BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KURIKULUM DAN SLTP YANG DISESUAIKAN DENGAN KEADAAN DAN KEBUTUHAN LINGKUNGAN: KONSEP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAANNYA
KATA PENGANTAR
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang system Pendidikan Nasional menggariskan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap mewujudkan peserta didik dan kesesuaiannya antara lain dengan lingkungan, jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pelaksanaan kegiatan pendidikan secara kebetulan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Memorandum pandangan ini membahas tentang kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan di sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), yang merupakan unsur (kandungan) baru dalam kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994.
Berdasarkan pemikiran, pendapat dan pandangan dari anggota Badan Pertimbangan pendidikan Nasional (BPPN) penyusunan Memorandum Pandangan ini dipercayakan kepada satu kelompok kerja yang dipimpin oleh Bapak Pdt. Dr. Sularso Soepater, dengan anggota Bapak Drs. Suheru Muljoatmodjo, M.A., Bapak Tantri Abeng, M.B.A., dan Bapak Prof. Achmad Baiquni, M.Sc.,Ph.D.
Dalam memorandum pandangan ini diajukan beberapa pemikiran tentang kurikulum SD dan SLTP yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
Semoga pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam memorandum pandangan ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan.
Jakarta, April 1994
BAB I: PENDAHULUAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah meletakkan landasan yang sangat kuat bagi penyelenggaraan sistem pendidikan Nasional di Indonesia. Menurut Undang-undang tersebut, pendidikan nasional diselenggarakan melalui dua jalur pendidikan, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah meliputi jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan sekolah meliputi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Sedangkan jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas: pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan, dan pendidikan kejuruan (PP Nomor 73 tahun 1991,Pasa 3,ayat (1).
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Sedangkan tujuan pendidikan nasional ialah untuk (1) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (2) mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Salah satu wawasan nasional baru yang diungkapkan dalam undang-undang tersebut ialah disatukannya sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat ke dalam jenjang pendidikan dasar, sehingga pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di SD dan 3 (tiga) tahun di SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat. Selain itu, ditegaskan pula bahwa warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
Berdasarkan kurikulum, Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa kurikulum untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaianya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Selanjutnya digariskan pula bahwa “pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yangbersangkutan” (Pasal 38 ayat(1) ).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka oleh departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah disusun kurikulum pendidikan dasar (SD dan SLTP), kurikulum sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan, yang direncanakan akan diberikan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Khusus mengenai kurikulum pendidikan dasar, di dalam susunan program pengajaran disediakan alokasi waktu secara tersendiri untuk mata pelajaran atau mata-mata pelajaran yang mencerminkan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan lokal. Alokasi waktu yang disediakan untuk masing-masing adalah sebagai berikut; SD kelas I dan II 2 jam pelajaran, kelas III 4 jam pelajaran, kelas IV 5 jam pelajaran, dan V serta VI masing-masing 7 jam pelajaran per minggu; sedangkan SLTP kelas I, II dan III masing-masing 6 jam pelajaran per minggu.
Bahan untuk kurikulum muatan lokal digali dari lingkungan alam, lingkungan sosial-ekonomi, dan lingkungan budaya yang terdapat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, jenis muatan lokal akan sangat beragam dan mungkin berbeda-beda antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, atau bahkan antara kabupaten dalam satu provinsi yang sama. Sebagai contoh, suatu daerah dapat mengangkat bahasa daerah sebagai salah satu mata pejaran muatan lokal untuk sekolah di wilayah yang bersangkutan. Di daerah lain mata pelajaran muatan lokal dapat berupa pertanian, perikanan, pertukangan, atau keterampilan jasa, dan lain-lain yang mencerminkan kebutuhan nyata dari daerah yang bersangkutan. Di samping itu guna menjawab tantangan dalam era globalisasi, kurikulum muatan lokal tidak hanya merupakan penerusan hal-hal yang lama, tetapi memuat hal-hal yang baru yang menghasilkan peningkatan kualitas yang memperkuat daya saing.
Kurikulum muatan lokal merupakan suatu upaya yang setidaknya-tidaknya mempunyai dua fungsi yaitu: (1) menyadarkan masyarakat tentang potensi daerah, yang dapat membuat daerah yang bersangkutan menjadi produktif seperti daerah lainnya apabila dikelola dan didayagunakan secara benar dengan memanfaatkan teknologi yang tepat, khususnya bioteknologi; dan (2) meningkatkan pengetahuan peserta didik agar dapat menjadi tenaga pembangunan di daerah yang bersangkutan yang lebih bermutu. Muatan lokal diusahakan untuk mampu menanamkan kebanggaan pada diri peserta didik atas arti pentingnya kekayaan alam dan budaya daerahnya serta memberikan bekal keterampilan untuk ikut membangun daerahnya tanpa tergoda untuk pindah ke kota-kota besar. Dalam kaitan inilah semakin penting kedudukan lokal, yang memberikan kekhasan pendidikan di daerah dalam hubungannya dengan keseluruhan sistem pendidikan nasional, yang mencerminkan kaitan antara pendidikan dengan ekologi pendidikan yang beragam, seperti daerah kelautan, pegunungan, dan lain-lain.
Berkenaan dengan keragaman keadaan sosial ekonomi dan perkembangan masyarakat di Indonesia, besarnya angka putus sekolah mengakibatkan banyaknya pencari kerja denga kadar pendidikan dan keterampilan rendah. Dalam kaitan dengan hal ini muatan lokal dapat diarahkan guna ikut mempersiapkan anak didik untuk memasuki dunia kerja dengan kemungkinan lebih siap untuk dilatih.
BAB II: PERMASALAHAN
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pengembangan serta pelaksanaan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan antara lain sebagai berikut:
BAB III: ANALISIS PERMASALAHAN
Beberapa permasalahan tersebut di atas perlu dikaji mendalam lagi guna memperoleh cara pemecahan yang paling tepat, agar pelaksanaan kurkulum SD dan SLTP yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan dapat benar-benar mencapai tujuan yang diharapkan.
1. Kemampuan teknis pengembangan/penyusunan kurikulum di daerah. Permasalahan ini timbul karena selama ini sumber daya manusia yang ada di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di daerah, yang terdiri atas penilik/pengawas, kepala sekolah, guru-guru senior, pejabat pelaksana, belum banyak dilibatkan dalam pengembangan kurikulum nasional yang dilakukan di tingkat pusat. Kemampuan potensial yang mereka miliki belum memperoleh kesempatan untuk berkembang karena mereka lebih banyak hanya dilibatkan dalam urusan mengelola pelaksanaan kurikulum nasional tersebut di daerah masing-masing. Mereka lebih banyak menerima pengarahan atau petunjuk yang digariskan dari instansi di Pusat daripada ditantang berpikir untuk mengembangkan atau menyusun kurikulum.
Potensi yang di miliki oleh sumber daya manusia di daerah harus semaksimal mungkin dikembangkan menjadi kemampuan nyata untuk dapat menangani pengembangan kurikulum muatan lokal di daerah yang bersangkutan. Untuk dapat mengembangkan kurikulum yang benar-benar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan diperlukan antara lain kemampuan untuk menganalisis kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada umumnya serta kebutuhan pembangunan nasional pada khususnya di daerah tersebut, memperkirakan sumber daya yang dimiliki oleh daerah (potensi daerah) yang akan dapat mendukung pelaksanaan kurikulum muatan lokal, menganalisis kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan isi serta pelaksanaan kurikulum yang berlaku, menyeleksi kebutuhan daerah yang paling esensial untuk kemudian diterjemahkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal, serta inovasi-inovasi yang membuka peluang-peluang baru untuk peningkatan yang lebih maju.
2. Kemampuan Guru. Berkaitan dengan permasalahan kemampuan guru, pembahasan dibatasi pada lingkup kurikulum SD dan SLTP, mengingat bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar ini dicantumkan secara nyata alokasi jam pelajaran per minggu untuk mata pelajaran muatan lokal. Guru adalah pelaku utama dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah, termasuk kurikulum muatan lokal. Di SD, seorang guru harus mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran, seperti pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Muatam lokal (sejumlah mata pelajaran). Walaupun dalam kurikulum yang berlaku (Kurikulum 1984) guru tersebut sudah berpengalaman mengajarkan mata pelajaran keterampilan, namun mata pelajaran muatan lokal akan memberikan beban tersendiri kepadanya, kerena kemungkian besar mata pelajaran muatan lokal akan berbeda dengan mata pelajaran keterampilan yang ada. Ini berarti bahwa guru dituntut untuk melakukan tugas lebih dari biasanya. Lagi pula di kelas-kelas akhir (kelas V dan kelas VI) dengan alokasi waktu 7 jam pelajaran per minggu, muatan lokal dapat diisi lebih dari satu mata pelajaran, sehingga beban guru akan menjadi tambah berat lagi. Selain itu perlu diingat pula dalam tahun-tahun awal pelaksanaan kurikulum baru belum banyak didapatkan buku-buku pelajaran yang menunjang pelaksanaan kurikulum muatan lokal. Dalam keadaan semacam ini guru dituntut untuk mencari bahan pelajaran sendiri yang sesuai dengan garis-garis besar program pengajaran.
Permasalahan kemampuan guru ini di SLTP mungkin tidak seberat di SD karena di SLTP digunakan sistem guru mata pelajaran. Guru-guru mata pelajaran keterampilan yang ada kemungkinan besar dapat mengajarkan kurikulum muatan lokal yang berupa mata pelajaran keterampilan dan kerajinan. Demikian juga mata pelajaran muatan lokal yang berupa bahasa daerah, kesenian daerah, Bahasa Inggris, dan lain-lain yang dapat diajarkan oleh guru-guru mata pelajaran terkait yang ada.
Hal penting yang tidak boleh dilupakan ialah tujuan pemberian kurikulum muatan lokal itu sendiri, yaitu untuk memberikan bekal kepada siswa, khususnya yang tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk dapat hidup di masyarakat. Ini berarti bahwa kurikulum muatan lokal harus benar-benar bermakna bagi kehidupan siswa di kemudian hari.
3. Kelengkapan peralatan dan sarana lainnya. Pelaksanaan kurikulum muatan lokal, terutama yang berupa mata pelajaran keterampilan, misalnya elektronik, otomatif, tata boga, tata busana, kerajinan mengukir, dan sebagainya perlu diperlengkapi dengan peralatan dan bahan baku. Dengan adanya keragaman keadaan dan kebutuhan daerah, maka ada kemungkinan juga terdapat keragaman yang sangat tinggi dalam jenis-jenis mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah. Dengan demikian maka perlu juga disediakan bermacam-macam peralatan dan sarana pendidikannya.
Untuk mencapai efisiensi sering kali keluwesan pengaturan jadwal pelajaran perlu dikembangkan, tanpa mengurangi alokasi jam-jam pelajaran.
4. Sistem penilaian yang digunakan. Sistem penilaian yang digunakan untuk mengukur kemajuan dan hasil belajar siswa hendaknya disesuaikan dengan hakikat mata pelajaran yang bersangkutan. Dalam hal mata pelajaran muatan lokal yang berupa keterampilan, sistem penilaian yang digunakan hendaknya mencerminkan pengukuran dalam aspek penampilan (psikomotor), bukan kemampuan kognitif siswa. Sedangkan untuk mata pelajaran muatan lokal yang berupa kesenian daerah, di samping mengungkapkan aspek penampilan (psikomotor) juga harus mengukur aspek sikap (afektif).
4. Dana untuk membiayai pelaksanaan kurikulum muatan lokal. Permasalahan ini berkaitan erat dengan semua permasalahan yang telah disebutkan di atas khususnya permasalahan tentang peralatan dan sarana lainya. Keterbatasan kemapuan keuangan pemerintah harus diimbangi upaya lainnya dalam rangka memobilisasikan semua sumber daya keuangan dan potensi yang ada di daerah yang bersangkutan.
BAB IV: SARAN KEBIJAKAN
Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa saran kebijakan sebagai berikut:
4 Mengenai sistem penilaian kemajuan dan hasil belajar siswa, permasalahan perlu diatasi dengan memilih system penilaian yang benar-benar mengukur kemampuan yang hendak dinilai sesuai dengan hakikat mata pelajaran muatan lokal yang bersangkutan. Sistem penilaian tersebut hendaknya dapat merangsang kemampuan bernalar, sikap perasaan (sikap) atau perilaku. Untuk itu guru-guru perlu ditatar atau dilatih untuk dapat melaksanakan sistem penilaian yang sesuai. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar, maka penentuan jenis kurukulum muatan lokal yang akan dikembangkan dan diberlakukan di sekolah-sekolah pada suatu daerah tertentu, hendaknya diputuskan oleh suatu badan musyawarah atau badan pertimbangan pendidikan daerah, yang penjabarannya lebih lanjut menjadi mata pelajaran muatan lokal dilakukan oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan berkonsultasi kepada badan tersebut. Badan ini terdiri atas unsur-unsur instansi terkait (Bappeda, Kanwil-Kanwil Departemen terkait), dunia usaha dan dunia industri, serta tokoh-tokoh masyarakat setempat, dan dikoordinasikan oleh ketua Bappeda. Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, Badan ini bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional.