BAB I: PENDAHULUAN
Melihat tantangan masa mendatang bahwa umat manusia dihadapkan pada kehidupan yang penuh
dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu pesat, maka sebagai implikasinya adalah
setiap orang atau setiap keluarga mempunyai tanggung jawab untuk ikut berkiprah. Keluarga
merupakan homebase atau pangkalan pertama bagi
setiap anggotanya sebagai individu agar dapat mengaktualisasikan diri dalam budaya untuk
terus belajar sehingga diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut.
Ditengah gelombang ketidak pastian dan perubahan dalam wujud modernisasi dan globalisasi,
anggota keluarga perlu secara bersama-sama dan saling mendukung menciptakan suasana yang
baik dalam mempertahankan nilai-nilai luhur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
serta membangun nilai-nilai masyarakat yang luas untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan
masa depannya. Keluarga juga merupakan kontrol sosial yang kuat dalam membangun nilai-nilai
luhur masyarakat yang lebih luas. Dalam hubungan ini, pendidikan keluarga merupakan modal
utama dalam membangun masyarakat yang madani pada kehidupan global dan modern tersebut.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan
dalam keluarga. Sementara itu, GBHN Tahun 1999-2004 dalam arah kebijakan tentang pendidikan
antara lain menyatakan bahwa: "Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar
sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi
keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai".
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah
menyebutkan bahwa: "Pendidikan luar sekolah yang sangat mendasar sifatnya adalah pendidikan
keluarga. Meskipun pendidikan keluarga amat penting, yang bahkan meletakkan dasar-dasar
kesiapan hidup sebagai anggota masyarakat, pengaturannya merupakan wewenang keluarga yang
bersangkutan". Oleh sebab itu, peran keluarga sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya perlu
di berdayakan melalui cara-cara yang terarah dan jelas.
Yang dimaksud dengan memberdayakan pendidikan keluarga dalam saran pertimbangan ini adalah
mengembangkan pendidikan anak di dalam keluarga. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena
keluarga merupakan lingkungan pertama dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak.
Selama ini disimak bahwa kualitas manusia Indonesia bila ditilik kembali akan sangat
tergantung pada bagaimana anak itu dididik di dalam keluarga.
Pendidikan keluarga bertujuan untuk membuat anak berhasil dalam hidup di masyarakat maju yang
berkeadilan dan berkemakmuran. Untuk itu, kualitas yang dikembangkan adalah secara menyeluruh
baik fisik, mental, spiritual, moral, sosial, sesuai dengan makna dan semangat yang tercantum
dalam Konvensi Hak-hak Anak, agar diperoleh kualitas anak yang memiliki nilai-nilai universal
tetapi masih mempertahankan budaya masyarakat itu sendiri.
Dari memorandum pandangan (saran pertimbangan) BPPN tahun 1996 yang berjudul "Peranan dan
Tanggung Jawab Keluarga dalam Pendidikan Anak", diartikan bahwa keluarga adalah kelompok
terkecil (keluarga inti) dalam masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari Bapak dan/atau
Ibu, beserta anak yang menjadi tanggungannya. Pendidikan anak dalam keluarga adalah
pendidikan anak yang dilakukan oleh orang tua maupun anggota keluarga lainnya, berkenaan
dengan pembentukan sikap, perilaku, dan kepribadian serta daya cipta yang sesuai dengan
norma-norma agama dan sosial.
BAB II: PERMASALAHAN
1. Pendidikan dalam keluarga selama ini sedikit sekali dibicarakan atau ditangani secara
sadar dan belum ada konsep yang jelas, sehingga anak cenderung tumbuh dan berkembang
secara alamiah. Padahal pertumbuhan dan perkembangan anak sangat tergantung pada
lingkungan keluarga, yaitu bagaimana keluarga tersebut memfasilitasi potensi anak
dalam membentuk kepribadian dan kualitas hidupnya.
2. Keadaan keluarga dalam masyarakat Indonesia sangat heterogen bila dilihat dari berbagai
aspek, yaitu latar belakang keluarga, agama, suku, lingkungan, ekonomi, sosial, dan
latar belakang pendidikan serta nilai-nilai yang dianutnya, sehingga pendidikan dalam
keluarga sangat beraneka ragam.
3. Banyak keluarga yang kurang memberikan perhatian dan tanggung jawab untuk mendidik anaknya.
Keluarga tersebut antara lain adalah: (a) orang tua yang mengutamakan karir. Meskipun
orang tua tersebut mempunyai kemampuan mendidik, tetapi kurang memiliki waktu untuk
mendidik anaknya, (b) orang tua yang mempunyai banyak kesempatan bersama-sama dengan
anak-anaknya, tetapi kurang pengetahuan dan kemampuan dalam mendidik anaknya baik
dalam membina kesehatan dan gizinya, pengembangan potensi anak dan pengembangan
kepribadiannya. (c) orang-tua yang tidak harmonis dalam menjaga keutuhan keluarga,
sehingga memberikan dampak negatif pada anak itu sendiri. Hal yang perlu diperhatikan
bahwa masih banyak calon orang tua kurang mempersiapkan diri dalam membangun keluarga
dan belum ada pendidikan pranikah khusus untuk membangun keluarga.
4. Lingkungan yang kurang mendukung terciptanya pendidikan keluarga antara lain kehadiran
elektronik, internet, yang selain memuat tayangan/informasi positif di dapat banyak
tayangan/informasi yang berdampak negatif (cyber
crime).
5. Ada ketidakseimbangan antara pendidikan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang
masing-masing mempunyai tujuan berbeda.
6. Selama ini anak lebih dituntut untuk selalu patuh mengikuti kehendak orangtua tanpa diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
BAB III: ANALISIS PERMASALAHAN
1. Pada umumnya pendidikan keluarga berlangsung secara alamiah menurut lingkungan orangtua
yang membesarkannya, bukan merupakan sesuatu yang mereka peroleh melalui pendidikan
khusus sebelum mereka melakukan kehidupan berkeluarga. Mereka mendidik anaknya sama
dengan ketika orangtuanya mendidik mereka. Oleh karena itu, cara orangtua mengajar
mereka dahulu juga dipraktekkan kepada anaknya. Dengan demikian apa yang dilakukan
sekarang sama dengan yang dilakukan orangtuanya dahulu. Kebiasaan didalam keluarga
akan tetap diikuti dan dianut oleh anak-anak dan generasi berikutnya sebagai suatu
Belief System. Belief System ini dimaksudkan
sebagai gagasan atau pemikiran orangtua tentang pendidikan dan perkembang anaknya.
Artinya apa yang dipikirkan orangtua untuk mengasuh, merawat, membesarkan, mendidik,
mengarahkan, dan membina anaknya betul-betul merupakan pikiran yang diperoleh dari
pengalaman hidup orangtuanya sesuai dengan budaya yang dimilikinya, latar belakang
pendidikan dan ilmu pengetahuan yang didapat dari sumber-sumber lainnya. Dalam kaitan
dengan tantangan dan dinamika perubahan yang demikian pesat dan seiring dengan konsep
optimalisasi pendidikan kualitas anak diperlukan upaya nyata pemberdayaan pendidikan
keluarga yang sengaja dirancang untuk dilaksanakan.
2. Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen dilihat dari berbagai aspek. Adanya
heterogenitas bangsa khususnya dalam aspek kemiskinan, etnis yang berbeda, dan
pendidikan yang kurang membawa peluang mudahnya timbul konflik. Belakangan ini peluang
tersebut telah menjadi kenyataan, antara lain, perkelahian antarwarga, antardesa,
antarpelajar, dan antaretnis. Juga tindakan dari warga yang main hakim sendiri yang
menjurus pada anarkisme. Peristiwa seperti itu tidak terjadi dengan serta merta,
tetapi melalui proses panjang yang terakumulasi dari lemahnya pembentukan karakter
bangsa yang luhur didalam keluarga.
Dalam upaya pemberdayaan pendidikan keluarga pada masyarakat yang heterogen, perlu dilakukan
penanganan secara spesifik, tetapi didasarkan pada suatu konsep umum yang bersumber pada
pemikiran-pemikiran baru dalam pembangunan kualitas anak yang kemudian dapat diterapkan sesuai
dengan situasi keluarga dalam masyarakat. Konsep umum tersebut adalah untuk mewujudkan anak
berkualitas dan mempunyai kepribadian luhur dan erat kaitannya dengan budaya dalam keluarga,
dalam arti nilai-nilai yang dianutnya hendaknya mampu melestarikan nilai-nilai masyarakat yang
luhur, tetapi juga mampu menyesuaikan/mengubah nilai-nilai budaya yang cocok untuk menghadapi
tantangan masa depan. Oleh sebab itu, yang perlu diberdayakan adalah membantu para orangtua
agar mampu mendidik anaknya.
3. Peran pendidikan keluarga sebagaimana telah diuraikan di atas akan sangat menentukan
terbentuknya karakter bangsa yang luhur. Pernyataan ini didukung oleh suatu studi di
Amerika bahwa hasil akhir anak didik yang terbesar adalah dari pengaruh pendidikan
keluarga, bukan dari sekolah.
Di beberapa negara pendidikan keluarga diberikan kepada pasangan yang akan berkeluarga seperti
yang terjadi di Singapura yang diselenggarakan oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dan
Malaysia. Pasangan tersebut wajib mengikuti kursus selama tiga bulan atau lebih sampai
dinyatakan lulus. Pada tahap berikutnya setelah mereka mempunyai anak mereka diberi bekal
bagaimana mendidik anak. Di Indonesia sebagian besar pasangan yang akan membina rumah tangga
belum melalui persiapan yang baik dengan mengikuti kursus seperti itu. Lembaga-lembaga
keagamaan selama ini memiliki tradisi untuk melakukan pembinaan/kursus bagi pasangan yang akan
menikah, sehingga turut membantu dalam memantapkan keluarga, tetapi upaya tersebut belum
maksimal sehingga banyak keluarga muda yang rapuh/tidak harmonis. Kenyataan ini diperkuat oleh
fakta yang menunjukkan bahwa dari angka perkawinan sebanyak kira-kira 2 juta pasangan terjadi
perselisihan perkawinan sekitar 40% dan 15% diantaranya sampai pada perceraian. Hanya 0,01%
dari angka perceraian tersebut yang rujuk kembali. Di Singapura angka perceraian hanya 0,05%.
Namun tidak dapat diingkari bahwa pasangan yang akan berkeluarga untuk generasi sekarang telah
mulai menyimak konsep-konsep baru tentang pendidikan anak, tetapi hasilnya belum cukup memadai
dan belum aktif dilakukan oleh banyak orang. Bila sebuah keluarga sudah mempunyai anak maka
keluarga tersebut harus berbudaya, senantiasa menyimak informasi yang terus berkembang, mampu
memberikan wawasan kepada anak-anaknya. Orangtua harus menjadi fasilitator, memberikan contoh
sebagai panutan, dan memelihara komunikasi antar keluarga. Yang penting pula menciptakan
lingkungan yang mendukung, memberi peluang, mendorong dan yang melindungi hak-hak anaknya baik
fisik (termasuk kesehatan dan gizinya), maupun mental dan spiritual. Dalam segala upaya
mengutamakan kepentingan anak, memberi perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan
(gender nondiscrimination). Secara singkat keluarga
mengembangkan kemampuan anak secara total dan mencapai kualitas yang andal dalam mempersiapkan
anak selain untuk masa depannya juga kelak dalam memasuki jenjang berkeluarga.
Untuk itu bimbingan dan penyuluhan bahkan dimulai sejak anak sebelum menentukan
pilihan/pasangan. Kemudian pendidikan keluarga berlanjut diberikan pada usia anak balita, usia
dimana si anak tidak berada di pendidikan formal. Di usia sekolah keluarga merupakan
fasilitator, evaluator, dan pengawas. Pada usia remaja keluarga memberikan wawasan untuk
memasuki jenjang keluarga.
4. Kehadiran informasi yang mempunyai dampak negatif baik melalui media elektronik maupun
media cetak seperti tindakan kekerasan, pornografi, dan perilaku menyimpang lainnya
merupakan dampak yang sangat berarti dalam mengembangkan kualitas anak. Sangat
disayangkan bahwa cyber crime justru dilakukan oleh orang yang memiliki
intelektualitas tinggi tetapi kurang bermoral. Dalam menghadapi masalah ini kontrol
sosial yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat perlu dikendalikan dan diimbangi
dengan tayangan positif.
5. Pendidikan anak meliputi pendidikan intelektual, pendidikan kultural dan pendidikan
spiritual. Dalam prosesnya ketiga aspek pendidikan tersebut tidak berjalan secara
seimbang.
Pendidikan sebetulnya adalah pengembangan wawasan berpikir. Kenyataan menunjukkan bahwa pada
umumnya wawasan berpikir orangtua masih terbatas. Dengan keterbatasan itu, sebagian orangtua
belum menyadari akan pentingnya pendidikan bagi anaknya, sehingga mereka cenderung tidak ingin
menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Ada kecenderungan bahwa orang tua merasa telah lepas dari tanggung jawab pendidikan anaknya
bila telah menyerahkan anaknya ke sekolah/lembaga pendidikan lainnya. Orangtua tersebut
mempercayakan pendidikan anaknya sepenuhnya kepada guru di lembaga pendidikan tersebut,
sehingga kalau terjadi sesuatu hal yang negatif terhadap anaknya, orangtua cenderung
menyalahkan guru. Di samping itu, tidak sedikit orang tua yang mempercayakan pendidikan
anaknya kepada asuhan baby sitter atau pembantu
rumah tangga. Sebetulnya sudah ada wahana-wahana di masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan wawasan berpikir keluarga, misalnya melalui posyandu, pertemuan majelis taklim,
dan arisan warga. Dalam pertemuan tersebut dapat diberikan pendidikan tentang kesehatan,
tanggung jawab keluarga, pembentukan anak berkualitas, percaya diri, dan peran orangtua agar
menjadi panutan bagi anaknya.
Selama ini fungsi edukatif di dalam keluarga masih sangat lemah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan identifikasi bidang-bidang apa saja yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga
dan yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Selanjutnya, berkaitan dengan peran dan tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anaknya di
sekolah ada sebuah lembaga yang berperan menjembatani orangtua dengan sekolah yaitu Persatuan
Orangtua Murid dan Guru (POMG) dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pada
kenyataannya POMG dan BP3 yang semula diharapkan dapat membantu mengatasi dan memecahkan
persoalan yang dihadapi sekolah dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar di sekolah,
pada akhir-akhir ini cenderung hanya membantu mengatasi masalah kesulitan dana. Padahal
seharusnya POMG dan BP3 diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama antara sekolah
dan keluarga. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan antara lain oleh ITB dengan
mengembangkan konsep bahwa mahasiswa tidak hanya diperlakukan sebagai individu yang menempuh
ilmu, tetapi juga diperlakukan sebagai anak dalam keluarga besar ITB. Para dosen tidak hanya
berperan dalam pengajaran, tetapi juga mempunyai tanggung jawab sebagai wali bagi para
orangtua mahasiswa. Sebaliknya orangtua mahasiswa tidak hanya berperan untuk memperhatikan
anaknya sendiri melainkan juga harus memperhatikan kepentingan mahasiswa lainnya sebagaimana
anaknya sendiri. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan upaya pemberdayaan POMG dan BP3 sebagai
lembaga yang dapat mendidik kepribadian anak, melalui program yang dirancang untuk itu.
6. Kelemahan-kelemahan orangtua di dalam mendidik anaknya sebagaimana telah dikemukakan
diatas, memberi peluang timbulnya budaya otoriter. Budaya otoriter ini teraktualisasi
oleh orangtua dalam mendidik dan membina anaknya. Dalam hal ini, anak tidak dianggap
sebagai individu yang mempunyai potensi untuk berpendapat. Padahal seharusnya anak
diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan didengarkan pendapatnya sesuai dengan
Konvensi Hak-hak Anak. Dalam hubungan ini diperlukan suatu komitmen transformasi
budaya dari otoriter ke budaya yang lebih demokratis dalam mendidik anak. Pengertian
budaya adalah pengkondisian alur pikir, jadi dalam upaya mengubah budaya diartikan
mengubah cara berpikir.
Upaya peralihan budaya tersebut diatas bukanlah hal yang sederhana, karena masih banyak
keluarga yang merasa dirinya berpendidikan dan berpikiran rasional/modern, masih menuntut
kepatuhan mutlak dari anaknya. Seperti hasil penelitian UI terhadap Suku Jawa dan Sunda
diperoleh informasi bahwa 80% orangtua menuntut kepatuhan dari anaknya.
Dalam upaya mengubah pola pikir orang tua ke arah berpikir rasional/modern dibutuhkan
thinking skill dan
personality agar mampu menyadarkan dirinya dari
kekurangannya dalam mendidik anak melalui pemberdayaan pendidikan keluarga.
BAB IV: SARAN
1. Untuk melaksanakan pendidikan keluarga yang demikian kompleks, maka langkah pertama yang
harus dikembangkan adalah menyusun konsep yang dirancang secara jelas dan dapat
diaktualisasikan dalam suatu lingkungan keluarga. Konsep dimaksud harus dapat
mewujudkan anak berkualitas memperoleh kebebasan dan perlindungan untuk mengembangkan
potensinya dan mengenal lingkungan, termasuk pengenalan budaya dalam masyarakat yang
mampu menjawab tantangan masa depan. Dalam hubungan ini diperlukan adanya: lingkungan
yang kondusif untuk memberi pengaruh terhadap upaya pemberdayaan pendidikan keluarga,
konsep keteladanan yang dapat dicontoh, dan kegiatan pendampingan orangtua kepada anak
untuk mampu meningkatkan pemberdayaan pendidikan keluarga melalui pendekatan korektif,
pemeliharaan kesehatan dan gizi serta komunikasi. Untuk itu, diharapkan keluarga dapat
memfasilitasi anaknya agar dapat mengembangkan dirinya, antara lain dapat mengakses
informasi yang positif, dan diberi hak untuk mengemukakan pemikiran dan pendapatnya.
Oleh sebab itu, dalam mengubah pola pikir harus mampu mengkondisikan anak ke arah yang
lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian perlu diambil langkah-langkah konkrit
melalui intervensi pemerintah bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam
upaya memberdayakan pendidikan keluarga.
2. Pendidikan keluarga terasa semakin penting karena heterogenitas bangsa Indonesia yang
terdiri atas berbagai suku, adat-istiadat, agama, dan kondisi geografi, ditambah
dengan masih besarnya jumlah dan persentase masyarakat yang masih di bawah garis
kemiskinan. Kehidupan yang beranekaragam tersebut bila tidak ditangani melalui
pendidikan keluarga yang dapat membentuk karakter bangsa yang luhur akan berakibat
timbulnya konflik yang disertai kekerasan yang akhirnya menjurus ke anarki, seperti
tawuran pelajar, perkelahian antarwarga, perilaku menyimpang, dan penggunaan obat-obat
terlarang.
Pemerintah sebagai penanggung jawab seluruh sistem pendidikan nasional dapat memfasilitasi
terwujudnya konsep yang tepat bagi pendidikan keluarga yang pelaksanaannya dilakukan secara
harmonis dalam upaya penyusunan konsep yang tepat bagi pendidikan keluarga, melalui Depdiknas,
Depag, Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Depkessos, Depdagri, LSM dan masyarakat.
Khusus untuk masyarakat miskin, pemerintah hendaknya meningkatkan program beasiswa dan
mendorong serta memberdayakan LSM meningkatkan program anak asuh.
3. Pemberdayaan pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang mengikuti konsep siklus
kehidupan (life cycle) yang dimulai dari
usia sekolah, remaja, dan usia pranikah sampai dengan menjadi calon orangtua, sehingga
secara umum meskipun berbeda budaya mereka dapat mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Pemberdayaan pendidikan keluarga ini hendaknya dirancang sedemikian rupa,
sehingga dapat menjadi pedoman bagi orangtua dari kalangan masyarakat yang berbeda
dalam bentuk modul, yang dapat diselenggarakan melalui kursus-kursus.
Secara singkat yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pendidikan keluarga adalah
penciptaan iklim yang kondusif dalam keluarga, keteladanan orangtua terhadap seluruh anggota
keluarga, dan pendampingan orangtua terhadap anak.
4. Pemberdayaan pendidikan keluarga hendaknya juga dirancang untuk dapat mengatasi dan
menanggulangi berbagai pengaruh negatif pada anak yang ditimbulkan oleh arus informasi
dan keterbukaan, dengan tetap menghormati dan melindungi hak-hak anak atas kemerdekaan
berpikir, hati nurani dan beragama. Untuk itu pemerintah bersama-sama lembaga
kemasyarakatan hendaknya mempunyai kepedulian dan kontrol sosial untuk menanggulangi
kondisi yang demikian dan mempertahankan nilai-nilai yang baik.
5. Dalam mengatasi ketidakseimbangan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keluarga
perlu ditempuh upaya untuk mengidentifikasi bidang-bidang pendidikan yang menjadi
tanggung jawab keluarga dan bidang-bidang yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Pemerintah bersama-sama dengan LSM dan lembaga-lembaga keagamaan hendaknya mendorong upaya
pemberdayaan pendidikan keluarga dengan memanfaatkan wahana-wahana yang ada di masyarakat,
seperti posyandu, majelis taklim, arisan warga dan pertemuan-pertemuan keagamaan yang dikelola
lembaga keagamaan.
Dalam hubungannya dengan Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG), sebagai jembatan antara
keluarga dengan sekolah, perlu diupayakan peningkatan perannya sebagai lembaga yang dapat
mendidik kepribadian anak, melalui program yang dirancang untuk itu. Disarankan agar
keanggotaan Dewan Sekolah [yaitu POMG dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3)]
terdiri dari orang tua yang mempunyai keinginan agar anaknya berhasil dalam pendidikan. Dalam
upaya meningkatkan perhatian dan tanggung jawab orangtua untuk mendidik anaknya maka perlu
digalakkan bimbingan dan penyuluhan oleh lembaga keagamaan, LSM dan POMG.
6. Berkenaan dengan upaya orangtua memberi kebebasan kepada anak untuk berbicara dan didengar
pendapatnya, sesuai dengan makna dan semangat Konvensi Hak-hak Anak, maka hal ini
perlu dituangkan dalam perundang-undangan yang menghasilkan kebijakan umum dan
khususnya kebijakan pendidikan.
Dalam upaya mengadakan transformasi budaya yang pada hakikatnya adalah perubahan pola pikir,
diperlukan kebijakan-kebijakan khususnya kebijakan pendidikan yang mengalir dari
perundangundangan.
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK
1. Lily I. Rilantono (Ketua)
2. Corneles Wowor (Sekretaris)
3. Awaloedin Djamin (Anggota)
4. Mien Rachman Uno (Anggota)
5. Fahmi D Saifuddin (Anggota)
6. K. H. MA Sahal Mahfudh (Anggota)
7. K. H. Ali Yafie (Anggota)