikan seorang siswa sekolah menengah, dan 20 kali biaya pendidikan siswa sekolah dasar.

Perbandingan biaya itu mengecil pada negara-negara yang GNP perkapitanya antara US $ 1.075 sampai US $ 2.500, yaitu 1:4:7 menurut Klitgaard, 1987 (Sumber: Seleksi Calon Masahsiswa Baru di Perguruan  Tinggi: Yang Sekarang dan Kemungkinannya untuk Masa yang Akan Datang, Prof. Dr. Sumadi Suryabrata, M.Ed.S,UGM, 1988).

Apakah sistem selesi telah diperhitungkan secara tepat ditinjau segi efesiensi ekonomisnya?

6.     Permasalahan lain adalah kehadiran Program Bimbingan Tes, yaitu suatu program yang mempersiapkan siswa untuk dapat mengikuti dengan baik UMPTN dan diharapkan berhasil. Sejauhmana peranan Program Bimbingan Tes dalam meningkatkan mutu lulusan SLTA?

 

 

BAB  III: KAJIAN PERMASALAHAN

 

A.        Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS)

Selama ini berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah penerimaan siswa baru di Sekolah Menengah Negeri dilakukan dengan tolok ukur tunggal, yakni Nilai EBTANAS Murni (NEM) hasil dari EBTANAS.

Nilai EBTANAS murni digunakan sebagai:

1.     Salah satu komponen penentuan nilai STTB

2.     Standar mutu pendidikan SLTA secara nasional

3.     peningkatan pembinaan pendidikan

4.     Peningkatan seleksi penerimaan murid atau siswa baru, untuk SD ke SLTP dan SLTA.

Masih banyak masyarakat yang menafsirkan keliru antara memperoleh nilai EBTANAS dengan lulus EBTANAS  dan lulus dengan memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).

Sesuai dengan petunjuk pelaksanaan EBTANAS  dari Direktur Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah, nilai EBTANAS  bukan merupakan nilai akhir untuk memperoleh nilai STTB yang menentukan kelulusan atau tidak lulus.

Rumus yang digunakan untuk memperoleh nilai STTB adalah:

(p + q = 2R)/4

dimana:

p= Nilai rapor semester 5 untuk program 3 tahun atau

      Nilai rapor semester 7 untuk program 4 tahun

q= Nilai rapor semester 6 untuk program 3 tahun atau

      Nilai  rapor semester 8 untuk program 4 tahun

R= Nilai EBTANAS Murni

 

Dari rumus tersebut di atas dapat terlihat bahwa nilai NEM yang rendah masih memungkinkan siswa lulus bila nilai p dan q-nya tinggi, demikian pula sebaliknya. Adanya rumus ini mempengaruhi mutu lulusan sekolah apabila nilai p dan q-nya diangkat tinggi oleh sekolah tersebut.

Pada umumnya kontrol terhadap nilai p dan q berada pada sekolah masing-masing karena berasal dari ulangan sub sumatif dan sumatif serta tes formatif di sekolah masing-masing. Sekolah swasta yang lemah mutunya akan cenderung menaikkan nilai p dan q agar siswanya bisa lulus walaupun NEM-nya rendah.

Dengan adanya NEM yang diterbitkan oleh Panitia Sub Rayon, maka masyarakat akan dapat menilai apakah lulusan sekolah tersebut bermutu baik atau rendah. Lulus dengan perolehan NEM yang tinggi tentunya lebih baik mutu siswanya daripada yang perolehan NEM-nya rendah. Sehingga untuk memasuki Perguruan Tinggi NEM ini dapat dijadikan ukuran nilai apabila di kehendaki.

Tidak ada kesatuan pendapat mengenai keandalan NEM untuk memprediksi kemampuan belajar siswa baru di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Alasan yang di kemukakan oleh mereka yang menyangsikan keandalan NEM bahwa NEM adalah hasil penilaian sesaat yang tidak menggambarkan kemampuan siswa yang sesungguhnya; di samping itu kadang-kadang NEM tidak murni karena  “diatur”. Alasan mereka yang menerima keandalan NEM ialah bahwa soal-soal yang diujikan dalam EBTANAS cukup sahih, NEM-nya tinggi umumnya mampu menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kedua pendapat tersebut masing-masing mengandung kebenaran.

Gagasan bahwa evaluasi tahap akhir pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diserahkan kepada sekolah merupakan alternatif pemecahan yang perlu dipertimbangkan. Penyerahan ini hendaknya dilakukan secara selektif, analog dengan yang terjadi pada perguruan tinggi swasta. Sekolah yang berstatus disamakan diberi kewenangan untuk menyelenggarakan sendiri evaluasi tahap akhir untuk sebagian bidang studi yang ditentukan oleh Depdikbud.

Untuk mendukung keberhasilan evaluasi belajar tahap akhir oleh sekolah tersebut,  instrumen dan lembaga yang menengani akreditasi serta mekanisme pelaksanaannya perlu disempurnakan. Di samping itu terutama kemampuan professional guru sejak pada tahap pengadaan, dan kesejahteraan perlu ditingkatkan.

Dengan adanya kebijaksanaan yang mengaitkan peringkat status sekolah hasil akreditasi dengan izin penyelenggaraan ujian sekolah, maka peranan akreditasi dan Ebta sebagai bagian dari sistem pembinaan dan pengawasan satuan pendidikan nasional akan makin jelas dan bermakna.

 

B.   Sistem Penerimaan Siswa Baru (untuk tingkat SLTA)

Sistem penerimaan siswa baru untuk Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan ialah sistem rayonisasi berdasarkan batas wilayah pemerintahan tingkat II ( Kabupaten/Kotamadya ). Dengan demikian, seorang lulusan SLTP hanya dibolehkan memilih sekolah lanjutan tingkat atas pada Sekolah Menengah Umum maupun Sekolah Menengah Kejuruan di tempat  (atau terdapat) di dalam wilayah Kecamatan/Kabupaten domisili tempat tinggalnya.

1.     Untuk Sekolah Menengah Umum Negeri, selain faktor tempat tinggal calon siswa, urutan peringkat NEM menjadi salah satu kriteria penerimaan siswa. Sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan dilakukan tes khusus berdasarkan rumpun studi pilihan, dengan maksud untuk mempertajam pengaturan siswa baru yang diterima berdasarkan peringkat NEM.

2.     Terhadap sekolah swasta (Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan) sepenuhnya diatur oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sekolah swasta yang unggul dan favorit, memberlakukan urutan NEM sebagai upaya seleksi calon siswa.

Dengan demikian bahwa yang menjadi instrumen/alat uji untuk masuk dan diterima pada sekolah menengah semata-mata disandarkan pada keabsahan/kebenaran nilai yang tercantum pada Daftar Nilai EBTANAS Murni (DANEM). Oleh karena itu, kejujuran nilai yang tersaji di dalam sertifikat DANEM calon siswa, menjadi sesuatu yang prinsipiil.

Sistem rayonisasi dan urutan peringkat NEM sebagai tata cara (subsistem) penerimaan siswa baru pada Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan, pada hakikatnya mengandung beberapa kelemahan, yakni:

1.     Prisip keadilan dan pemerataan kesempatan belajar tidak terjawab. Secara tidak sadar, sistem ini menciptakan dikotomi antar sekolah negeri dengan sekolah swasta. Artinya, sistem ini mendorong kepincangan mutu sumber siswa (raw input) sekolah negeri dengan sekolah swasta.

2.     Sistem rayonisasi penerimaan siswa baru yang didasarkan pada tempat tinggal calon siswa berdasarkan batas wilayah pemerintahan, justru paradoks dengan pengorganisasian rayonisasi penyelenggaraan EBTA/EBTANAS.

Pembentukan rayon EBTA/EBTANAS didasarkan pada pendekatan:

a.                kelancaran penyaluran soal;

b.               keamanan dan pengamanan;

c.                Jarak geografis antar satu sekolah dengan sekolah yang lain, tanpa melihat domisili peserta EBTA/EBTANAS.

            Ringkasnya, yang menjadi tolok ukur adalah tempat sekolah, bukan tempat tinggal siswa.

3.     Sistem penerimaan siswa baru sekarang ini belum secara konkret menampung calon siswa yang berasal dari satuan/jenis sekolah yang setingkat maupun yang berpenghargaan sama dengan STTB SMP. Sebagai contoh adanya keharusan memiliki NEM SMP bagi calon siswa yang berasal dari Tsanawiyah. Sedangkan untuk lulusan ST dan SKKP terbatas kemungkinannya untuk melanjutkan pendidikan ke SMK.

Sebaliknya, lulusan SMP mendapat peluang yang lebih besar karena dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum maupun Sekolah Menengah Kejuruan.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut di atas maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1.     Sistem penilaian yang berkaitan dengan penyamarataan dapat merugikan baik untuk peserta didik yang pandai maupun bagi peserta didik yang kurang pandai. Suatu kenyataan bahwa tidak setiap individu itu belajar dengan irama dan kecepatan yang sama. Apabila ini memang benar sebagai suatu kenyataan behaviour learning capacity, bagaimana kita memperhitungkannya dengan mencarikan standar mutu minimum. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta-fakta yang merupakan ciri khas dari lingkungan.

Berkaitan dengan standar mutu minimum, perlu adanya suatu tes khusus bagi calon mahasiswa dari daerah tertentu agar calon mahasiswa tersebut yang dianggap mempunyai potensi mendapat perlakuan yang khusus agar bisa masuk ke suatu perguruan tinggi yang mempunyai basic knowledge yang sudah lebih tinggi.

2.     Dalam penerimaan siswa baru di SLTP dan SLTA yang menggunakan nilai NEM, masih terdapat nilai NEM yang diragukan dan perlu diteliti ulang keabsahannya, karena bisa terjadi nilai NEM tersebut ditinggikan atau direkayasa agar siswa dapat diterima di sekolah yang dituju.

Penelitian dapat dilakukan dengan membandingkan antara nilai rapor (p+q) dan nilai NEM serta nilai STTB.

 

p+q+nR

---------- = Nilai STTB

N+2

 

Bila nilai STTB dari hasil rumusan ini tidak sesuai dengan perkalian dari DANEM maka Daftar Nilai EBTANAS Murni (DANEM) tersebut tentunya tidak sah lagi.

 

C.   Program Bimbingan Tes

Program Bimbingan Tes sudah lam ada dan kian dicari oleh siswa maupun mahasiswa. Munculnya program bimbingan tes nampaknya menjawab kebutuhan sementara siswa yang mengharapkan semacam jaminan untuk naik kelas atau lulus ujian atau lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri.

Maraknya program bimbingan tes menimbulkan pendapat pro dan kontra. Sebagian menyetujui kehadirannya, karena sudah terbukti membantu siswa lulus EBTANAS atau UMPTN. Bagi mereka kehadiran program bimbingan tes setidaknya membantu siswa untuk mengenal dan memahami sistem ujian masuk perguruan tinggi, sehingga dapat mempersiapkan diri secara lebih baik untuk mengikuti UMPTN. Sedangkan bagi mereka yang tidak menyetujui berpendapat bahwa program bimbingan tes dipandang melatih anak untuk mampu menghafal saja tanpa membimbing anak mencapai pendalaman materi. Program bimbingan tes dikatakan mengantar anak masuk ke perguruan tinggi, tetapi tidak membimbing mereka menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Sementara guru mengeluh bahwa siswanya yang memgikuti program bimbingan tes bersikap tidak acuh terhadap pengajaran di sekolah.

Nampaknya maraknya program bimbingan tes juga tidak terlepas dari berkembangnya sikap dari sebagian siswa yang berusaha lulus dengan mudah dan cepat. Di samping itu, berkembang pula sikap guru yang ingin secepatnya menyelesaikan tugas pengajarannya, dan kurang peduli apakah siswanya sudah paham atau belum mengenai materi yang diajarkannya. Atau guru mengajar tanpa persiapan yang sungguh-sungguh. Selain itu, dalam proses belajar-mengajar baik guru maupun siswa hanya mementingkan banyaknya pengetahuan daripada pemahaman materi secara mendalam. Akibatnya siswa tidak pernah dapat mengembangkan sendiri ilmu yang pernah diperolehnya atau ia tidak dapat mandiri dalam memecahkan soal-soal baru atau soal  yang sulit. Ada pepatah yang mengatakan non multa sed multum, artinya bukan banyaknya ilmu melainkan kedalaman pemahaman ilmu yang harus diupayakan di sekolah.

Oleh karena itu, pemerintah kiranya perlu mengambil langkah-langkah untuk membina dan memberikan pedoman yang jelas berkenaan materi bimbingan, metode yang digunakan, dan batasan waktu/lamanya program bimbingan yang sepatutnya diikuti. Sekaligus juga pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap yayasan penyelenggara bimbingan tes, karena banyak di antaranya yang memberikan janji-janji atau jaminan yang memikat dan muluk, yang justru dapat menjerumuskan peserta bimbingan tes.

 

D.    Seleksi Masuk ke Perguruan Tinggi

Seleksi masuk ke perguruan tinggi dilakukan dengan dua jalur. Pertama, jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) siswa dari daerah-daerah dengan melihat nilai rapor. Kedua, jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) secara nasional. Dalam pelaksanaan UMPTN di seluruh Indonesia disiapkan seperangkat naskah ujian yang diujikan pada hari yang sama, pada waktu yang sama, dan diolahnya pun sama yaitu dipusatkan. Pada dasarnya penerimaan mahasiswa baru dilakukan berdasarkan daya tampung dari setiap universitas dan setiap fakultas. 

UMPTN diikuti oleh 43 Perguruan Tinggi Negeri. Untuk memudahkan pengelolaan ke 43 PTN tersebut dibagi ke dalam 3 Rayon.

Rayon A meliputi 17 PTN di wilayah (1) Sumatera, (2) Kalimantan Barat, (3) DKI Jakarta, (4) Jawa Barat, yang terdiri dari:

1.    Universitas Syiah Kuala

2.     Universitas Sumatera Utara

3.    IKIP Medan

4.    Universitas Andalas

5.    IKIP Padang

6.    Universitas Riau

7.    Universitas Jambi

8.    Universitas Bengkulu

9.    Universitas Sriwijaya

10. Universitas Lampung

11. Universitas Tanjungpura

12. Universitas Indonesia

13. IKIP Jakarta

14. Institut Pertanian Bogor

15. Universitas Padjadjaran

16. IKIP Bandung

17. Institut Teknologi Bandung

Rayon B meliputi 9 PTN di wilayah (1) Jawa Tengah, (2) D.I. Yogyakarta, (3) Kalimantan Selatan, (4) Kalimantan Tengah, dan (5) Kalimantan Timur, yang terdiri dari:

1.   Universitas Jenderal Soedirman

2.   Universitas Sebelas Maret

3.   Universitas Diponegoro

4.   IKIP Semarang

5.   Universitas Gadjah Mada

6.   IKIP Yoyakarta

7.   Universitas Lambung Mangkurat

8.   Universitas Palangka Raya

9.   Universitas Mulawarman

Rayon C meliputi 17 PTN di wilayah (1) Jawa Timur, (2) Bali, (3) Nusa Tenggara, (4) Sulawesi, (5) Maluku, dan (6) Irian Jaya, yang terdiri dari:

1.  Universitas Airlangga

2.  Institut Teknologi Sepuluh Nopember

3.  IKIP Surabaya

4.  Universitas Brawijaya

5.  IKIP Malang

6.  Universitas Jember

7.  Universitas Udayana

8.  Universitas Mataram

9.  Universitas Nusa Cendana

10. Universitas Hasanudin

11. IKIP Ujung Pandang

12. Universitas Sam Ratulangi

13.  IKIP Manado

14.  Universitas Patimura

15.  Universitas Cendrawasih

16.  Universitas Tadulako

17.  Universitas Haluoleo

Walaupun untuk UMPTN diberlakukan sistem rayon, namun peserta masih diberi kebebasan untuk memilih dengan batasan bahwa peserta UMPTN yang memilih hanya satu program studi maka dia bebas memilih PTN di Rayon A, B dan C. Tetapi apabila peserta tersebut memilih program studi lebih dari satu, maka disarankan agar untuk program studi satunya dipilih PTN yang ada di rayonnya sendiri

Sesungguhnya seleksi penerimaan mahasiswa baru baik yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta dimaksudkan  selain untuk mengatasi keterbatasan daya tampung, seleksi dimaksudkan juga untuk mendeteksi kemampuan belajar dan minat belajar calon mahasiswa.

Namun demikian UMPTN pada hakikatnya merupakan penilaian sesaat sehingga faktor keberuntungan cukup berperan dalam menentukan kelulusan calon mahasiswa melalui UMPTN.

Keberatan yang seringkali dilontarkan terhadap UMPTN dan tes masuk Perguruan Tinggi Swasta adalah orang tua atau calon mahasiswa harus mengeluarkan biaya untuk EBTANAS dan UMPTN atau tes masuk tanpa kepastian bahwa yang bersangkutan akan diterima di Perguruan Tinggi.

Disamping itu, ekses lain dari UMPTN adalah adanya upaya yang tidak terpuji dari sebagian calon peserta ujian, yaitu dengan menggunakan joki yang artinya seseorang melakukan peran pengganti peserta UMPTN.

PMDK atau yang jenis sesungguhnya lebih tepat dan akurat, asal tidak hanya memperhatikan nilai rapor sekolah saja, melainkan juga meneliti mutu sekolah. Sebab pada sekolah yang bermutu nilai-nilai yang tercantum dalam rapor memang benar menggambarkan kemampuan belajar siswa pemilik rapor. Sedangkan nilai-nilai yang tercantum dalam rapor sekolah yang kurang/tidak bermutu seringkali tidak menggambarkan kemampuan siswa yang sebenarnya. Dengan kata lain nilai yang tinggi dalam rapor sekolah yang kurang bermutu belum tentu menunjukkan bahwa siswa dari sekolah  tersebut memang berpotensi atau pandai.

Sehubungan dengan hal tersebut sistem penerimaan mahasiswa masuk ke Perguruan Tinggi perlu dicari alternatif lain. Sebagai alat seleksi lain kiranya dapat digunakan rapor Kelas I dan II serta hasil evaluasi akhir yang diselenggarakan oleh sekolah. Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta diperkenankan untuk menentukan peringkat nilai rata-rata dari gabungan antara Rapor dan Hasil Evaluasi Tahap Akhir Sekolah yang harus dipenuhi calon mahasiswa untuk dapat diterima di Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Alternatif lain adalah dengan menggunakan tes potensi akademik, yaitu tes untuk mengukur kemampuan akademis peserta di dalam mengikuti program studi di perguruan tinggi yang dipilih. Penggunaan alat seleksi ini dilakukan secara selektif dan bertahap yang didasarkan pada kemampuan dan kondisi objektif sekolah bersangkutan, misalnya lewat PMDK.

Sebagai catatan tambahan, kurikulum SMU 1994 yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995 sesungguhnya tepat untuk menyiapkan siswa masuk keperguruan tinggi.

Sehubungan dengan itu pemerintah bersama yayasan penyelenggara pendidikan swasta meningkatkan upaya penyempurnaan pendidikan di sekolah menengah, baik negeri maupun swasta.

Di samping itu, adanya batasan daya tampung mengakibatkan sejumlah calon mahasiswa potensial tidak berkesempatan memperoleh pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebagai contoh, sejumlah calon mahasiswa yang tergolong potensial (pandai) tidak semuanya dapat diterima di PTN. Hal ini dapat dilihat dari pendaftar (yang termasuk kategori baik/pandai) sebanyak 1.000 orang, semuanya hanya ingin masuk ke ITB. Mengingat daya tampung ITB hanya 25 orang, maka anak dengan peringkat 1 sampai 25 dapat diterima, sedang nomor 26 sampai 1.000 (975 orang) tidak diterima.

Memang ada beberapa perguruan tinggi swasta melakukan kerja sama dengan panitia UMPTN, yaitu perguruan tinggi swasta tersebut menerima sebagian mahasiswa baru tanpa tes bagi siswa yang telah mengikuti UMPTN dengan nilai bagus yang gagal masuk perguruan tinggi negeri, tetapi jumlahnya belum berarti.

Contoh  lain yang sangat ekstrim adalah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) pernah dibandingkan dengan Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (FE-UNSRAT). Mahasiswa yang diterima di FE-UI sebanyak 230 orang sedang yang diterima di FE-UNSRAT 300 orang. Orang pertama yang diterima di FE-UI secara nasional adalah peringkat 3, dan orang yang ke-230 secara nasional berada pada peringkat 3.005. Sedangkan orang pertama yang diterima di FE-UNSRAT secara nasional berada pada peringkat ke-15.000, dan orang yang ke-300 secara nasional berada pada peringkat ke180.000. Dalam kaitan ini dapat diperkirakan bagaimana perbedaan mutunya.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas data lulusan SLTA berdasarkan nilai rata-rata propinsi diketahui bahwa DKI Jakarta berada pada peringkat 5 untuk kelompok IPA dengan nilai rata-rata 509,71, dan nilai rata-rata 528,05 untuk kelompok IPS dengan peringkat 3 nasional. Sedangkan propinsi Sulawesi Utara untuk kelompok IPA nilai rata-rata 468,00 berada pada peringkat ke-12 nasional, dan kelompok IPS nilai rata-rata 459,84 berada pada peringkat 15 nasional. Nilai rata-rata nasional adalah 499,99 (Sumber: Universitas Indonesia, Laporan Akhir Ujian Masuk  Perguruan Tinggi 1993).

Di samping itu, dibuka peluang bagi universitas untuk mengadakan seleksi tersendiri dengan kriteria yang ditentukan oleh unversitas yang bersangkutan. Hanya daya tampungnya dibatasi tidak lebih dari 25% per program studi.

Khusus untuk UI, Program Penelusuran Kemampuan Belajar (PPKB) masih dipilih menjadi dua. Pertama untuk pemerataan pendidikan (60%) dan kedua, untuk yang berpotensi (40%). Bagi mahasiswa yang diterima melalui PPKB, ada dua hal yang harus diikuti, yaitu pertama mengikuti program matrikulasi untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris. Kedua, dititipkan pada Penasehat Akademik (PA) khusus.

PPKB dan PMDK tidak bersifat nasional. USU misalnya, menekankan putra-putra daerah yang lulusan Sumatera Utara, Institut Pertanian Bogor menampung mahasiswa baru melalui program PMDK lebih dari 70%. UNPAD, ITB tidak menggunakan PMDK dan PPKB, sepenuhnya  (100%) menggunakan jalur UMPTN. Dengan demikian kebijaksanaan masing-masing universitas di dalam upaya menerima mahasiswa baru berbeda-beda.

Perbedaan mutu tersebut sebenarnya secara umum tidak semata-mata diakibatkan  oleh perbedaan IQ, tetapi kemungkinan cenderung diakibatkan oleh perbedaan kesempatan. Hal tersebut dapat dilihat dari pengamatan bahwa terdapat peserta didik yang pada tahun pertama dia tidak dapat mengikuti pelajaran (tertinggal), tetapi  dalam tahun-tahun berikutnya dia bisa mengejar ketinggalannya bahkan bisa melebihi peserta didik dari kota yang dinilai maju.

Sesungguhnya perbedaan mutu pendidikan dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:

1.          Rendahnya mutu pendidikan di sebagian daerah di luar Jawa cenderung karena ketidaktahuan (ignorance) siswa, misalnya siwa kurang dapat memahami suatu mata pelajaran yang memberi contoh tentang pengertian sejajar dengan “rel kereta api” yang di daerahnya tidak ditemui kereta api.

2.          Kesempatan (opportunity) yang berbeda di masing-masing daerah.

3.          Di beberapa daerah masih terdapat kantong-kantong wilayah yang secara ekonomis masih rendah, dan berakibat pada kondisi gizi masyarakat rendah pula.

4.          Adat kebiasaan/kebudayaan suatu wilayah tertentu (suku) yang menggunakan norma-norma tertentu yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tingkat kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.

Sebagai bahan perbandingan, negara Singapura mempunyai kebijakan ujian akhir pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah sampai selesai masuk ke perguruan tinggi.

Sekolah Dasar (Primary Education) mulai pada umur 6 tahun. Sebelumnya anak-anak dapat masuk TK selama satu tahun. SD berlangsung selama 6 tahun, dibagi dua tahapan (tingkat) yaitu:

1.     Kelas 1-4 dinamakan The Foundation Stage.

2.     Kelas 5-6 dinamakan The Orientation Stage.

Tamat 6 tahun anak-anak menempuh ujian akhir Sekolah Dasar (Primary School Leaving Examination – PSLE). PSLE adalah ujian nasional pada akhir kelas 6 SD.

Berdasarkan  hasil dari PSLE mereka meneruskan ke Sekolah Menengah (Secondary Education).

Sekolah Menengah  (Secondary Education) ditempuh dalam tiga jalur, yaitu:

1.     Jalur Special (S) Course yaitu 10% top yang lulus PSLE. Lama belajar 4 tahun.

2.     Jalur Express (E) Course nilai PSLE baik. Lama belajar 4 tahun.

3.     Jalur Normal (N) Course sisa dari yang dua di atas dan dibagi dalam 2 jalur yaitu Normal Academic (SN {A)) dan Normal Technical (SN {T}).

Jalur special dan jalur express setelah 4 tahun menempuh ujian akhir  untuk mendapatkan ijazah general certificate of education ‘O’ Level (GCE ‘O’ Level). Sedangkan untuk jalur normal setelah 4 tahun menempuh ujian mendapatkan ijazah GCE ‘N’ Level sebagai syarat untuk naik ke kelas 5. Setelah tamat kelas 5 (5 tahun) baru jalur normal mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah GCE ‘O’ Level, seperti jalur special dan express.

Setelah tamat Sekolah Menengah (Secondary School) baik jalur 4 tahun atau 5 tahun dan setelah mendapat ijazah GCE ‘O’ Level, bagi mereka yang mampu dapat meneruskan ke Pre-U, Junior College selama 2 tahun untuk mendapatkan GCE ‘A’ Level sebagai syarat masuk universitas. Berbeda dengan di Indonesia pemegang ijazah GCE ‘O’ Level dapat masuk Politeknik. Jadi pada dasarnya pemegang ijazah GCE ‘A’ Level  dan Politeknik  sama-sama dapat masuk ke universitas. Tapi jalur yang sebenarnya ke universitas adalah pemegang ijazah GCE ‘A’ Level (Sumber: Surat Duta Besar RI Singapura Nomor 321/Pen-Pend/db/0395 tanggal 29 Maret 1995).

Sistem ujian dengan bentuk yang sekarang itu masih perlu, tetapi jangan semata-mata pilihan ganda atau multiple choice. Sebaiknya soal ujian direkayasa agar anak bisa berpikir, yaitu suatu instrumen untuk menjajagi apakah anak bisa menguasai materinya.

Dengan sistem ujian dengan pilihan ganda seseorang dimungkinkan bisa lulus, meskipun beberapa materi pelajaran yang esensial tidak dikuasainya. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang tidak memahami materi ilmu persamaan diferensial dapat lulus dan mendapat gelar insinyur, padahal segala persoalan teknik persamaan diferensial sangat diperlukan untuk memecahkan suatu masalah.

 

BAB IV: SARAN-SARAN

 

Berdasarkan analisis permasalahan di atas, dapat dikemukakan beberapa saran-saran, yaitu:

1.     Ebtanas dan NEM sebagai tolok ukur tunggal untuk seleksi masuk ke Sekolah Menengah Negeri perlu dikaji kembali baik dari jumlah mata pelajaran yang diuji maupun bentuk soal tes objektif dengan pilihan ganda. Sistem ujian akhir tersebut masih perlu dilakukan, tetapi jangan semata-mata menggunakan bentuk soal pilihan ganda. Sebaiknya soal ujian direkayasa sedemikian rupa agar anak bisa berpikir, yaitu suatu instrumen untuk menjajagi apakah anak bisa menguasai materinya.

Demikian pula sistem UMPTN dan tes penerimaan mahasiswa baru yang berlaku pada Perguruan Tinggi Swasta hendaknya dapat dikaji kembali.

2.     Evaluasi tahap akhir  atau ujian akhir kiranya dapat dipercayakan kepada sekolah. Sekolah swasta hendaknya diijinkan menyelenggarakan ujian sendiri untuk seluruh bidang studi bagi sekolah yang bermutu baik (bersatus disamakan), dan yang diijinkan menyelenggarakan ujian sendiri untuk sebagian bidang studi bagi sekolah yang bermutu sedang (berstatus diakui). Hal ini analog dengan ketentuan yang berlaku pada Perguruan Tinggi Swasta.

3.     Seleksi masuk ke Perguruan Tinggi selain menggunakan UMPTN, hendaknya juga memperhatikan prestasi belajar siswa dengan menggunakan dasar rapor kelas I dan II serta hasil evaluasi tahap akhir sekolah. Pelaksanaan cara seleksi ini dapat dilaksanakan secara bertahap dan selektif. Di samping itu, perlu dipertimbangkan  untuk menggunakan tes potensi akademik.

4.     Berkaitan dengan upaya peningkatan mutu perguruan tinggi, maka seleksi masuk ke perguruan tinggi tidak hanya pada perguruan tinggi negeri saja, tetapi hendaknya juga dilakukan oleh perguruan tinggi swasta.

5.     Sistem rayonisasi penerimaan siswa baru hendaknya diselaraskan/disamakan dengan rayonisasi penyelenggaraan EBTA/EBTANAS.

Dengan pengertian lain, yang menjadi patokan adalah tempat sekolah asal (SMP) berada pada satu kawasan yang sama dengan sekolah yang dituju (SMA). Bagi sekolah-sekolah yang berada pada daerah perbatasan dapat memilih sub rayon yang terbaik.

6.     Untuk menjamin kesetaraan mutu pendidikan dalam rangka mendukung upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan di seluruh wilayah Republik Indonesia, maka sebagai konsekuensi logis segenap komponen pendidikan, yaitu tenaga pengajar, prasarana dan fasilitas pendidikan, buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium secara kualitatif maupun kuantitatif perlu tersedia pada setiap sekolah.

Namun menyadari kemampuan negara yang terbatas, kiranya prioritas utama dapat diberikan pada daerah-daerah yang secara ekonomis masih tertinggal.

7.     Dengan adanya  EBTANAS dan UMPTN, sebagian masyarakat merasakan menanggung beban biaya yang tidak sedikit. Hendaknya pemerintah dapat mempertimbangkan agar biaya EBTANAS dan UMPTN dapat ditekan serendah mungkin.

8.     Perlu dipikirkan adanya kebijaksanaan membuka jalur pendidikan dengan masa studi lebih panjang (4 tahun) pada tingkat sekolah menengah, untuk memberi kesempatan kepada peserta didik yang karena alasan tertentu tidak dapat mengikuti pendidikan selama 3 tahun.

9.     Lembaga bimbingan tes bertujuan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat mengikuti tes memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik jenjang menengah maupun tinggi, tetapi pelaksanaannya hendaknya jangan sampai mengesampingkan fungsi sekolah. Seyogyanya justru sekolah diberikan legalitas untuk menyelenggarakan bimbingan tes dan dapat merekrut dari alumnus sekolah tersebut yang berkemampuan.

10.  Perlu dipertimbangkan adanya kebijaksanaan tentang kerja sama antar perguruan tinggi negeri dengan perguruan tinggi swasta untuk memanfaatkan peserta UMPTN yang lulus tetapi karena keterbatasan daya tampung tidak diterima di perguruan tinggi negeri dapat disalurkan ke perguruan tinggi swasta.