(PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH)
KATA PENGANTAR
Peran sistem penilaian dalam proses pendidikan merupakan aspek yang sangat menentukan dalam mengukur hasil belajar mengajar. Sistem yang dikembangkan selama ini masih memiliki kelemahan terutama bila ditinjau dari prinsip-prinsip keadilan.
Perlakuan penilaian yang seragam kepada semua sekolah di seluruh Indonesia tanpa melihat kondisi dan kemampuan daerah serta proses belajar mengajarnya membawa akibat hasil yang dicapai tidak terukur secara obyektif dan kurang adil.
Kenyataan ini memberi gambaran yang kurang realistik dalam membangun dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang sehat.
Saran Pertimbangan ini mengulas sekaligus memberi saran tentang sistem penilaian hasil belajar yang berkeadilan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan.
Jakarta, November 2001
Awaloedin Djamin
Ketua BPPN
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem penilaian pada pendidikan dasar dan
menengah yang diselenggarakan secara sentralistik seperti halnya penyeleng-garaan
Ebtanas dapat menimbulkan perasaan kurang adil apabila soal yang diberikan
tidak mempertimbangkan perbedaan antar wilayah. Yang dimaksud dengan sistem
penilaian yang sentralistik adalah sistem penilaian yang menggunakan soal yang
sama untuk semua wilayah di Indonesia. Kita mengetahui bahwa kemampuan guru
mengajar, kemampuan murid menerima pelajaran, dan sarana pendidikan yang
tersedia di masing-masing daerah sangat bervariasi, sehingga pencapaian
kurikulum di masing-masing sekolah atau daerah juga sangat berbeda. Ini
berakibat murid-murid di daerah yang serba berkekurangan harus menjawab
soal-soal yang belum sempat diajarkan oleh gurunya karena berbagai faktor.
Untuk kepentingan yang bersifat makro,
baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, nilai yang dihasilkan
dari suatu tes harus memiliki nilai keterbandingan, sehingga nilai 6 untuk
Matematika di Madura harus sama artinya dengan nilai 6 untuk pelajaran yang
sama di Jakarta. Nilai keterbandingan ini sangat penting artinya bagi pengambil
keputusan di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota terutama untuk
memantau pendidikan pada berbagai tingkatan dan antarwaktu.
Dari uraian di atas terlihat bahwa dari
satu sisi, diperlukan jaminan kesesuaian antara apa yang diajarkan dengan apa
yang diujikan, sebagai wujud dari penilaian yang berkeadilan. Sedangkan dari
sisi lain, diperlukan nilai keterbandingan dari angka yang diperoleh dari hasil
ujian agar hasil penilaian tersebut dapat digunakan oleh pengambil keputusan
pada tingkatan makro untuk berbagai keperluan.
Dalam kaitan itu, perlu dikaji secara
lebih mendalam sistem penilaian yang dapat menjawab kedua tantangan tersebut di
atas, yaitu sistem ujian yang dapat menjamin kesesuaian antara apa yang
diajarkan dengan yang diujikan, dan hasilnya dapat dibandingkan. Kajian ini
diharapkan dapat memberikan saran pertimbangan untuk mengembangkan sistem
penilaian hasil belajar yang berkeadilan di tingkat pendidikan dasar dan
menengah dan hasil penilaiannya dapat digunakan untuk berbagai kebijakan.
Mengingat kompleksitas permasalahan yang
dihadapi di dalam sistem penilaian hasil belajar, maka Saran Pertimbangan yang
dibicarakan pada dokumen ini dibatasi pada penilaian hasil belajar yang
berskala nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, bukan penilaian
hasil belajar pada tingkat kelas. Dengan demikian, Saran Pertimbangan tentang
Sistem Penilaian Hasil Belajar yang Berkeadilan akan dibatasi pada sistem ujian
akhir.
BAB
II
MASALAH YANG DIHADAPI
1.
Sistem
penilaian yang menggunakan satu paket soal yang sama di seluruh Indonesia tanpa
memperhitungkan per-bedaan di masing-masing wilayah dapat menimbulkan perasaan
kurang adil, terutama bagi daerah terpencil. Ini disebabkan karena adanya kesenjangan
fasilitas dan kualitas pembelajaran yang diberikan di kota-kota besar dengan
desa-desa terpencil, antara Jawa dengan luar Jawa, serta antara Indonesia
Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur.
2.
Sistem nilai
rapor yang memberikan nilai minimal untuk bisa naik kelas, misalnya mata
pelajaran Agama dan PPKn serta Bahasa Indonesia diharuskan minimal 6, dalam
prakteknya justru menyebabkan sistem penilaian bersifat semu (artificial).
3.
Sistem
Ebtanas yang berlaku sekarang masih mengandung beberapa kelemahan, antara lain:
a.
karena salah
satu kriteria yang digunakan untuk penilaian kinerja sekolah didasarkan pada
persentase yang lulus Ebtanas, akibatnya sering terjadi pengatrolan nilai oleh
sekolah;
b.
sering
terjadi kebocoran soal;
c.
bobot soal
yang digunakan tidak sama karena adanya beberapa paket soal yang digunakan
untuk masing-masing mata pelajaran;
d.
penerapan
rumus kelulusan (PQR) sering memancing manipulasi.
4. Sering Ebtanas disalahgunakan sebagai
kesempatan untuk memungut dana yang memberatkan masyarakat.
5. Kuantitas dan kualitas guru sangat heterogen,
terutama dalam hal kompetensi. Di samping itu sarana belajar juga sangat heterogen.
Semuanya ini berakibat terjadinya kesenjangan kualitas murid.
6. Belum ada sistem kontrol untuk komparabilitas
hasil penilaian baik antartempat maupun antarwaktu.
7. Objektivitas penilaian hasil belajar
diragukan karena penyelenggara pendidikan sekaligus juga sebagai penilai.
Ditjen Dikdasmen sebagai penanggung jawab teknis penyelenggaraan pendidikan
belum sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan penilaian kepada
lembaga non teknis di lingkungan Depdiknas.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Sistem penilaian yang berkeadilan tidak
mungkin dapat dicapai tanpa adanya kondisi standar guru yang sama di seluruh
Indonesia. Suatu sistem penilaian baru dapat dikatakan berkeadilan apabila
sistem tersebut dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diujikan di dalam
penilaian dengan apa yang diajarkan di dalam kelas. Berkeadilan mempunyai
pengertian matching antara teaching dengan testing.
Dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Daerah sebagai Daerah Otonom, Bab II Pasal
2 butir ke-11 disebutkan bahwa Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan menetapkan
standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.
Ebtanas sebagai suatu sistem penilaian
belajar siswa dirasa sangat sentralistik dan tidak adil karena dalam menilai
berbagai aspek kemampuan akademik siswa kurang dilandasi keragaman latar
belakang budaya serta kebutuhan lingkungan dan potensi daerah.
Sistem yang sentralistik mengakibatkan
kesenjangan antara pendidikan yang ada di pusat-pusat kota dan pendidikan yang
ada di daerah-daerah pedesaan atau terpencil. Ebtanas dirasa berat, lebih-lebih
bagi sekolah yang sebenarnya belum siap tetapi harus mengikutinya. Akibatnya
nilai yang diperoleh siswa sangat rendah.
Berkaitan dengan Ebtanas, ada dua pendapat
yang berbeda. Pendapat pertama menghendaki agar pelaksanaan Ebtanas diakhiri
saja. Pendapat kedua menghendaki agar Ebtanas tetap dipertahankan, dengan
penyempurnaan dari segi materi dan pelaksanaannya serta yang menyangkut
keamanannya.
Berbagai pertimbangan pemerintah (c.q.
Depdiknas) untuk tetap mempertahankan Ebtanas sebagaimana yang disampaikan oleh
Dirjen Dikdasmen antara lain adalah: (1) Perbandingan
dengan negara lain. Berdasarkan studi internasional yang diselenggarakan
oleh The International Association for
the Evaluation of Education Achievement (IEA), yaitu the Third International Mathematics and Science Study - Repeat (TIMSS-R)
tahun 1999, di antara 38 negara peserta yang sebagian besar sudah sangat
berkembang dalam school based management-nya,
80% menerapkan ujian seperti Ebtanas dan bersifat sentralistik; (2) Penyeragaman mutu. Masih melihat contoh
di negara lain, ada kasus di Amerika Serikat dan Australia, yang tadinya
masing-masing sekolah sangat independent dan
menyelenggarakan penilaiannya sendiri, saat ini justru berpikiran untuk
menyelenggarakan ujian yang sentralistik, atau State Exam, karena dari hasil evaluasi para pakar pendidikan
terhadap hasil ujian sekolah yang dilakukan, ditemukan fakta bahwa mutu
pengajaran ternyata amat beragam.
Berkaitan dengan kesiapan daerah untuk
menyelenggarakan ujian dan sejalan dengan semangat desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan pada tahun ini, sebenarnya kepada semua daerah
ditawarkan, apakah mereka mau melaksanakan ujian sendiri, walaupun sebenarnya
menurut peraturan perundangan kewenangan untuk pelaksanaan ujian itu ada pada
pusat. Tetapi dalam kenyataannya kebanyakan daerah menyerahkannya ke pusat
karena mereka belum siap untuk menyelenggarakannya.
Di Indonesia, pelaksanaan Ebtanas
dimaksudkan untuk menyamakan standar. Apabila untuk masing-masing provinsi
dibuat standar yang berbeda maka anak yang pindah sekolah dari satu daerah ke
daerah lain harus diuji lagi, dan ini bukan "standar" lagi.
Agar ada competitiveness yang sehat di antara sekolah-sekolah di pusat dan
di
P
+ Q + nR
daerah, rumus nilai akhir X = --------------
telah dihapus. Namun demikian
n
+ 2
dalam kenyataannya masih banyak sekolah
yang menggunakan rumus ini.
Pertimbangan biaya dan menghindari praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem penerimaan siswa baru di sekolah
negeri merupakan alasan lain untuk tetap menyelenggarakan Ebtanas. Sampai saat
ini Ebtanas berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk seleksi masuk ke tingkat
sekolah yang lebih tinggi (dari SD ke SLTP, dari SLTP ke SMU/SMK) yang
sederhana, akurat dan murah. Tanpa adanya Ebtanas sekolah-sekolah pada tingkat
SLTP dan SMU/SMK terpaksa harus mengadakan seleksi sendiri yang mengakibatkan
perlunya dikeluarkan biaya yang jauh lebih tinggi dari Ebtanas itu sendiri.
Pengalaman di Vietnam menunjukkan bahwa
sistem penilaian secara nasional hanya diberlakukan untuk SMU, sedangkan untuk
tingkat SD dikelola oleh kabupaten dan SLTP dikelola oleh provinsi.
Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah
sistem penilaian yang berkeadilan maka ujian akhir sebaiknya diserahkan ke
tingkat sekolah karena pada tingkat inilah dapat dijamin kesesuaian antara apa
yang diujikan dengan apa yang diajarkan. Kalau sistem ini yang ditempuh, maka
tingkat kesukaran soal akan berbeda dan akibatnya bobot nilai yang diperoleh
murid di satu tempat tidak akan sama dengan bobot di tempat lain. Akibat
lanjutannya setiap SLTP dan SMU/SMK terpaksa mengadakan ujian seleksi
sendiri-sendiri karena tidak bisa menggunakan nilai yang diperoleh oleh siswa
dari sekolah yang berbeda. Hal ini juga akan berakibat beban biaya yang sangat
tinggi, baik untuk pemerintah maupun masyarakat dan akan rentan terhadap
timbulnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penerimaan murid baru.
Perbedaan yang terjadi pada mutu
pendidikan disebabkan antara lain karena terdapatnya kesenjangan dalam hal mutu
guru. Untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, diperlukan guru yang bermutu.
Dalam kenyataannya di lapangan, banyak guru-guru yang kalau dilihat dari hasil
tes seleksi sebenarnya tidak memenuhi syarat (eligible) karena rendahnya nilai yang mereka peroleh. Tetapi
mereka tetap saja diterima karena pertimbangan "kemanusiaan" karena
sudah lama mengajar sebagai guru honorer.
Berkaitan dengan ide penggabungan Ebtanas
SMU dengan ujian masuk ke Perguruan Tinggi, argumen yang diajukan untuk menolak
penggabungan adalah karena kedua jenis ujian tersebut memiliki fungsi yang
berbeda. Ebtanas SMU fungsinya adalah untuk melihat sejauhmana murid SMU sudah
menguasai materi yang diberikan di SMU, sedangkan ujian masuk ke Perguruan
Tinggi fungsinya adalah untuk seleksi. Untuk ujian seleksi, soalnya dengan
sengaja dibuat sukar sehingga fungsi seleksinya bisa dilakukan. Kalau soalnya
mudah dan sebagian besar anak dapat menjawab soal dengan benar, tentu sulit
melakukan seleksi.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam
pelaksanaan Ebtanas saat ini adalah masalah kebocoran soal. Untuk
menyempurnakan pelaksanaan Ebtanas, terutama berkaitan dengan pengamanannya,
khususnya menghindari kebocoran soal, telah ditingkatkan sistem pengamanan soal
Ebtanas dari mulai pembuatan soal, pencetakan, pengepakan dan pengirimannya.
Salah satunya adalah dengan cara
mengirimkan kunci jawaban tidak bersama-sama dengan soalnya, melainkan setelah
pelaksanaan Ebtanas itu sendiri.
Diusulkan agar penilaian hasil belajar
siswa diserahkan kepada daerah provinsi atau kabupaten, tetapi harus ada
standar kompetensi minimal bagi lulusannya untuk tiap-tiap daerah dalam tiap
lulusan.
BAB
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sistem penilaian yang berskala nasional masih
diperlu-kan sebagai alat untuk mengontrol mutu pendidikan secara nasional.
2. Ebtanas yang berlaku sekarang belum dapat menghasil-kan
penilaian yang berkeadilan, karena belum dapat menjamin kesesuaian antara yang
diajarkan dengan yang diujikan.
3. Ebtanas yang berlaku sekarang diragukan
objektivitas penilaiannya karena pelaksanaan penilaian dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan.
4. Ebtanas yang berlaku sekarang menimbulkan
berbagai ekses yang memberatkan masyarakat.
B. Saran
1.
Perlu ada
usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memperbaiki prasarana
pendidikan dan mening-katkan mutu guru agar dapat dicapai standar mutu guru
yang sama di seluruh Indonesia sehingga usaha untuk mencapai penilaian yang
berkeadilan dapat terwujud.
2. Sistem penyelenggaraan ujian akhir tetap
dilaksanakan, namun karena kata Ebtanas sudah mempunyai stigma negatif,
diusulkan agar namanya adalah Penilaian Hasil Belajar Nasional.
3. Untuk mengatasi masalah heterogenitas di
bidang penilaian pendidikan, perlu dibuatkan tiga macam standar ujian yaitu standar minimal, normal dan excellent. Sistem evaluasi standar
minimal nasional adalah sistem yang berlaku bagi seluruh sekolah di Indonesia
dari Sabang sampai Merauke. Sistem evaluasi standar normal adalah sistem
evaluasi yang berlaku bagi sekolah-sekolah di Indonesia yang telah mempunyai
kualitas sebagaimana ditetapkan oleh pusat dengan kriteria yang lebih tinggi
daripada standar minimal. Sistem ini diperlakukan untuk sekolah-sekolah yang
memang telah mampu melaksanakannya. Sistem evaluasi standar excellent adalah sistem evaluasi yang
berlaku bagi sekolah-sekolah yang telah memiliki kualitas di atas standar
normal. Siswa yang lulus standar excellent
tidak perlu lagi ikut ujian masuk ke Perguruan Tinggi. Siswa yang lulus standar
normal juga tidak perlu mengikuti ujian masuk ke Perguruan Tinggi, tetapi harus
mengikuti TPA. Sedangkan siswa yang lulus standar minimal harus mengikuti ujian
masuk ke Perguruan Tinggi.
4. Perlu ada satu lembaga independen dan
profesional yang khusus dibentuk untuk menangani masalah penilaian hasil
belajar.
5. Lembaga independen ini bertanggung jawab
untuk melaksanakan sistem ujian yang terdiri dari tiga jenis standar, yaitu
minimum, normal, dan excellent. Di dunia
modern sekarang ini, lembaga yang menyelenggarakan pendidikan berbeda dengan
lembaga yang menyelenggarakan penilaian, seperti misalnya yang terdapat di
Amerika Serikat dengan TOEFL yang diselenggarakan oleh Educational Testing Service (ETS).
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK
1. Prof.
Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M.Sc. (Ketua)
2. Corneles
Wowor, M.A. (Sekretaris)
3. Prof.
Dr. Lily I. Rilantono (Anggota)
4. Prof.
K.H. Ali Yafie (Anggota)
5. K.H.
MA Sahal Mahfudh (Anggota)
6. Prof.
Dr. I Made Bandem (Anggota)
KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN