PENINGKATAN PEMERATAAN DAN MUTU PENDIDIKAN DASAR
KATA PENGANTAR
Keberhasilan pembangunan pendidikan, khususnya dalam menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu sangat besar artinya dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional.
Pemerintah senantiasa berupaya meningkatkan kesempatan belajar bagi setiap peserta didik dalam rangka pemerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan meningkatkan mutu proses belajar-mengajar serta pendidikan pada umumnya. Prestasi yang dicapai, terutama selama 23 tahun terakhir ini yakni sejak Pelita I tidak dapat diragukan. Namun demikian, sebagai suatu negara yang sedang membangun, berbagai tantangan masih dihadapi, terutama dalam memasuki abad 21 yang merupakan abad globalisasi dan era industrialisasi. Dalam hubungan inilah maka upaya pemerataan pendidikan terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung perlu segera dituntaskan. Sedangkan peningkatan mutu yang menjadi prioritas utama pembangunan pendidikan perlu ditangani secara lebih sistemik, sistematis dan berencana.
Memorandum Pandangan (position paper) ini memuat pemikiran-pemikiran Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) sebagai hasil dari pengkajian terhadap berbagai kebijakan, baik nasional maupun lokal di masing-masing daerah yang bersangkutan, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional mengharapkan buah pikiran serta saran-saran yang disajikan pada halaman-halaman berikut dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan.
Setelah memproklamasikan diri menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, bangsa Indonesia mencantumkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pentingnya upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang lebih lanjut ditegaskan pada Pasal 31 dan 32 Undang-Undang Dasar 1945.
Pencantuman cita-cita pendidikan bangsa dan pengembangan kebudayaan nasional baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal serta penjelasan Undang-undang Dasar 1945 tersebut bukan saja merupakan bukti akan pentingnya peranan pendidikan dan pengembangan kebudayaan nasional bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara, melainkan pula merupakan suatu amanat dari cita-cita proklamasi yang perlu menjadi pedoman dalam rangka pengembangan pendidikan dan kebudayaan nasional bagi pengembangan bangsa dan negara.
Hal ini dapat dipahami karena pendidikan dan kebudayaan merupakan wahana untuk membentuk manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam pemikiran, perkataan maupun perbuatan; memiliki kecerdasan dan keterampilan yang memungkinkan mmperbaiki kehidupan diri, keluarga, dan bangsanya; memiliki dan mengamalkan budi pekerti yang terpuji dalam pergaulan masyarakat bangsa Indonesia dan bangsa lain; memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Dengan kualitas yang demikian maka akan tumbuh manusia-manusia pembangunan yang mampu membangun dirinya sendiri, dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa, menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam kerangka tersebut di atas pendidikan dasar memegang peranan kunci karena bertugas meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Laksana sebuah bangunan, pendidikan dasar merupakan pondasi bagi pendidikan cita-cita kebangsaan, dan merupakan bekal dasar bagi pengembangan kehidupan peserta didik yang bersangkutan baik dalam kehidupannya di masyarakat maupun untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu keberhasilan pendidikan dasar merupakan kepentingan nasional yang sangat strategis.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menggariskan fungsi pendidikan dasar pada Pasal 13 ayat (1), yang ditegaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar bahwa:
“Pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun, diselenggarakan enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama” (Bab I, Pasal 1, butir 1). Tujuan pendidikan dasar adalah:”untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah” (Bab II, Pasal 3).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pendidikan, terutama pada tingkat sekolah dasar, namun demikian masih banyak pihak yang menilai bahwa pemerataan kesempatan belajar, terutama mutu pendidikan di Indonesia belum memadai. Karena iu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) menyusun Memorandum Pandangan (position paper) tentang peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan dasar ini, sebagai sumbangan pemikiran BPPN untuk merencanakan dan melaksanakan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Telah menjadi keputusan politik, sebagaimana digariskan pada Garis-garis Besar Haluan Negara 1988 bahwa Era Pembangunan Jangka Panjang 5 Tahun Kedua merupakan Era Pembangunan Tinggal Landas, era menuju masyarakat industri, era peningkatan kualitas manusia serta seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, laju pembangunan tidak hanya bersifat fisik industri, akan tetapi berbarengan pula dengan pembangunan kualitas manusianya.
Meskipun pembangunan kualitas manusia memiliki keterkaitan terpadu dalam berbagai sektor, peranan pokok tetap berada pada tugas sektor pendidikan dan kebudayaan, dimana pendidikan dasar menempati fungsi dan peranan yang menentukan.
Sejalan dengan posisi dan peranan pendidikan bagi pembangunan, kelemahan dan kesenjangan pelaksanaan pendidikan dasar baik menyangkut mutu maupun pemerataan akan berdampak luas dan menghambat lajunya pembangunan bangsa dalam ukuran generasi. Pembangunan dalam arti membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab membangun bangsa. Karena itu, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 beserta peraturan perundang-undangan yang menyertainya perlu segera dilaksanakan, termasuk pelaksanaan Wajib Belajar sampai tamat SLTP. Dalam upaya tinggal landas pada pembangunan jangka panjang kedua, hendaknya dana dan daya lebih ditingkatkan sehingga Wajar SLTP telah dapat dimulai pada Repelita VII, dan kemudian Wajib Belajar SLTA dapat dimulai pada Repelita X, atau lebih cepat dari itu.
Selanjutnya, Memorandum pandangan ini akan difokuskan pada masalah peningkatan pemerataan dan mutu. Istilah pemerataan pendidikan mengacu pada aspek kuantitatif peningkatan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, khususnya dilihat dari jumlah anak usia sekolah yang telah tertampung di berbagai lembaga pendidikan (Angka Partisipasi Murni atau APM); dengan catatan bahwa upaya harus dilakukan untuk mengurangi angka putus sekolah dan angka mengulang kelas. Peningkatan mutu pendidikan mengacu pada aspek kualitatif perkembangan pendidikan, yang dilihat secara lengkap dari semua aspek sistem pendidikan, yaitu aspek input instrumental (lahan dan gedung, ruang belajar, tenaga, buku dan alat-alat pendidikan, pengelolaan, dan dana), proses serta disiplin belajar-mengajar, hasil pendidikan (internal efisiensi, Nilai Ebtanas Murni [NEM], persentase lulusan), dan dampak pendidikan (relevansi dengan dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat, disiplin nasional, serta pengaruhnya terhadap pembangunan pada umumnya); serta mutu peserta didik itu sendiri.
Segi pemerataan (kuantitatif) dan kualitatif (mutu) pendidikan dasar dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:
A. Aspek Pemerataan (Kesempatan Memperoleh Pendidikan)
Pemerataan telah tercapai bila aspek-aspek tersebut telah tersedia, dan cukup untuk menyediakan pendidikan yang banyak bagi anak usia sekolah.
C. Aspek Hasil dan Dampak Pendidikan
Aspek tersebut meliputi:
Berbagai usaha telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam arti yang luas. Pada periode Repelita I sampai IV prioritas diberikan pada peningkatan kesempatan belajar (aspek kuantitatif) dan mutu input instrumental, khususnya guru. Pada Repelita V, prioritas mulai diarahkan pada segi mutu proses dan hasil belajar, sambil meningkatkan daya serap (wajib belajar) SLTP.
Dalam pengembangan pendidikan di Indonesia isu pertama yang patut diketengahkan adalah kesenjangan (disparitas) pendidikan antardaerah dan antargolongan atau kelompok bangsa Indonesia. Analisis sebab-musababnya dan saran kebijakan yang diprioritasnya lebih ditekankan pada alasan perbedaan lingkungan pendidikan, yaitu pada adanya disparitas input-instrumental dan proses pendidikan yang diterima daerah dan golongan murid tersebut. Tidak terlepas pula pengaruh kedudukan ekonomi para orang tua peserta didik atau lingkungan masyarakat pada umumnya.
Upaya-upaya untuk memperhatikan unsur bawaan telah pula dilakukan agar anak-anak yang berbakat dapat dikembangkan lebih baik. Upaya yang serupa telah pula dilakukan bagi kelompok anak yang berkelainan, namun masih belum dapat menjangkau semuanya, terutama mereka yang berada di pedesaan.
Jika demikian halnya, untuk meniadakan disparitas tersebut maka program-pogram pendidikan nasional sesungguhnya harus sengaja diarahkan pada daerah dan golongan yang masih kurang beruntung memperoleh input instrumental dan proses pendidikan yang lebih memadai tersebut. Input instrumental yang dimaksud ialah sarana prasarana, tenaga, dan biaya pendidikan. Mereka yang kurang beruntung tersebut pada umumnya berada di daerah-daerah terpencil/sulit, kepulauan, daerah aliran sungai, pedalaman, dan pegunungan di hampir seluruh propinsi di Indonesia, terutama di belahan wilayah Indonsia bagian Timur. Kelompok/golongan yang masih kurang beruntung, termasuk di dalamnya adalah kelompok anak yang berkelainan (fisik dan atau mental) dan anak berbakat walaupun mereka bertempat tinggal di daerah perkotaan tetapi terasing dari kekayaan stimulus dan perhatian yang mereka butuhkan.
Berbagai hasil studi tentang pemerataan dan mutu pendidikan di Indonesia tersebut di atas cenderung ditafsirkan bahwa mutu pendidikan di luar Jawa lebih rendah daripada di Jawa. Sesungguhnya dapat dilihat bahwa ada daerah-daerah di belahan wilayah Indonesia Bagian Timur yang hasil belajarnya lebih baik daripada daerah-daerah di Jawa. Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa sejumlah propinsi di luar Jawa, khususnya di belahan wilayah Indonesia Bagian Timur, mulai mengejar, dan bahkan dalam beberapa aspek lebih baik daripada satu atau dua propinsi di Jawa. Bahkan angka murid yang melanjutkan ke SLTP lebih tinggi daripada propinsi lain di Indonesia. Kantong-kantong wilayah yang sama dapat dijumpai pula di belahan wilayah Indonesia Bagian Barat.
Penilaian mengenai mutu pendidikan ini oleh para peneliti dan apalagi oleh masyarakat awam lebih ditekankan pada aspek hasil belajar dan dampaknya dalam masyarakat. Selain itu, analisis kesenjangan (disparitas) mutu pendidikan pada studi-studi terdahulu lebih menekankan pada segi efektivitas (rata-rata nilai tes atau rata-rata NEM) satu sekolah atau kelompok sekolah, dan belum melihatnya dari segi efisiensi (harga rupiah untuk tiap satuan nilai tes atau NEM tersebut). Dengan demikian, studi-studi terdahulu masih belum memberikan perhatian pada analisis perbedaan usaha sekolah/guru dalam mencapai hasil belajar tersebut. Akibatnya, kurang ada upaya pemberian penghargaan pada sekolah atau daerah yang serba kurang tetapi dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih efisien dari sekolah atau daerah lain yang memiliki input instrumental yang lebih baik.
Karena itu isu kedua ialah: apakah segi efisiensi ataukah efektivitas yang seyogiyanya diprioritaskan?
Jika ingin segera mencapai tingkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas untuk tinggal landas, soal efisiensi atau efektivitas hendaknya tidak dipertentangkan. Program pemerataan seyogiyanya diarahkan pada efektivitas pendidikan, dan setelah itu penilaian pendidikan memperhatikan pula segi efisiensi. Berarti meningkatkan hasil belajar dengan pengerahan semaksimal mungkin segala dana dan kekuatan yang diperlukan. berarti pula secepatnya memeratakan semua jenis input instrumental, dan proses pendidikan, dan memacu penggunaannya untuk mencapai hasil belajar yang lebih tinggi dalam segala seginya (pengetahuan, keterampilan, sikap). Kalau semua sumber daya sudah mencukupi, baru menerapkan program dan penilaian tentang efisiensi.
Jika arah ini yang akan dicapai, maka akibat atau konsekuensi pengelolaan pendidikan dasar yang perlu dipegang dan dilaksanakan ialah: adanya sistem pembiayaan pendidikan yang responsif terhadap perubahan “kebutuhan pendidikan”. Berarti, pertama, anggaran biaya pendidikan disesuaikan dengan laju perkembangan kebutuhan peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan nasional. Kedua, satuan biaya pendidikan sekolah negeri dan swasta per murid dan atau per sekolah sejenis harus relatif sama di seluruh wilayah Republik Indonesia, tetapi biaya sekolah di daerah terpencil dan sulit harus lebih tinggi daripada sekolah-sekolah sejenis di kota. Temasuk penghasilan/gaji para tenaga kependidikan di daerah-daerah terpencil atau mereka yang bertugas di kawasan industri, seperti di Kotamadya Batam.
Dari segi isi pendidikan, masih terlihat upaya yang kurang merata untuk peningkatan mutu bidang-bidang studi. Upaya peningkatan mutu pendidikan agama, keterampilan, kesenian, dan pendidikan kewarganegaraan (termasuk bela negara), masih kalah oleh upaya untuk peningkatan mutu bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, dan bidang studi lain yang di-Ebtanaskan. Hal ini jelas menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional membentuk manusia seutuhnya. Karena itu ada tuntutan penambahan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan mutu pendidikan yang menyeluruh.
Dengan demikian isu ketiga ialah bagaimana meningkatkan waktu belajar sekaligus time on task agar mutu hasil belajar meningkat. Tidak perlu selalu dalam bentuk penjatahan jam pelajaran formal per mata pelajaran. Jika semuanya ini diperhitungkan, maka bobot pembangunan pendidikan nasional menjadi semakin berat, dan karena itu lebih besar pula anggaran biaya pendidikan yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah. Di sini ditekankan biaya pemerintah, karena pemerintah bergerak ke arah wajib belajar SLTP pada Repelita VI, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 memerintahkan agar biaya pendidikan wajib belajar di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu, selain diperlukan pengaturan kembali bobot kurikulum, upaya peningkatan waktu belajar efektif serta disiplin belajar mengajar perlu makin dibina melalui pengembangan pengelolaan sekolah dari kelas yang lebih mantap.
Isu keempat yang tidak kalah pentingnya ialah peningkatan partisipasi swasta dalam pendidikan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa perguruan swasta di pedalaman umumnya kurang diminati oleh orang tua murid, sehingga belum dapat diharapkan untuk dapat membantu menuntaskan wajib belajar SLTP. Orang tua murid lebih menyukai anaknya tinggal di rumah daripada memasukkan anaknya ke sekolah swasta: apakah karena mutunya yang dianggap rendah dan atau karena biayanya lebih mahal dari sekolah negeri. Pada tingkat SD saja, misalnya, ada sekolah swasta yang semua gurunya adalah guru tetap negeri (PNS dengan NIP 13), tetapi masih menarik uang sekolah di samping iuran Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Murid-murid yang datang dari kampung yang secara ekonomik kurang beruntung di sekitar sekolah tersebut harus membayar biaya sekolah dua kali lipat dari murid SD Negeri yang berdekatan dengannya, karena sekolah swasta diperkenankan menarik uang sekolah. Mereka harus membayar iuran BP3 yang sama besarnya dengan murid-murid sekolah lain yang datang dari keluarga yang lebih berada, hanya karena mereka bertempat tinggal pada rayon kemahalan yang sama.
Badan dan yayasan pendidikan swasta perlu dibantu, walaupun bantuan iuran dari orang tua murid memang masih terpaksa diminta, namun dengan mempertimbangkan kedudukan golongan ekonomi lemah.
Karena sebagian besar yayasan pendidikan swasta masih belum mempunyai kemampuan untuk meningkatkan mutu sekolahnya dari sumber dana sendiri, bahkan biaya hidup yayasan pendidikan itu sendiri masih bergantung pada uang sekolah yang dipungut dari orang tua murid, maka sekolah-sekolah swasta pada umumnya masih kekurangan guru tetap yayasan (GTY). Mereka bergantung pada partisipasi guru-guru tetap di sekolah negeri yang bersedia menjadi guru tidak tetap (GTT). Dalam situasi di mana guru sekolah negeri sendiri makin dituntut untuk lebih banyak bekerja di sekolahnya sendiri dalam rangka memenuhi ketentuan angka kredit dan double shift, peranserta guru-guru negeri sebagai GTT di sekolah swasta akan mengganggu pelaksanaan pendidikan di sekolah negeri sendiri. Karena itu perlu disusun suatu skema bantuan guru kepada sekolah-sekolah swasta yang lebih terpadu dalam perencanaan wajib belajar SLTP.
Potensi gotong royong masyarakat yang dapat ditingkatkan antara lain membantu pemerintah mendirikan gedung sekolah-sekolah negeri. Untuk maksud tersebut pemerintah perlu memberi tanggapan positif pada inisiatif seperti itu, dan menyesuaikan pendirian unit gedung baru, serta pengangkatan tenaga guru untuk mengisi sekolah-sekolah yang telah dibangun dan atau yang bersedia dibangun masyarakat.
Di samping itu perlu pula ditetapkan suatu pedoman dan aturan pentahapan pengerjaan sekolah-sekolah yang dibangun oleh swadaya masyarakat agar partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan dapat lebih meningkat dan terarah pembentukan wadah koordinasi perencanaan.
Isu kelima ialah mengenai penggunaan beberapa alternatif wajib belajar SLTP yang dianggap sebagai pendidikan kelas dua atau kelas tiga. Dengan pokok pikiran seperti dikemukakan terdahulu, bahwa untuk menghilangkan disparitas pendidikan perlu program yang diarahkan pada kelompok yang lebih membutuhkan bantuan, maka penggunaan kejar Paket B, SMP-terbuka, dan sekolah swasta yang bermutu rendah, sesungguhnya akan makin kurang menguntungkan golongan lemah tersebut, karena bagaimanapun alternatif penyajian seperti itu kurang memberikan interaksi guru murid, dan interaksi murid-murid yang lebih lengkap dalam rangka pembinaan kepribadian mereka. Karena itu lebih baik memperbanyak sekolah-sekolah lengkap walaupun kecil (SMP-kecil), membuka kelas-kelas jauh, dan atau membuka kelas-kelas SMP di sejumlah SD/MI (misalnya sampai klas II SMP), agar pembinaan dari guru-guru dapat lebih rutin dan lebih banyak. Untuk meningkatkan mutu SMP terbuka, terutama dilihat dari segi perkembangan pribadi peserta didik, waktu tatap muka perlu diperbanyak di tempat-tempat belajar antara siswa dengan para pembimbing/pembina/tutor mereka. Modul dan kaset yang digunakan senantiasa perlu disesuaikan dengan perubahan-perubahan esensial pada kurikulum yang berlaku.
Isu keenam ialah penentuan daerah prioritas pembangunan pendidikan nasional. Memperhatikan data NEM tiga tahun terakhir, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembinaan mutu hasil belajar (NEM) SMP, secara nasional perlu diberikan kepada lima prioritas utama propinsi-propinsi berikut: Timor Timur, Jambi, Sulawesi Tenggara, kalimantan Selatan, dan Riau. Lima peringkat teratas penuntasan wajib belajar SLTP perlu diberikan pada: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan prioritas wajar SD perlu diberikan pada: Timor Timur, Irian Jaya, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Atas dasar itu maka program peningkatan pemerataan pendidikan dasar di Indonesia sebaiknya diprioritaskan pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar dan peningkatan mutu di daerah-daerah terpencil/sulit, anak-anak yang tergolong nomadik antara lain di kepulauan Riau, anak-anak di pemukiman kumuh perkotaan dan kaum tuna wisma, serta anak-anak yang berbakat dan berkelainan. Secara regional, di belahan wilayah Indonesia Bagian Timur program pendidikan sebaiknya diutamakan pada peningkatan mutu SLTP. Khusus di Irian Jaya dan daerah terpencil/sulit diperlukan pengembangan sekolah berasrama pada tingkat SLTP dan SLTA. Di belahan wilayah Indonesia Bagian Barat peningkatan pendidikan dasar sebaiknya diprioritaskan pada penuntasan wajib belajar SLTP, terutama sekali peningkatan persentase lulusan SD/MI yang melanjutkan ke SLTP.
Tidak kalah pentingnya adalah isu ketujuh, yaitu penyebaran lokasi sekolah. Akhir-akhir ini kecenderungan tumbuhnya pemukiman tidak dibarengi dengan sarana pendidikan dan pendirian sekolah menengah terpusat di suatu daerah kota. Hal ini ditambah pula dengan adanya kecenderungan pemerintah daerah yang masih lebih mementingkan pembangunan sarana perdagangan daripada sarana pendidikan. Tidak sedikit jumlah sekolah yang dikorbankan di pindah ke daerah yang kurang baik, karena lokasinya dijadikan pusat pertokoan, real estate, dan sebagainya, dan belum pernah terjadi hal yang sebaliknya. Banyak pula gedung sekolah baru didirikan di lokasi yang tidak sehat dan atau terpencil karena dicari tanah yang murah harganya. Karena itu perlu ada peraturan yang lebih menguntungkan bagi penyiapan lahan dan pendirian gedung-gedung sekolah, sehingga pendidikan bangsa betul-betul mendapat prioritas yang tinggi. Peta sekolah yang sekarang sedang dikembangkan perlu dilengkapi dengan data penduduk serta lingkungan hidup. Tanpa data penduduk maka peta tersebut tidak akan banyak manfaatnya.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar rupanya telah secara jeli memperhitungkan hal tersebut. Hanya dalam sistem pengelolaan pendidikan yang sentralistis, tuntutan pembangunan pendidikan yang lebih adil dan merata lebih besar kemungkinannya untuk tercapai. Karena itu isu terakhir yang perlu dikemukakan ialah berkenaan dengan pengelolaan pendidikan.
Sesuai dengan asas sentralisasi pengelolaan dan desentralisasi pelaksanaan (Undang-undang Nomor tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990), pengelolaan pendidikan perlu didekonsentrasikan pada unit-unit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di propinsi, kabupaten, kecamatan, dan sekolah. Perencanaan dari bawah akan merupakan pilihan yang lebih sesuai untuk mendukung berbagai kebijakan ini, dan memecahkan permasalahan/isu yang dikemukakan terdahulu.
Perencanaan dari bawah tersebut harus dimulai dari tingkat sekolah unit terkecil perencana pendidikan. Bertahap-berjenjang rencana tersebut diakumulasi untuk unit Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan, kabupaten, wilayah, dan pusat. Pada tiap tingkatan, gabungan rencana tersebut diperkaya dengan hal-hal yang diperlukan untuk upaya pemerataan antarsekolah dan antardaerah. Pengelompokan SD ke dalam gugus sekolah (school cluster) di daerah perintisan Sistem Pembinaan Profesional/Cara Belajar Siswa Aktif (SPP/CBSA) merupakan suatu permulaan yang baik.
Untuk keperluan tersebut, kepala kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten dan Kecamatan perlu diberikan kewenangan merencanakan dan mengelola pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah yang ada di daerahnya secara menyeluruh. Kepada setiap kepala sekolah perlu diberikan kewenangan dan kemampuan untuk merencanakan kegiatan dan pendanaan sekolahnya secara lengkap bersama-sama tenaga guru dan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sekolah yang bersangkutan.
Dalam rangka meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, sekolah-sekolah tersebut dapat bekerja sama dalam gugus-gugus sekolah sejenis. Agar wajib belajar SLTP dapat berjalan dengan baik, sistem pendataan pendidikan memakai pola perayoran SD/MI perlu dipergunakan di seluruh Indonesia. Pola perayonan dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Yang penting, data arus murid dari SD/MI ke SLTP dan SLTA perlu tegas, jelas, dan tuntas, agar pencanaan sekolah di atasnya dapat dilakukan dengan lebih ajek.
Penerimaan murid baru bagi SD/MI, SMP/MTs, dan SLTA dapat pula memakai pola perayonan tersebut. Lebih-lebih lagi dalam tahap awal konsolidasi relokasi gedung-gedung sekolah, baik negeri maupun swasta.
III. USAHA PENINGKATAN PEMERATAAN DAN MUTU PENDIDIKAN DASAR
Sejalan dengan adanya keputusan politik untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan seluruh masyarakat Indonsia, dalam rangka menyongsong Era Tinggal landas Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua, Peningkatan Pemerataan dan Mutu Pendidikan Dasar yang menjadi dasar tinggal landas mutu peningkatan Pendidikan Nasional secara menyeluruh merupakan upaya yang tidak bisa ditawar dan ditangguhkan lagi.
Berlandaskan sasaran pelayanan pendidikan dasar bagi seluruh penduduk warga negara secara tuntas dan peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan ukuran/kiteria tersebut di atas, disarankan upaya-upaya sebagai berikut:
A. Peningkatan Pemerataan Pendidikan Dasar
Sasaran pelayanan SD/MI yang belum tertampung adalah sejumlah kecil anak usia sekolah yang berada di daerah sulit/terpencil, anak berkelainan, dan anak yang orang tuanya berekonomi lemah, termasuk anak “terlantar” dan tuna wisma di perkotaan. Dalam kaitan ini, di samping penambahan gedung SD di tempat yang memerlukannya, perlu dikembangkan program pembentukan dan penyelenggaraan SD kecil, SD Pamong, Kejar Paket “A”, baik negeri maupun swasta, MI, dan alternatif pendidikan lainnya seperti pesantren. Menghadapi anak berkelainan, dikembangkan pendidikan sekolah-sekolah luar biasa (SLB) dan program SD Terpadu. Sasaran utama diarahkan pada belahan wilayah Indonesia Bagian Timur dan daerah terpencil/sulit dan di daerah Indonesia lainnya. Bersamaan dengan itu waktu dan proses belajar-mengajar sejauh mungkin disesuaikan dengan situasi dan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Anak dari lingkungan keluarga ekonomi lemah dan anak terlantar diupayakan mendapat bantuan melalui tunjangan siswa, orang tua asuh, sistem asrama, dan yang sejenis. Pemerintah perlu berusaha mencukupi segala keperluan penyelenggaraan pendidikan. Stabilitas SD yang sudah ada harus terus dijaga jangan sampai kemampuan dan peranannya dalam memberikan pelayanan pendidikan menjadi menurun. Putus sekolah dan mengulang kelas perlu ditekan sekecil mungkin.
Faktor dan kondisi lingkungan hendaknya benar-benar diperhatikan dalam menentukan pilihan dan program pendirian suatu bentuk dan jenis sekolah. Keterpaduan harus selalu diperhatikan untuk menghindari adanya tumpang tindih yang mengurangi efisiensi persekolahan. Perhitungan ganda (double counting) murid pada satu satuan pendidikan harus dapat segera diatasi.
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
SLTP dalam paket pendidikan dasar perlu dikembangkan dalam jumlah yang cukup besar mengejar angka partisipasi murni. Program pemerataan pendirian SLTP berorientasi pada laju jumlah lulusan SD/MI. Seperti pada tingkat SD, bagi daerah sulit/terpencil atau daerah lainnya yang memerlukan, supaya dibentuk jenis sekolah tertentu, seperti SMP tipe kecil, SMP terbuka, SMP berasrama. SMP terpadu dikembangkan dalam rangka menampung anak luar biasa yang tak dapat ditampung di SLB. Program Kejar Paket B lebih diarahkan pada kelompok di atas usia SLTP. Untuk anak usia SLTP sebaiknya diupayakan bentuk persekolahan.
Partisipasi swasta sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, termasuk SLTP, sangat besar. Potensi ini perlu terus dirangsang dan didorong sebaik-baiknya melalui berbagai bimbingan dan bantuan, baik sarana, dana dan tenaga, serta pembinaan mutu akademisnya.
Dalam mengejar efisiensi program pengembangan sekolah hendaknya berlandaskan konsep pemetaan sekolah di mana sekolah swasta merupakan bagian program yang terpadu. Mengingat besar jumlah SLTP yang harus didirikan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam Pelita V, maka penggalangan kebersamaan antara pemerintah dengan masyarakat, khususnya Perguruan Swasta, perlu lebih ditingkatkan. Madrasah Tsanawiyah serta Pesantren merupakan lahan yang subur untuk dikembangkan. Partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan gedung SLTP Negeri supaya dimasukkan dalam pola pendirian unit gedung baru. Perpaduan antara SMP terbuka dengan pogram Paket B perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
B. Peningkatan Mutu
Berlandaskan kriteria penilaian mutu tersebut di atas, masalah usaha peningkatan mutu pendidikan dapat didekati melalui usaha perbaikan dari empat aspek, yaitu input instrumental (gedung, sarana belajar, guru dan tenaga kependidikan, pengelolaan), proses belajar mengajar, hasil belajar, dan dampak pendidikan.
1. Prasarana
Penambahan unit gedung baru, ruang belajar, laboraoium, dan perpustakaan.
2. Sarana Belajar
Penyelenggaraan sekolah yang bermutu perlu ditopang dengan kelengkapan bangunan sekolah dan alat perkakasnya yang mencukupi, alat pelajaran dan buku pelajaran yang memadai, perpustakaan, laboratorium serta sarana belajar lainnya seperti sarana olahraga, kesenian dan pendidikan keterampilan. Sarana penopang seperti video, film, TV pendidikan dan bacaan-bacaan bermutu perlu ditingkatkan. Bagi pendidikan dasar, khususnya SD, sarana belajar yang ada umumnya di bawah standar, kalaupun ada yang bermutu jumlahnya belum mencukupi.
3. Guru dan Tenaga Kependidikan Lainnya
Untuk mengarah pada pencapaian mutu pendidikan yang baik maka upaya peningkatan jumlah, jenis dan mutu guru harus segera dilakukan. Perencanaan pengadaan guru dilakukan secara terpadu di mana semua lulusan LPTK keluar dapat langsung memasuki pekerjaan. Jumlah dan penempatan guru secara praktis harus mencukupi untuk semua sekolah. Mutu guru harus dibenahi dan ditingkatkan sejak saat yang bersangkutan mengikuti pendidikan guru. Untuk mencapai mutu masukan calon guru yang “unggul” harus diusahakan agar jabatan guru menjadi jenis pekerjaan yang menarik, khususnya bagi generasi muda. Gaji guru perlu dinaikkan sehingga dapat mendorong guru untuk bekerja sebaik-baiknya dan mampu membiayai pengembangan profesinya. Sudah waktunya diadakan sistem gaji guru tersendiri. Kualifikasi kewenangan dan kelayakan mengajar guru ditingkatkan, sesuai dengan peningkatan tugas dan peranan mereka dalam kehidupan yang makin maju dan modern. Kesulitan penempatan guru untuk daerah terpencil supaya segera diatasi antara lain dengan merekrut calon guru lokal, pemberian kedudukan dan fasilitas yang menarik dalam sistem kepangkatan, mutasi, imbalan kesejahteraan, kelanjutan studi, topangan kesejahteraan, dan lain-lain.
Dalam kaitan ini kriteria dan peta daerah sulit/terpencil sebaiknya segera ditetapkan. Pembinaan profesi guru-guru melalui berbagai usaha penataran, seminar, lokakarya, majalah profesi, dll. hendaknya dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan. Dalam kaitan ini organisasi profesi dapat mengambil peranan lebih banyak dan Sistem Pembinaan Profesional (SPP/CBSA) perlu ditingkatkan melalui Pusat Kegiatan Guru (PKB) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Usaha penyetaraan guru antara lain saat ini minimal Diploma II kependidikan, agar dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dan sebaliknya disertakan partisipasi masyarakat secara terpadu di mana IKIP, STKIP, bekas SPG/SGO/PGA swasta, dapat dibina dan dikembangkan sehingga memenuhi syarat bagi penyelenggaraan LPTK yang baru. Tenaga kependidikan lainnya seperti pustakawan, laboran, pelatih keterampilan, tutor, perlu dicukupi dan kedudukannya diperbaiki.
4. Kurikulum
Kurikulum sekolah merupakan pedoman belajar-mengajar yang sangat penting. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 sudah menggariskan jenis dan muatan kurikulum, khususnya kurikulum nasional yang cukup fleksibel menampung keperluan khusus atau setempat dalam bentuk muatan lokal. Kurikulum tidaklah merupakan hal yang langgeng dan baku. Ia secara periodik harus diubah dan disesuaikan unuk mengantisipasi perkembangan keadaan. Kurikulum nasional yang saat ini sudah dirasakan “sarat beban” diharapkan dapat dirampingkan, lebih luwes, dan memiliki jenis-jenis program dan bidang studi yang perlu diberikan sebagai modal dan landasan dalam pengembangan sikap, pengetahuan dan kemampuan peserta didik, baik dalam melanjutkan studi maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Sekolah makin lama tampak makin terbatas peranan dan kemampuannya sebagai lembaga yang berfungsi mengalihkan ilmu dan teknologi serta keterampilan. Hal ini disebabkan perkembangan Iptek yang demikian cepatnya dengan segala dampak terapannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, perubahan kurikulum perlu tepat waktu, melalui persiapan yang matang berlandaskan data, pengalaman, hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil percobaan atau percontohan yang dievaluasi secara seksama dan terbuka. Perubahan kurikulum harus terpadu dngan berbagai aspek penopangnya seperti buku-buku, dan lain-lain. Muatan lokal perlu benar-benar dicari dan dirumuskan secara tepat untuk mengantisipasi keperluan khusus dan kondisi lingkungan tertentu yang tak mungkin ditetapkan secara nasional. Hal ini mngembangkan prinsip otonomi sekolah.
Pelaksanaan suatu kurikulum baru hendaknya memasyarakat dulu, sekurang-kurangnya harus dimiliki dan dikuasai dulu oleh sekolah dan guru yang bersangkutan. Keterkaitan kesinambungan kurikulum sesuai dengan jenis dan jenjang persekolahan hendaknya mendapat perhatian khusus, sehingga dalam hal mencapai mutu tidak perlu saling menuduhkan kelemahan dan mengadakan upaya matrikulasi yang memerlukan tambahan tenaga, waktu dan biaya guru tersendiri.
Proses belajar-mengajar atau sistem penyajian dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pembaharuan dan ditopang dengan tersedianya sarana-sarana pendidikan yang memadai dan modern.
5. Pengelolaan
Pengelolaan SLTP tidak ada masalah karena sepenuhnya berada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pengelolaan SD sudah sekitar 2 dasawarsa dipermasalahkan, lebih-lebih oleh para guru yang merasa terbebani akibat adanya “pengelolaan ganda” yang kurang terkoordinasi.
Masalah tersebut sebaiknya diselesaikan dengan meletakkan kepentingan pendidikan sebagai tugas dan tanggung jawab bersama, dan melaksanakan tugas sepenuhnya sesuai dengan jiwa, semangat dan bunyi peraturan perundangan yang berlaku, serta melakukan koordinasi sebaik-baiknya di semua tingkat dan jajaran.
Pendidikan adalah masalah dan tanggung jawab nasional, bagian dari tujuan nasional dan ruang lingkupnya pun nasional. Karenanya ditangani atau dikelola secara nasional pula. Meskipun demikian dalam penyelenggaraannya disadari keperluan pelimpahan sebagian tugas dan wewenangnya ke daerah. Hal ini sejalan dengan tantangan lingkup wilayah yang besar dan luas, kebhinekaan kondisi dan budaya, prinsip-prinsip manajerial yang diperlukan, dll. Bagaimanapun besarnya kemampuan pusat tidak mungkin tidak mengaitkan atau memperhatikan fungsi dan peranan daerah. Secara taktis dan praktis satu unit satuan tugas, meskipun dibagi dan ditangani oleh dua lembaga, kepemimpinannya perlu satu. Perlu dimasyarakatkan citra, tugas dan peranan gubernur dan atau bupati/walikota sebagai kepala wilayah merangkap sebagai kepada daerah otonom dalam konteks pemerintahan di daerah sesuai dengan Undan-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dalam kaitan ini kepala instansi vertikal dan dinas daerah yang sejenis lebih tepat dipegang dalam satu tangan, baik sebagai alat pusat maupun daerah. Petugas tersebut diangkat dari yang berpengalaman dalam dunia pendidikan.
Dengan pimpinan instansi di satu tangan, koordinasi dengan sendirinya terjamin, praktis, ekonomis, lebih berdaya guna dan berhasil guna dan guru tidak akan bingung lagi menghadapi dua kepala. Di samping itu kemampuan daerah terutama kebutuhan akan tenaga-tenaga ahli, perlu dibantu untuk segera ditingkatkan.
IV. PENUTUP
Pada Memorandum Pandangan ini BPPN berpendapat bahwa dalam rangka era tinggal landas Pembangunan 25 Tahun Kedua, peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan dasar merupakan prioritas nasional. Untuk itu Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, seyogiyanya dimulai pada Repelita VII, jika mungkin pada akhir Repelita VI, sehingga pada Repelita X dapat diundangkan wajib belajar sampai pendidikan menengah.
Pelaksanaan peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan nasional tentu menuntut upaya dan pembiayaan yang lebih besar. BPPN melihat bahwa kunci utamanya terletak pada kemauan politik (political will) pemerintah.