PENILAIAN PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR

PENGANTAR

Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah berlangsung mulai tahun 1994 hingga kini telah mencapai 8 tahun. Dalam perjalanannya program tersebut harus diakui selain memberikan hasil positif juga mengalami berbagai kendala dan hambatan, terutama tatkala krisis nasional melanda tanah air diawali dari krisis moneter sampai dengan krisis politik. Krisis yang berkepanjangan tersebut berdampak langsung pada pelaksanaan program wajib belajar, terutama pada pencapaian target untuk menuntaskan sasarannya yang telah disepakati selambat-lambatnya tahun 2004.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, BPPN telah berinisiatif untuk menilai program wajib belajar tersebut untuk kemudian memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang isinya sebagaimana diuraikan dalam saran pertimbangan ini, dengan harapan pemerintah dapat mengambil langkah-langkah strategis sesuai dengan semangat saran dan pertimbangan BPPN.

Semoga saran pertimbangan ini dapat digunakan sebaik-baiknya dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas sebagai sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan globalisasi.

Jakarta, Desember 2001

 

Awaloedin Djamin

Ketua BPPN

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, etnis, golongan dan hidup di bentangan pulau-pulau, besar dan kecil, memiliki penduduk dengan tingkat sosial, ekonomi dan latar belakang pendidikan yang berbeda pula. Ada sebagian masyarakat yang sudah berpendidikan tinggi, namun tidak sedikit yang berpendidikan rendah, bahkan ada yang sama sekali belum mengenyam pendidikan.

Dalam upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun pada tanggal 2 Mei 1994. Wajib belajar sangat penting bagi suatu bangsa. Kalau tidak diberi ketentuan secara resmi adanya wajib belajar sekurang-kurangnya suatu bangsa harus menyadari bahwa untuk kepen­tingan masa depannya negara harus bersedia untuk melakukan usaha pendidikan yang sebaik-baiknya yang disertai dengan investment kepada berbagai kemampuan manusia.

Tidak ada bangsa yang maju tanpa adanya usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya keputusan Pemerintah masa lalu untuk melakukan wajib belajar adalah suatu keputusan yang sangat luhur. Langkah ini merupakan hal yang sangat penting dan berarti untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar mampu bersaing bahkan lebih maju dari bangsa lain.

Pengertian wajib belajar di sini adalah kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang berumur 7 (tujuh) tahun lebih untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun akan sangat membantu upaya pengentasan bangsa dari keterbelakangan dan kemiskinan. Indikator keberhasilan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dapat diketahui dari angka partisipasi siswa menjadi peserta didik. Data tersebut lazim dihitung dengan:

1.    Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu perbandingan antara jumlah peserta didik (SD) usia 7-12 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun dikalikan 100.

2.    APM untuk tingkat SLTP[1] yaitu perbandingan antara jumlah peserta didik SLTP usia 13-15 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 13-15 tahun dikalikan dengan 100.

Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional merupakan alat dan sekaligus tujuan yang sangat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan peran dan fungsi pendidikan nasional dalam pelaksanaan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional merupakan alat yang sangat fungsional dalam upaya pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang berkualitas dan mampu mandiri serta dalam rangka pemberian dukungan bagi perkem­bangan masyarakat, bangsa, dan negara dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh; yang mengandung makna terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham, dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989). Dengan perkataan lain, pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa.

Program Wajib Belajar pada hakekatnya merupakan upaya pemerintah meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pembangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasiladan UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia mengandung arti sebagai universal primary education, yaitu terbukanya kesempatan secara luas bagi semua peserta didik untuk memasuki pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi orangtua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan.

Adapun ciri-ciri Wajib Belajar yang selama ini berlangsung di Indonesia adalah:

1.    Tidak bersifat paksaan melainkan persuasif.

2.    Tidak ada sanksi hukum, dan yang lebih menonjol adalah aspek moral yakni orang­tua dan peserta didik merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan dasar karena berbagai kemudahan telah disediakan.

3.    Tidak diatur dengan undang-undang tersendiri.

4.    Keberhasilan diukur dengan angka partisipasi. Mengingat peranan Wajar Dikdas 9 Tahun sangat strategis dalam pembangunan bangsa, maka BPPN memandang perlu untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaannya yang selama ini berlangsung, untuk kemudian menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah.


BAB II

PERMASALAHAN

1.    Sejauhmana penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dilaksanakan?

2.    Seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya?

3.    Kendala apa yang dihadapi dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun?


BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A.    Gambaran Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 5 menyatakan bahwa: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan," dan "Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar" serta pada ayat (2) dinyatakan bahwa: "Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat." Yang dimaksud dengan pendidikan dasar menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar sebagaimana dinyatakan pada Bab I Pasal 2 adalah: "Pendidikan Dasar merupakan pendidikan 9 (sembilan) tahun, terdiri atas program pendidikan 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar dan program pendidikan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama."

Lebih lanjut dinyatakan pada Bab II Pasal 3 bahwa "Pendidikan bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah."

Wajib Belajar Pendidikan Dasar dalam pelaksanaannya dituangkan di dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Secara operasional didukung dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 18/Kep/Menko/ Kesra/X/1994 tentang Koordinasi Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan No. 07/Kep/Menko/ Kesra/III/1999 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pelaksanaan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dicanangkan sebagai gerakan nasional, dimaksudkan untuk:

a.    Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar;

b.    Memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat;

c.    Memberikan pengarahan agar wajib belajar pendidikan dasar dapat diikuti oleh semua warga negara Indonesia yang berusia 7 sampai 12 tahun untuk Sekolah Dasar dan yang sederajat dan/atau setara dan berusia 13 sampai dengan 15 tahun untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan yang sederajat dan/atau setara;

d.    Memberikan batasan waktu agar penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar tersebut dapat dituntaskan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 15 tahun, yaitu pada tahun pelajaran 2008/2009. Kemudian atas pengamatan dan penga­laman dalam pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar selama 2 (dua) tahun, penuntasannya dapat dipercepat menjadi 10 tahun, yaitu sampai dengan tahun 2003/2004.

Ada beberapa alasan pemerintah menetapkan pendidikan dasar sebagai pendidikan wajib bagi semua anak usia 7-15 tahun yang dimulai tahun 1994.

Pertama, lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan bahkan kurang, yaitu mereka yang putus SD dan buta aksara. Dibanding­kan dengan kondisi negara lain di ASEAN, apalagi dengan negara-negara industri baru seperti Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong, negara-negara tersebut jauh lebih maju dalam pencapaian kinerja mereka di dunia pendidikan.

Kedua, dari segi ekonomi, pendidikan dasar merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat memberikan nilai tambah bagi pertumbu­han ekonomi. Pendidikan merupakan investasi di bidang kemanusiaan (human investment).

Ketiga, ada bukti bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar pula peluangnya untuk lebih mampu berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta lebih memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Keempat, dari segi kepentingan peserta didik, wajib belajar dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka, sehingga pada gilirannya akan memperbesar peluang mereka guna meningkatkan martabat, kese­jahteraan, dan makna hidupnya.

Kelima, pengalaman perkembangan di negara-negara industri baru di Asia (Singa­pura, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat akan berjalan seiring dengan meningkatnya pendidikan di negara tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya prakondisi, menyangkut jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tertentu. Prakondisi ini merupakan semacam indikasi dasar tentang mutu tenaga kerja, dalam masyarakat yang sudah siap membangun. Prakondisi itu ialah jika pendidikan di tingkat partisipasi sekolah di SD telah mendekati 100%, SLTP 80%, SLTA 60% dan Perguruan Tinggi (PT) sekitar 20%. Dengan tercapainya pra kondisi ini, produktivitas tenaga kerja akan meningkat dan dapat memberikan dampak pada kesejahteraan penduduk, dan meningkatkan kemampuan komunikasi penduduk, sehingga berbagai kegiatan ekonomi dan nonekonomi dapat berjalan di atas landasan kualitas sumber daya manusia yang memadai.

Keenam, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada era ekonomi terbuka dan persaingan bebas akan makin berat. Hal ini ditandai dengan dimulainya pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 2002 dan dimulainya pasar bebas APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) pada tahun 2020, di samping telah dilaksanakannya pengendalian perdagangan internasional melalui kesepakatan-kesepakatan dalam organisasi perdagangan dunia, yaitu World Trade Organization (WTO). Kelembagaan penyelenggara pendidikan program enam tahun di SD dan yang sederajat dan/atau setara, terdiri atas 10 (sepuluh) satuan pendidikan sebagai berikut:

1.   Sekolah Dasar (SD) Biasa

2.   SD Kecil

3.   SD Pamong

4.   SD Luar Biasa

5.   Sekolah Luar Biasa

6.   SD Terpadu

7.   Program Kejar Paket A

8.   Kursus Ujian Persamaan SD (Upers SD)

9.   Madrasah Ibtidaiyah (MI)

10. Pondok Pesantren (Ponpes).

*)   Institusi (lembaga) penyelenggara pendidikan program tiga tahun di SLTP dan yang sederajat dan/atau setara terdiri atas 11 (sebelas) satuan pendidikan sebagai:

a.       Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Biasa

b.       SLTP Kecil

c.       SLTP Terbuka

*)   Formulasi dan penjelasan lanjut tentang pondok pesantren perlu dibuat, dirumuskan sehingga pengertiannya tidak lagi kabur, menjadi eksplisit, jelas wujud subyeknya.

d.       SLTP Luar Biasa (LB)

e.       Sekolah Luar Biasa (SLB)

f.       SLTP Terpadu

g.       Program Kejar Paket B

h.       Kursus Ujian Persamaan SLTP

i.       Madrasah Tsanawiyah (MTs)

j.     MTs Terbuka

11. Pondok Pesantren Tradisional (Salafiyah) yang seyogyanya setingkat dengan SLTP atau Madrasah Tsanawiyah.

Tujuan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah:

a. Mempertahankan dan meningkatkan pencapaian angka partisipasi pendidikan di SD/MI mendekati 100%.

b.   Meningkatkan daya tampung SLTP/MTs dan yang setara, serta mencegah terjadinya angka putus sekolah/angka mengulang, sehingga angka partisipasi di SLTP/MTs mencapai sekurang-kurangnya 85% secara nasional.

 

B.    Penilaian Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan wajib belajar berdasarkan kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah perlu dilakukan penilaian yang obyektif seberapa jauh hasil yang telah dicapai dan bagaimana proses pelaksa­naannya berlangsung. Penilaian ini didasarkan pada data dan informasi yang dihimpun dari laporan resmi dan data statistik yang ada, ditambah hasil dialog dengan nara sumber. Penilaian ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan upaya mewujudkan tujuan wajib belajar, sebaliknya justru untuk menunjukkan letak kekurangan dan kelemahan pelaksanaannya, demi mencapai sukses sesuai dengan harapan dan tekad semula.

1.       Gambaran kuantitatif hasil pelaksanaan wajib belajar.

Berdasarkan data statistik tentang jumlah siswa yang mengikuti program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diketahui bahwa pelaksanaan Wajib Belajar untuk tingkat SD berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM) data tahun 1984, 1994, dan 2000 diperoleh gambaran bahwa telah dicapai tingkat partisipasi pendidikan di tingkat SD mendekati angka 100%. Data ini sepintas memberikan kesan bahwa program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun telah berhasil memenuhi sasaran. Apabila angka statistik ini dibaca secara tidak jeli dan tidak diikuti dengan upaya mendalaminya, niscaya akan memberi kesan bahwa pelak­sanaan program wajib belajar di tingkat SD telah memenuhi sasaran program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun. Tetapi data-data tersebut perlu diteliti lebih seksama, karena dari beberapa kasus yang ditemukan baik langsung oleh anggota BPPN maupun laporan media massa, diketahui banyak anak yang terdaf­tar sebagai murid SD tetapi kenyataannya tidak lagi bersekolah. Menurut laporan pejabat pemerintah di Kabupaten Sampang Madura, misalnya hal ini antara lain disebabkan karena motivasi orangtua untuk mengirim anak bersekolah memang sangat rendah. Pada tingkat SLTP APM tahun 1984, 1994 dan 2000, sekalipun mengalami peningkatan namun angkanya masih berada jauh di bawah target 85%, yaitu sebesar 38,40% tahun 1984, 43,13% tahun 1994, dan 58,2% tahun 2000.

Sebaliknya bila angka-angka partisipasi sekolah di tingkat SD dan SLTP tersebut dihubungkan dengan tingginya angka putus sekolah dan angka banyaknya murid yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, persentasenya masih belum memuaskan. Kecenderungan pada tahun 1984, 1994 dan 2000 menunjukkan bahwa angka putus sekolah justru mengalami peningkatan, sehingga target sasaran penuntasan wajib belajar 9 tahun yang akan berakhir pada tahun 2004 dikhawatirkan tidak dapat terpenuhi. Untuk mengatasi hal ini perlu langkah-langkah terobosan tertentu, termasuk penyediaan dana pendidikan yang memadai. Hal ini dipandang perlu karena adanya angka putus sekolah dan angka tidak melanjutkan sebagian besar disebabkan kemampuan ekonomi keluarga peserta didik rendah, bahkan anak didik dimanfaatkan keluarga untuk membantu mencari nafkah. Di samping kemampuan ekonomi, sebagian masyarakat lain juga masih menganggap bahwa dalam jangka pendek pendidikan kurang menjamin peningkatan kesejahteraan keluarga secara berarti.

Adapun Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD tahun 1984: 88,66%, tahun 1994: 93,56% dan untuk tahun 2000 tercatat APM sebesar 99,10%. Sedang angka putus sekolah yang resmi tercatat berdasarkan laporan sekolah (tidak termasuk angka putus sekolah yang terjadi di Madrasah Ibtidaiyah) adalah: tahun 1984 sebesar 3,46%, tahun 1994 sebesar 3,67%, dan tahun 2000 sebesar 3,38%. Angka putus sekolah yang dihitung berdasarkan laporan sekolah tersebut, menja­di lebih realistis mengukur derajat ketahanan murid untuk bersekolah (school sustainment) bila digabung dengan angka banyaknya murid SD yang tidak melan­jutkan, berdasarkan laporan resmi dari sekolah juga. Angka tidak melanjutkan itu masing-masing tahun 1984 ada sebesar 29,2%, tahun 1994 ada sebesar 36,42% dan tahun 2000 ada sebesar 23,50%. Untuk anak-anak usia 13-15 tahun yang menjadi sasaran wajib belajar di tingkat SLTP atau Madrasah Tsanawiyah. Tingkat Partisipasi Murni (APM) tahun 1984 ada sebesar 38,40%, tahun 1994: 43,13%, tahun 2000: 59,20%. Kondisi putus sekolah di tingkat SLTP ini tidak menunjukkan peningkatan dramatis bila dibanding dengan angka putus sekolah di tingkat SD, padahal dilihat dari usia anak untuk membantu orangtua bekerja murid SLTP lebih rawan putus sekolah. Angka putus sekolah SLTP untuk tahun 1984: 5,64%, tahun 1994: 4,13% dan tahun 2000: 4,04%, tidak termasuk Madrasah Tsanawiyah. Sebaliknya, banyaknya murid SLTP yang tidak melan­jutkan ke jenjang pendidikan berikutnya jauh lebih rendah bila dibanding dengan tingkat tidak melanjutkan jenjang pendidikan SD yakni masing-masing untuk tahun 1984 sebesar 12,57%, tahun 1994 sebesar 16,63%, kecuali tahun 2000: 34,40%, yang ternyata angka tidak melanjutkan SLTP lebih tinggi daripada angka di jenjang SD. Sedang perihal kualitas proses belajar dan mengajar yang di jenjang SD bila diukur dengan lamanya murid di dalam kelas (exposed to lesson) untuk menerima pelajaran dari guru bila dibanding di negara-negara Eropa Barat, umumnya murid SD kelas satu di Indonesia berada di kelas untuk menerima pelajaran dari guru jauh lebih rendah. Padahal ragam dan banyaknya mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang diajarkan di kelas di sekolah dasar di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Develop­ment) murid-murid kelas satu SD di Negeri Belanda dalam setahun belajar selama 860 jam pelajaran, di Belgia sebanyak 1.000 jam pelajaran, di Jerman 564 jam pelajaran, Inggris 840 jam pelajaran, dan Indonesia sebanyak 525 jam pelajaran (Sumber "Education in Indonesia from Crisis to Recovery" terbitan World Bank tahun 1998 halaman 28-29).

Sesuai dengan uraian tersebut di atas dapat diketahui beberapa kondisi objektif pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sebagai berikut:

a. Angka partisipasi sekolah anak usia SD sejak dimulainya program Wajib Belajar 6 Tahun (1984) meningkat pesat, yaitu pada tahun 1994 mencapai 93,56% dan tahun 2000 mencapai 99,10%.

b. Sejak dicanangkannya program Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun 1994, angka partisipasi SLTP hingga tahun 2000 mencapai 59,2%. Ini berarti tidak banyak beranjak dari kondisi tahun 1994 (43,13%). Hal ini boleh jadi karena respon masyarakat terhadap program itu belum sesuai dengan yang diharap­kan.

c.  Tingginya drop out dan rendahnya partisipasi sekolah pada tingkat SLTP dan SMK serta SMU pada umumnya karena alasan ekonomi, karena orangtua tidak sanggup membiayai.

Sebaliknya, temuan survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa ternyata rumah tangga Indonesia rata-rata sangat tidak memperhatikan biaya pendidikan anaknya. Di kota-kota, rumah tangga hanya membelanjakan 3,30% dari pengeluarannya untuk biaya pendidikan. Di desa angka itu lebih rendah lagi, yakni hanya 1,27% dari belanja ke­luarga digunakan untuk pengeluaran yang berhubungan dengan pendidikan, termasuk buku.

d.  Indonesia dalam menyongsong berlakunya otonomi daerah harus siap memperhitungkan keadaan bahwa tanggung jawab pendidikan dasar ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Pemerintah Daerah Kota, termasuk penyediaan biayanya. Karena itu, yang harus diantisipasi sesungguhnya seberapa besar perhatian pemerintah daerah pada masalah pendidikan dasar termasuk penyelenggaraan wajib belajar ini.

e. Permasalahan dasar pendidikan di Indonesia termasuk soal wajib belajar adalah pengelolaan program pendidikan yang kurang memperhitungkan pentingnya peran serta orangtua murid dan masyarakat. Semua biaya cen­derung diharap menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan utamanya bersumber dari dana yang dapat dimobilisasi dari masyarakat (community participation) termasuk peran serta langsung dari tanggung jawab orangtua murid.

2.   Penilaian terhadap kualitas pelaksanaan wajib belajar Berkaitan dengan penilaian kualitas dalam proses pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dari hasil dialog dengan nara sumber dan pihak-pihak yang terkait diperoleh informasi sebagai berikut:

a. Masyarakat di daerah umumnya belum sepenuhnya mengerti tentang wajib belajar, karena kurangnya upaya sosialisasi yang jelas kepada masyarakat.

b. Sebagian masyarakat masih merasa bahwa pelaksanaan wajib belajar belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masyarakat menilai bahwa secara kualitatif belum nampak ada perubahan yang berarti terhadap hasil kerja lembaga sekolah termasuk kinerja para guru, terutama diukur dari mutu lulusannya.

c. Ketentuan wajib belajar seharusnya membebaskan anak untuk membayar uang sekolah, sehingga sekolah-sekolah negeri tidak memungut SPP. Tetapi di dalam prakteknya anak-anak masih dipungut biaya partisipasi orangtua murid melalui BP3 yang biasanya lebih mahal dari SPP. Bagi sekolah swasta memang tidak ada kewajiban untuk membebaskan uang sekolah.

d.  Kondisi masing-masing daerah dan kemampuan orangtua murid tidak sama. Ada daerah kaya dan ada daerah miskin. Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur yang berpenduduk hanya 424.452 orang misalnya, merupakan daerah yang kaya, sehingga dengan APBD sebesar 3 triliun rupiah, sangat boleh jadi tidak akan kesulitan dalam membiayai Wajib Belajar 9 Tahun. Berbeda dengan daerah lain yang jumlah penduduknya lebih banyak, sedangkan APBDnya, terutama yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah kecil. Daerah miskin semacam ini akan merasa berat untuk menanggung seluruh biaya Wajib Belajar 9 Tahun, apalagi bila diharapkan mutu dan kinerja sekolah meningkat. Seluruh warga masyarakat pada hakekatnya berhak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama, tetapi kemampuan ekonomi dan sosial masing-masing anggota masyarakat tidak sama. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan menyukseskan program wajib belajar, titik berat tugas otonomi harus diletakkan pada pelaksanaan pendidikan dan kesehatan.

e. Di Malaysia tidak ada ketentuan perundang-undangan yang secara eksplisit menetapkan adanya wajib belajar, tetapi pemerintah membiayai pelaksanaan program pendidikan sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas. Di Australia dan Belanda juga ada wajib belajar sampai dengan tingkat menengah, dan pemerintah membiayainya. Untuk tingkat universitas pemer­intah tidak membiayai sepenuhnya, karena indeks biaya pendidikan per peserta didik makin tinggi untuk jenjang pendidikan tinggi. Sedangkan di Jerman pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan termasuk di perguruan tinggi.

f. Berkenaan dengan tahap perkembangan pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pertanyaan tentang siapakah yang berwenang memberikan evaluasi terhadap Wajib Belajar Pendidikan Dasar, apakah Itwilprop, Kanwil, atau Badan Litbang, perlu dikaji ulang sehingga ke depan makin jelas. Pada saat ini Inspektur Jenderal Depdiknas sedang menyiapkan rancangan ketentuan perundang-undangan mengenai pengawasan pendidikan termasuk pengawasan pelaksanaan semacam wajib belajar.

g. Ketersediaan tenaga kependidikan, perangkat gedung sekolah, dan sarana serta prasarana sekolah/lembaga pendidikan, sejauh ini belum optimal dise­diakan, sehingga kebijaksanaan, program dan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah memerlukan kajian ulang secara menyeluruh.

h.  Selama ini peningkatan anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk membangun gedung dan infrastruktur pendidikan. Sebaliknya, justru setelah ada kebijaksanaan Inpres sekolah pelaksanaan kebijaksanaan itu ternyata merupakan salah satu sumber mismanagement pendidikan, karena banyak daerah yang sekedar mengharapkan untuk memperoleh bantuan Inpres sekolah, dengan memanipulasi laporan tentang angka jumlah anak-anak yang membutuhkan sekolah, tetapi dana Inpres yang disediakan pemerintah digu­nakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah pada waktu dan tempat yang kurang membutuhkan, dengan mutu yang menyimpang dari standar yang telah ditetapkan.

i. Berkaitan dengan masalah pengadaan tenaga guru, pada saat dicanangkan program wajib belajar 6 tahun dulu pun sebenarnya Pemerintah belum siap dengan tenaga pengajarnya. Karena program wajar dikdas tidak bisa ditunda-tunda lagi, maka terpaksa diciptakan pendidikan guru yang sifatnya darurat yaitu melalui penyelenggaraan program Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

j. Rendahnya mutu guru bisa dilihat pada data terakhir Balitbang Depdiknas yang mengungkapkan fakta bahwa guru yang layak mengajar di SD ada di bawah 30% sedangkan guru yang layak (memenuhi syarat) mengajar di SLTP di bawah 50%.

k. Melihat fakta mutu guru tersebut, bagaimana mungkin suatu sistem pendi­dikan akan dikelola secara optimal dengan tenaga-tenaga yang rata-rata berada jauh di bawah standar? Oleh karenanya masalah yang paling crucial saat ini adalah penyediaan tenaga pengajar yang berwenang, yakni memiliki kompetensi untuk mengajar baik sebagai guru kelas maupun guru mata pelajaran.

l. Banyak tenaga guru yang tidak berlatar belakang sekolah guru dan tidak dipersiapkan untuk menjadi guru. Oleh karena itu, mereka mengajar tanpa kompetensi. Ekses dari tidak terkontrolnya pengangkatan tenaga guru ini, misalnya ada guru yang diangkat berasal dari latar belakang pendidikan tamatan IAIN mengajar matematika, sementara lulusan pendidikan guru (SPG) yang ada karena alasan peningkatan syarat minimal pendidikan tenaga pengajar di SD (menjadi D-IV atau S1) tidak kunjung diangkat menjadi guru. Dalam kaitan ini yang paling ideal adalah guru yang tidak qualified itu diganti semuanya.

m. Berdasarkan laporan pertemuan tokoh-tokoh pendidikan dunia, disinyalir bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara nyata hanya bisa diikuti dan berpeluang dikuasai 20% penduduk dunia, sementara sisanya yang 80% penduduk dunia lainnya tidak akan atau mustahil berpeluang menguasainya. Perbandingan ini dalam wacana politik pendidikan dunia disimbulkan dengan angka perbandingan 20:80 yang menggambarkan derajat kesenjangan kondisi pendidikan secara global. Pertanyaannya bagaimana masyarakat internasional dan negara-negara di dunia akan mengatasi kesen­jangan itu? Padahal jika ditilik dari kondisi pendidikan di negara-negara berkembang terutama diantara negara-negara berkembang itu yang tergolong paling miskin pada saat ini penduduk yang 80% ini makin lama akan sema­kin tertinggal, karena teknologi berkembang sangat cepat. Karenanya kondisi kesenjangan ini memiliki implikasi kepada kebijaksanaan, yang perlu diper­hatikan pada saat negara merumuskan kebijaksanaan pendidikan nasional. Perbandingan 20:80% tersebut adalah angka global untuk masyarakat dunia guna menggambarkan kesenjangan peluang untuk dapat mengikuti perkem­bangan teknologi. Tiap-tiap negara secara internal juga mempunyai angka ratio sendiri yang menggambarkan derajat kesenjangan yang ada diantara penduduknya. Untuk Indonesia boleh jadi angka perbandingan itu berada pada 10:90. Sedang Singapura kabarnya sedang berusaha untuk mencapai tingkat kesenjangan itu menjadi terbalik 80:20, lewat kebijakan pendidi­kannya.

Selama ini belum ada usaha yang baik dan terarah yang dilakukan terus-menerus mengenai penciptaan sumber penerimaan negara yang dirancang khusus untuk membiayai pendidikan, sehingga banyak hal yang ditetapkan oleh pemerintah tidak bisa diimplementasikan secara benar antara lain karena kurang mampu memobilisasi sumber pembiayaanya selain kelemahan dalam pengelolaan program pendidikan nasional secara keseluruhan.

Ada pemikiran yang berkembang agar dimasa yang akan datang pendidikan dasar hendaknya dilakukan selama 8 tahun: mencakup 2 tahun early age education setara Taman Kanak-kanak, ditambah 6 tahun SD. Selama 8 tahun tersebut pelak­sanaannya harus dibiayai secara baik, sehingga pendidikan yang dilakukan itu betul-betul bermutu dan mempertimbangkan feasibility untuk dilaksanakan bagi seluruh anak Indonesia.


C.   Gagasan Penyempurnaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Pengalaman para pengajar menunjukkan bahwa anak yang masuk Sekolah Dasar (SD) melalui pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) lebih mampu mengikuti pelajaran dibandingkan dengan anak yang langsung masuk SD. Hal itu antara lain disebabkan karena anak yang melalui TK sudah terbiasa dengan lingkungan sesama murid dan berhadapan dengan seorang guru. Lain dari itu juga karena anak di TK sudah dilatih cara berpikir dan "mengelola" perasaannya melalui permainan dan acara lain yang diadakan dalam pendidikan TK. Dengan begitu anak keluaran TK lebih siap secara emosional dan intelektual untuk mengikuti pendidikan SD kelas 1. Untuk anak yang tidak lewat TK diperlukan waktu penyesuaian diri, yang berarti pemborosan waktu dan belum tentu memperoleh hasil yang sama dengan pendidikan TK. Mengingat hal itu kurang tepat bila menganggap Pendidikan TK sebagai pendidikan pra-sekolah sebagaimana sekarang berlaku di Indonesia.

Adalah tidak adil dan bahkan tidak mendukung pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai ketika hanya sejumlah kecil anak Indonesia masuk TK, dan yang masuk TK itu adalah umumnya anak orangtua yang tinggal di kota serta yang baik kondisi sosial ekonominya. Sedangkan mayoritas anak Indonesia, terutama yang tinggal di luar kota, tidak pernah tersentuh oleh pendidikan TK. Padahal diantara sekian juta anak itu pasti tersimpan aneka ragam bakat yang perlu dikembangkan sebaik-baiknya sedini mungkin untuk menghasilkan kemampuan dan kecakapan.

Berhubung dengan itu pendidikan TK perlu masuk dalam Sistem Sekolah dan tidak lagi berstatus pra-sekolah. Selain itu pendidikan TK harus diperoleh setiap anak Indonesia. Karena itu pendidikan TK yang berlangsung 2 tahun harus menjadi bagian dari wajib belajar yang telah ditetapkan dengan undang-undang, sehingga perlu ada perubahan dalam UU itu yang juga mencantumkan pasal tentang pendidikan anak usia Taman Kanak-kanak ini.

Ini semua tidak berarti bahwa substansi pendidikan TK, yaitu cara mendidik anak usia 5-6 tahun, berubah dan meninggalkan sifatnya yang semula. Pendidikan TK tetap berorientasi ke permainan yang membuat anak senang belajar, serta terbiasa bergaul dengan anak yang lain. Memang sekarang ada sementara TK yang mening­galkan cara mendidik anak usia 5-6 tahun itu yang menitik beratkan belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar dan antara lain mengajarkan kepada muridnya membaca, menulis dan berhitung, seperti yang dilakukan Sekolah Dasar. Pendeka­tan ini tidak tepat karena meninggalkan ciri-ciri pendidikan TK yang khas dan jelas maksudnya. Pengintegrasian pendidikan TK dalam Sistem Sekolah justru harus meningkatkan mutu TK sesuai dengan fungsinya yang berbeda dari pendidikan SD. Oleh sebab itu, tidak perlu TK sebagai organisasi disatukan dengan SD. Namun demikian Pemerintah harus mengusahakan jumlah TK yang makin sesuai dengan jumlah anak didik serta dengan mutu yang memadai.

Hal ini mungkin pada tahap permulaan sukar dijalankan karena kendala terbatasnya dana Pemerintah. Namun kalau sudah ditetapkan bahwa TK adalah pendidikan yang wajib bagi setiap anak Indonesia, mau tidak mau akan ada usaha agar keadaan itu dapat diwujudkan dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Adanya delegasi wewenang dalam pendidikan kepada daerah memungkinkan pencapaian tujuan ini dapat lebih nyata terlaksana. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa harus ada pembentukan guru TK yang jumlah dan mutunya memadaiTanpa faktor itu ketentuan ini kurang ada maknanya.



BAB IV

SARAN-SARAN

1     Wajib belajar untuk tingkat Sekolah Dasar apabila angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun telah mendekati 100% dapat dikatakan telah berhasil dan mencapai target. Meskipun demikian, masih terdapat angka putus sekolah dan angka mengulang kelas. Oleh sebab itu disarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Depar­temen Pendidikan Nasional hendaknya menangani dengan sungguh-sungguh wajib belajar untuk SD agar benar-benar tuntas dan menghindari peluang untuk memani­pulasi angka laporan APM.

2     Wajib belajar tingkat SLTP berdasarkan angka partisipasi sekolah bagi anak-anak usia 13-15 tahun belum mencapai hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus mengambil sikap dan tindakan yang tegas tentang target/kriteria kapan Wajar Dikdas 9 Tahun dapat mencapai target. Fasilitas dan prasarana pendi­dikan harus disediakan, tenaga guru yang memiliki kompetensi mengajar di bidangnya perlu ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya.

3     Biaya pelaksanaan Wajib Belajar ditanggung oleh Pemerintah. Untuk itu, perlu ditempuh upaya menghimpun dana yang benar-benar memadai misalnya melalui penyaluran pajak yang memadai. Termasuk mengembangkan partisipasi orangtua murid dan masyarakat sekitar sekolah dalam mengelola jalannya proses belajar mengajar.

4.    Mengingat keberagaman wilayah Indonesia ditinjau dari potensi dan kemampuan daerah dalam melaksanakan wajib belajar tidak sama, maka bagi daerah yang mampu dapat diberikan kesempatan melaksanakan wajib belajar 9 tahun. Tetapi bagi daerah yang belum mampu dapat diberikan kesempatan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun. Dalam hubungan ini pemerintah cukup memberi­kan perhatian dan dorongan kepada daerah yang mampu/kaya, sedangkan untuk daerah yang kurang mampu pemerintah perlu selalu menyesuaikan besarnya subsidi yang diberikan khususnya untuk program wajib belajar.

5.    Berkaitan dengan butir 4 di atas, maka untuk daerah-daerah tertentu diberikan kewenangan untuk menggunakan pola wajib belajar yang khas sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Misalnya pola kelas 1-3-5 dan 2-4-6 sebagaimana yang telah dikembangkan di Irian Jaya. Di samping itu, perlu dikembangkan sekolah berasrama.

6.    Dengan beberapa pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan di atas, diusulkan agar Taman Kanak-kanak (TK) menjadi bagian dari pendidikan dasar dan SLTP menjadi bagian dari pendidikan menengah. Oleh sebab itu, TK tidak lagi bersifat optional, dan karenanya Pemerintah berkewajiban menangani dengan sungguhsungguh. Kelak di kemudian hari wajib belajar harus mulai dari TK, sehingga diharapkan setiap warga negara sejak dini telah dapat dipersiapkan menjadi manusia Indonesia yang lebih baik.

7     Peran swasta (yayasan) dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah perlu mendapat dukungan pemerintah terutama dalam penyediaan guru dan bantuan dana.

 


NAMA ANGGOTA KELOMPOK

1. Dra. Mien Rachman Uno                                        (Ketua)

2. Soetjipto Wirosardjono, M.Sc                               (Sekretaris)

3. Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H.,M.L (Anggota)

4. Herwindo Haribowo, Ph.D                                      (Anggota)

5. Corneles Wowor, M.A.                                            (Anggota)

6. Dr. H. Fahmi D Saifuddin, MPH                              (Anggota)

 

 

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA