KESENJANGAN ANTARA KEBIJAKAN NASIONAL PENDIDIKAN DENGAN PELAKSANAANNYA

 

KATA PENGANTAR

            Pelaksanaan kebijakan pembangunan pendidikan tidak selamanya berjalan dengan mulus.  Banyak kendala dan hambatan yang dialami yang disebabkan antara lain berasal dari faktor intern, misalnya aparat pelaksana dan perangkat sistem.  Sedangkan factor ekstern yang berpengaruh antara lain situasi dan kondisi lingkungan alam dan letak geografis.

            Memorandum pandangan ini secara khusus berupaya menelaah dan mengkaji beberapa permasalahan kesenjangan antara kebijakan nasional pendidikan dengan pelaksanaannya. Selanjutnya, dimuat pemikiran, pandangan sasaran dan usul kebijakan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), yang merupakan kristalisasi dari hasil penelaahan dan pengkajian terhadap bentuk-bentuk pelaksanaan kebijakan di lapangan

            Serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan mengkaji memorandum pandangan ini adalah menelaah berbagai hasil penelitian, mengadakan dialog dengan para menteri, para pejabat baik di pusat maupun di daerah; para pakar pendidikan, tokoh masyarakat, anggota masyarakat, pengelola pendidikan, dan mengadakan kunjungan dan pengamatan penyelenggaraan satuan pendidikan.

            Berlandaskan kesepakatan pendapat anggota BPPN, penyusunan mememorandumkan pandangan ini dikoordinasikan oleh Bapak F. Darmanto.

            Selanjutnya, diharapkan agar pemikiran, pandangan, saran dan usul BPPN dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan dalam mengatasi berbagai kesenjangan pelaksanaan suatu kebijaksanaan.

 

Jakarta, November 1992

 

Makaminan Makagiansar

Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

 

I.           LATAR BELAKANG

            Pendidikan mempunyai peranan sangat penting untuk menyiapkan sumber daya manusia, khususnya kaum muda, yang akan menjalankan atau meneruskan roda pembangunan nasional.  Agar penyelenggaraan pendidikan menunjang dan mendukung tujuan pembangunan nasional perlu diatur dengan kebijakan nasional, yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah  Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.

Menurut temuan BPPN, yang diperoleh melalui pengamatan langsung, informasi dari masyarakat maupun instansi Pemerintah, dan lewat kajian terhadap data serta fakta, terdapat beberapa kesenjangan yang memerlukan penyesuaian secepat mungkin.  Kesenjangan-kesenjangan  yang ditemukan oleh BPPN mungkin bukan hal baru sama sekali, tetapi sampai saat sekarang kesenjangan-kesenjangan tersebut belum teratasi.  Kesenjangan yang dimaksud adalah perbedaan antara penerapan kebijakan nasional pendidikan tertentu dengan isi dan semangat kebijakan yang terkait.  Kesenjangan tersebut bila tidak diatasi kiranya akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan pada jenjang terkait khususnya dan tujuan pendidikan nasional umumnya.

Dalam rangka ikut berupaya mencarikan pemecahan masalah kesenjangan tersebut, BPPN mengkaji beberapa kesenjangan yang dipandang menonjol dan perlu diatasi sedini mungkin serta menyampaikan saran pemecahan.

 

II.         PERMASALAHAN

A.         Strategi Pembangunan Sektor Pendidikan

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988-1993 telah menetapkan strategi pembangunan di semua sektor, termasuk sektor pendidikan, yang menekankan antara lain keterpaduan dalam pelaksanaan antara sektor dan antara daerah, kebersamaan dalam memikul tanggung jawab, pemberian peluang bagi prakarsa dan partisipasi masyarakat serta pemerintah daerah.

Meskipun demikian pembangunan sector pendidikan yang selama ini dijalankan belum sepenuhnya menerapkan strategi tersebut, hal mana nampak dari contoh pelaksanaan pembangunan berikut ini.

1.     Bercorak sentralistik

Pembangunan sektor pendidikan di Indonesia selama ini telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan, antara lain peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan penyebarannya di suluruh pelosok Nusantara.  Tetapi di sisi lain, pembangunan pendidikan masih menampilkan citra pembangunan serba makro, kurang memperhatikan kondisi geografis dan sosio-kultural yang berbeda di satu daerah dan di daerah lainnya.  Akibatnya terjadilah keberhasilan dan kemajuan di tempat yang satu dan kegagalan dan keterbelakangan di tempat lainnya.

2.     Belum bertumpu pada azas tanggung jawab bersama

Selain itu, pembangunan sektor pendidikan baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan kurang bertumpu pada potensi dan kreativitas masyarakat yang pada umumnya memiliki jiwa kegotong-royongan untuk berswadaya dan berswakelola. Salah satu dampaknya adalah pembangunan pendidikan dianggap dan dirasakan oleh masyarakat sebagai pembangunan dari atas, pembangunan milik Pemerintah.  Tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah dan peranserta masyarakat belum terwujud sepenuhnya.

3.     Kurang keterkaitan dengan sektor lain

Pembangunan sektor pendidikan masih condong bersifat berdiri sendiri, kurang mengaitkan diri dengan sector lainnya, misalnya industri, ketenagakerjaan, hal mana nampak dari program-program yang dilaksanakan pada satuan-satuan pendidikan umumnya, kurang memperlihatkan kebutuhan di sektor-sektor tersebut.  Salah satu akibatnya adalah kelimpahan jumlah lulusan pendidikan yang sulit mendapatkan pekerjaan di satu sisi dan kekurangan tenaga terampil/ahli di dunia industri dan usaha di sisi lain.

Kurang adanya keterkaitan dengan sektor lain juga nampak dari belum efektifnya koordinasi antar departemen-departemen maupun dalam departemen yang menangani pendidikan, baik vertical maupun horizontal.

 

B.         Mutu Pendidikan

1.     Pemerataan peningkatan mutu pendidikan

Keberhasilan Pemerintah bersama masyarakat dalam meningkatkan pemerataan fasilitas belajar untuk semua jenis dan jenjang pendidikan belum sekaligus membawa keberhasilan dalam memeratakan peningkatan mutu pendidikan.

Di beberapa daerah hasil belajar siswa dalam segala segi (pengetahuan, sikap, keterampilan) cukup menggembirakan, tetapi di beberapa daerah lainnya, baik di Jawa maupun luar Jawa, atau di beberapa tempat dari daerah-daerah tersebut hasil belajar siswa di semua jenjang pendidikan, khususnya pendidikan dasar, masih berada pada tingkat di bawah standar minimal.  Misalnya, siswa-siswa SD yang telah melewati kelas III maupun yang telah tamat tidak memiliki kemampuan fungsional berhitung, menulis dan membaca yang diperlukan dalam hidup sehari-hari.  Siwa-siswa lulusan SMP dan SMA yang meneruskan belajar ke tingkat pendidikan lebih tinggi kurang memiliki penguasaan ilmu dan keterampilan yang dipersyaratkan untuk belajar di tingkat pendidikan lebih lanjut tersebut.

2.     Penataran Guru

Sebagai upaya untuk menyegarkan kembali, menambah, atau meningkatkan dan memperluas pengetahuan maupun keterampilan guru dalam bidang-bidang tertentu, selama ini pemerintah mengadakan penataran-penataran guru, di samping musyawarah bidang studi dan bentuk-bentuk peningkatan kemampuan profesional guru lainnya.  Dalam penataran tersebut sebagian dari guru-guru sekolah swasta diikutsertakan, tetapi sebagian lainnya tidak diikutsertakan, sehingga sangat tergantung pada kemampuan keuangan yayasan penyelenggara sekolah swasta bersangkutan.

Penataran guru kadang-kadang berlangsung pada hari belajar, sehingga mengganggu pemenuhan jumlah jam pelajaran yang ditentukan.  Jumlah hari penataran yang ditentukan tidak jarang diperpendek, dan para penatar kadang-kadang terdiri dari orang-orang yang tidak menguasai materi penataran sepenuhnya.  Selain itu, penataran yang telah dilaksanakan tidak ada tindak lanjutnya.

C.         Pengelolaan Satuan Pendidikan

1.     Hari belajar efektif di sekolah

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan jumlah hari sekolah efektif antara 240-245 hari per tahun untuk memberikan ukuran waktu minimal yang diperlukan bagi tercapainya tujuan dari jenis dan jenjang pendidikan.  Jumlah hari belajar efektif, yaitu jumlah hari sekolah efektif dikurangi hari pertama sekolah, hari ulangan atau tes hasil belajar, kenaikan kelas, pembagian rapor, dan hari libur, berkisar antara 200-202 hari per tahun.  Ketentuan tentang hari belajar dan hari libur sekolah terdapat dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0578/U/1989 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 40 ayat (1).

Standar jumlah hari belajar efektif, karena pelbagai sebab atau alasan tidak terpenuhi oleh sekolah-sekolah, antara lain yang berada di luar kota atau daerah-daerah terpencil.

2.     Bantuan kepada sekolah swasta

Dalam rangka membina satuan-satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dalam hal ini sekolah swasta, pemerintah memberikan bantuan berupa uang, tenaga kependidikan, sarana pendidikan, penataran, dan tenaga ahli.  Ketentuan mengenai pemberian bantuan kepada sekolah swasta terdapat dalam peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1981 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0375/U/1982 serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 ayat (3).

Bantuan yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu dan meringankan beban sekolah tersebut seringkali justru menimbulkan kesulitan bagi sekolah swasta yang bersangkutan.  Misalnya, bantuan guru negeri yang di “drop” ke sekolah swasta tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah yang bersangkutan, atau guru negeri yang telah diperbantukan diambil dari sekolah tanpa konsultasi dengan yayasan penyelenggara sekolah bersangkutan.

Di samping itu, terjadi pula bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak mengenai sasaran.  Sekolah yang sebenarnya membutuhkan bantuan tidak menerimanya, sedangkan sekolah yang tidak atau kurang membutuhkan bantuan dapat memperolehnya.  Di sisi lain terjadi juga bantuan yang diberikan oleh Pemerintah tidak dipergunakan sesuai dengan maksudnya oleh penangung jawab sekolah yang bersangkutan.

3.     Akreditasi sekolah

Undang-undang RI Nomor 2 tahun 1989 pasal 46 menetapkan akreditasi berlaku bagi satuan pendidkan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun oleh Pemerintah.  Sebelum undang-undang tersebut terbit, akreditasi telah dan hanya berlaku untuk sekolah swasta.  Ketentuan tentang pelaksanaan akreditasi sekolah swasta diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 0200/C/Kep/1983, yang merupakan penjabaran dari Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0374/U/1982.

Tujuan dan sasaran akreditasi sekolah swasta yang digariskan dalam peraturan Menteri dan Direktur Jendaral tersebut, karena pelbagai kelemahan antara lain dalam hal instrumen, dana dan mekanisme selama ini belum dapat tercapai sepenuhnya.  Jumlah dan jenis satuan pendidikan yang diakreditasi baru meliputi beberapa SMP dan SLTA.  Begitu pula peningkatan mutu sekolah swasta melalui akreditasi belum dapat dikatakan berhasil.

Ketentuan mengenai pelaksanaan akreditasi baik untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta sesuai dengan undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan-Peraturan Pemerintah terkait sampai saat ini belum dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

4.     Pengawasan/penilikan sekolah

Pengawasan dan penilikan pada sekolah negeri maupun swasta yang berjalan selama ini belum mendukung usaha peningkatan mutu pendidikan dan belum dapat dilaksanakan secara merata, artinya belum menjangkau semua sekolah.

 

III.       KAJIAN MASALAH DAN KESIMPULAN

A.    Strategi Pembangunan Sektor Pendidikan

Strategi pembangunan diberbagai sektor pendidikan telah digariskan dalam TAP MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN menetapkan antara lain:

1.     Pembangunan daerah dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan potensi daerah.

Prakarsa dan partisipasi masyarakat serta pemerintah daerah dalam pembangunan didorong dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggung jawab (Bab IV, D. Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Umum, No. 25).

2.     Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluaga, masyarakat dan Pemerintah.

Pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih terpadu dan serasi, antara sekor pendidikan dan sektor-sektor lainnya, antara daerah serta antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan (Bab IV D. Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya, No. 2. a, d).

a.     Bercorak sentralistik

Sejak tahun 1973 melalui Instruksi Presiden, Pemerintah menambah fasilitas pendidikan dasar secara besar-besaran.  Ribuan SD Inpres yang dirancang lengkap dengan formasi ketenagaannya yakni kepala sekolah,  rumah dinas untuk guru-guru dan penjaga sekolah dibangun secara bertahap sampai di pelosok tanah air.  Berkat peluncuran program Inpres tersebut jumlah SD meningkat secara mencolok, peningkatan ini diikuti oleh peningkatan jumlah anak yang belajar di SD atau sejenis, kususnya anak-anak 7-12 tahun.  Sepuluh tahun kemudian, tahun 1983/1984, tercatat angka partisipasi murni pada SD (termasuk Madrasah Ibtidaiyah) 97,2% (Repelita V, Buku II Departemen RI, 1989).

Namun, dibalik keberhasilan dalam penambahan dan penyebaran fasilitas pendidikan dasar (SD), terdapat kelemahan-kelemahan yang di kemudian hari mengakibatkan kerugian bagi sebagian warga masyarakat.

Berikut ini beberapa contoh.  Program SD Inpres dirancang oleh pusat menurut pola SD konvensional, yang terdiri atas 6 kelas dengan 1 kepala sekolah dan beberapa guru kelas.  Bentuk SD tersebut untuk sementara daerah, misalnya pendalaman Irian Jaya dan Kalimantan, tidak cocok untuk kelompok penduduk yang hidup sebagai peladang atau perani berpindah-pindah dengan jumlah kecil.  Sebagai akibatnya beberapa SD kosong atau kekurangan siswa.  Bentuk satuan pendidikan dasar yang lebih cocok bagi mereka adalah SD Kecil atau SD dengan guru kunjung.

Kebutuhan guru di SD-SD Inpres yang bercorak konvensional ini di beberapa daerah sulit dipenuhi dengan tenaga putera-puteri daerah.  Untuk mengatasi permasalahan ini didatangkan guru-guru dari luar yang umumnya tidak memahami bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan hidup penduduk di tempat mereka bertugas.  Keterasingan dan kesepian membuat mereka tidak kerasan, sehingga meninggalkan tempat bertugas dan akibatnya terjadi kekosongan atau kekurangan guru di SD-SD tersebut.

Pengangkatan guru-guru dari putera-puteri daerah, yang disiapkan melalui pembibitan dan pembinaan secara baik dapat mendukung keberhasilan pendidikan daerah yang bersangkutan.

Corak sentralistik pengelolaan pendidikan juga nampak pada penyusunan dan penerbitan buku-buku paket pelajaran oleh pusat.  Buku pelajaran yang disusun oleh pusat dan menjadi pegangan resmi, di beberapa daerah di luar Jawa menimbulkan kesulitan dalam pemakaiannya, karena antara lain contoh-contoh dalam buku itu tidak dimengerti oleh peserta didik.  Pendistribusian buku-buku dari pusat juga merupakan masalah tersendiri.  Kesulitan atau kelangsungan transportasi menyebabkan buku tidak diterima sama sekali atau terlambat sekali diterima oleh sekolah.  Dengan demikian para peserta didik di daerah-daerah tersebut jauh tertinggal di bandingkan dengan rekan-rekan sebaya mereka di Jawa misalnya.

b.     Belum bertumpu pada asas tanggung jawab bersama

Masyarakat mempunyai peluang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dengan antara lain menyelenggarakan satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.  Peluang ini dijamin oleh Undang-undang RI Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 48.

Namun pada tahun-tahun terakhir ini banyak sekolah swasta yang menghentikan kegiatannya (tetap) dan sebagian lainnya mengalami penyusutan jumlah siswanya.  Keadaan ini tidak lepas dari penambahan kelas sore pada sekolah negeri, dan juga penambahan gedung-gedung sekolah baru yang lokasinya berdekatan dengan sekolah swasta.  Kenyataan ini dapat berdampak negatif pada masyarakat yakni menurunnya gairah untuk berpartisipasi dan berswasembada maupun berswakelola dalam pembangunan pendidikan.

c.      Kurang keterkaitan dengan sektor lain

GBHN 1988 menunjukkan strategi pembangunan pendidikan nasional dengan menyatakan “pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih terpadu dan serasi, baik antara sektor pendidikan dan lainnya, antara daerah maupun antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan.  Pernyataan ini juga mengandung isyarat bahwa penanganan pembangunan pendidikan yang lalu kurang terpadu dan serasi.

Pembangunan pendidikan pada dasarnya mempunyai keterkaitan dengan berbagai sektor maupun faktor di luar pendidikan.  Sektor-sektor tersebut antara lain industri, ketenagakerjaan, swasta, ikut mempengaruhi keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuannya.  Karena itu, dengan mengesampingkan salah satu atau beberapa sektor/faktor terkait, pencapaian tujuan pendidikan dapat terhambat bahkan gagal.

Dari pengamatan terhadap pelaksanaan pembangunan pendidikan di tanah air, ditemukan contoh ketidakterpaduan dan ketidakserasian antara lain sebagai berikut:

1)     Penyediaan tanah untuk pembangunan SD Inpres beberapa waktu lalu dilakukan Pemerintah Daerah.  Di beberapa daerah pemilihan lokasi tanah untuk SD Inpres kurang memperhatikan kemampuan siswa menjangkau lokasi tersebut, atau kehadiran SD-SD Swasta di sekitar lokasi SD Inpres.  Akibatnya adalah di satu sisi sebagian SD Impres kosong tidak ada siswa dan di sisi lain sebagian SD Inpres menyedot siswa-siswa SD swasta di sekitranya, sehingga SD-SD swasta tersebut terpaksa menghentikan kegiatannya.

2)     Jumlah satuan pendidikan Menengah Umum atau SMA dan Fakultas Noneksakta di Perguruan Tinggi yang didirikan lebih banyak daripada jumlah satuan pendidikan menengah kejuruan dan fakultas eksakta, sedangkan tenaga yang sangat dibutuhkan oleh dunia industri dari usaha adalah tenaga kejuruan dan tenaga ahli di bidang eksakta.  Satuan pendidikan menengah kejuruan yang didirikan di suatu daerah kadang-kadang tidak sesuai dengan macam kebutuhan tenaga atau pasaran kerja di daerah bersangkutan.  Dengan demikian terjadilah banyak pengangguran dari lulusan pendidikan menengah maupun sarjana non-eksakta.

 

B.    Mutu Pendidikan

1.     Garis-garis Besar Haluan Negara 1988-1993 menetapkan, “Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang pendidikan …”.  Peningkatan mutu meliputi empat aspek yaitu:  masukan-instrumental (gedung, sarana belajar, tenaga kependidikan, dana, pengelolaan), proses belajar mengajar, hasil belajar (NEM, lulusan), dan dampak pendidikan.

Berdasarkan pengamatan langsung pada kunjungan ke lapangan dari hasil dialog dengan masyarakat, diperoleh kesan umum bahwa aspek masukan-instrumental khususnya guru, buku dan dana masih terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pulau dan pulau lainnya, antara satu daerah dan daerah lainnya dalam satu pulau, dan dalam satu daerah antara satu kota dan bagian pinggiran atau pedalaman, daerah aliran sungai atau pegunungan.

Di daerah-daerah terpencil tersebut jumlah dan mutu guru tidak memadai, begitu pula jumlah buku pelajaran bagi siswa dan buku pegangan bagi guru tidak mencukupi.

Ketimpangan pada aspek  pertama tersebut berpengaruh sekali pada aspek-aspek lainnya, karena guru, buku dan dana merupakan faktor eksternal dan memegang peranan sangat penting dalam pencapaian mutu pendidikan.  Pemenuhan secara memadai kebutuhan ketiga faktor tersebut (dana, guru dan buku) banyak membantu, kendati belum memecahkan keseluruhan masalah pemerataan mutu pendidikan, khususnya jenjang pendidikan dasar.

2.     Berkenaan dengan guru, Garis-garis Besar Haluan Negara 1988-1993 memberikan amanat, ‘Pendidikan dan pembinaan guru serta tenaga pendidikan lainnya pada semua jenjang dan jenis pendidikan di dalam dan di luar sekolah perlu ditingkatkan dan diselenggarakan secara terpadu untuk menghasilkan guru dan tenaga pendidikan lainnya yang bermutu ..:”.

Pembinaan guru khususnya yang berkaitan dengan profesi guru, dapat berupa penataran, seminar, lokakarya, majalah profesi, dan lain-lainnya.  Selama ini, kegiatan pembinaan profesi guru yang cukup sering dilakukan adalah lewat penataran.  Akan tetapi kesan umum yang diperoleh adalah bahwa:

a.      Penataran guru baru ditempatkan sebagai proyek yang berjalan “musiman”, belum sebagai program terencana, berkesinambungan dan terpadu dalam pembinaan profesi guru khususnya dan pembinaan guru umumnya.

b.     Penataran musiman tidak membawa manfaat berarti bagi peningkatan atau pengembangan profesionalisme guru, malahan kadang-kadang ikut menghambat pemenuhan hari dan jam belajar sekolah.

c.      Penataran guru yang dilaksanakan selama ini ternyata belum menjangkau semua guru, dan

d.     Untuk mengisi ketimpangan penataran tersebut, peningkatan musyawarah guru bidang studi yang sudah berjalan selama ini dan penerbitan majalah profesi untuk para guru akan bermanfaat banyak.  Lewat cara-cara ini kesempatan para guru sekolah swasta ikut memperoleh pembinaan profesi juga lebih besar.

C.    Pengelolaan Satuan Pendidikan

1.     Pengaturan hari sekolah efektif merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan pendidikan nasional, dan dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku serta untuk mencapai tujuan satuan pendidikan maupun tujuan pendidikan nasional.  Apabila jumlah hari dan     jam belajar efektif, yaitu jumlah waktu belajar minimal yang dituntut, tidak terpenuhi, maka mutu pendidikan serta pengajaran sekolah yang bersangkutan akan berada di bawah standar dan tujuan pendidikan yang digariskan tidak tercapai.  Munurut hasil penelitian Pusat Penelitian Balitbang Dikbud, ada hubungan persuasif antara penggunaan waktu belajar secara optimal dengan hasil belajar siswa (Soeharini Soepangat dan kawan-kawan, 2988 hal 157).

Kegiatan-kegiatan yang menghambat pemenuhan jumlah hari dan jam belajar seringkali sulit dihindarkan atau ditolak oleh sekolah, karena dianggap sebagai perintah yang wajib dilaksanakan, misalnya:  pengerahan pelajar, penataran yang harus dihadiri guru-guru atau sebagian guru, rapat dinas dan lain-lain.  Termasuk sebagai faktor penghambat adalah ketidak- pastian guru untuk mengajar.

Karena itu, harus ada upaya optimal untuk menegakkan dan meningkatkan disiplin dari semua pihak, baik di dalam maupun di luar sekolah, untuk memenuhi ketentuan minimal hari dan jam belajar di sekolah.  Selain itu, patut pula diadakan pencegahan kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung bahkan menggangu kebijakan nasional dalam hal hari dan jam belajar sekolah.

2.     Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 36 ayat (3) menyatakan sistem “Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku”.  Sebelum lahirnya undang-undang tersebut telah ada Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1981 tentang pemberian bantuan kepada sekolah swasta.  Pasal 1 huruf c peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa bantuan dimaksudkan untuk membantu perkembangan dan peningkatan mutu pendidikan sekolah swasta. Pasal 10 dari peraturan Pemerintah yang sama menegaskan bahwa mutasi kepegawaian negeri sipil yang dipekerjakan pada sekolah swasta ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, dengan memperhatikan pertimbangan penyelenggaraan sekolah swasta yang bersangkutan.  Peraturan Pemerintah tersebut telah dijabarkan dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0375/U/1982 dan surat edaran direktur jendral pendidikan dasar dan menengah nomor 0324/C/C/85. 

Di dalam peraturan-peraturan tersebut telah dipaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh yayasan atau sekolah yang meminta dan menerima bantuan dan oleh aparatur pemerintah yang mengelola pemberian bantuan.  Muncul praktek pemberian atau pemanfaatan bantuan yang bertentangan dengan kebijakan nasional disebabkan oleh antara lain:

a.      Sebagian aparatur pemerintah tidak memahami hakikat sekolah swasta.  Keberadaan sekolah swasta didukung oleh:  yayasan, kepala sekolah, dan  orang-tua siswa.  Hubungan aparatur Pemerintah dengan sekolah swasta tidak dapat dibatasi dengan kepala sekolah saja melainkan harus mengikutsertakan yayasan, terutama kalau berkenaan dengan kepegawaian dan keuangan sekolah

b.     Sebagian aparatur Pemerintah memandang sekolah penerima bantuan seakan-akan sebagai bawahan, bukan sebagai pasangan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, seperti dinyatakan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional.

c.      Ada sebagian yayasan penyelenggara sekolah swasta atau kepala sekolah yang menetapkan usaha pendidikan sebagai usaha mencari keuntungan

d.     Proses pemberian bantuan sarat dengan beban administrasi dan birokrasi serta kurang terbuka dalam arti masyarakat sekolah tidak dapat mengetahui sekolah-sekolah yang mengajukan permintaan bantuan dan sekolah-sekolah yang dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonannya berikut alasannya.

3.     Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional pasal 46 menyatakan:

1)     Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala

2)     Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.

Penjelasan ayat (1) menyatakan “Penilaian meliputi segi-segi administratif, kelembagaan, tenaga kependidikan, kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, serta keadaan umum satuan pendidikan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat untuk menentukan akreditasi satuan pendidikan dan usaha pembinaan yang diperlukan.

Ketentuan akreditasi menurut undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dalam hal tujuan, komponen-komponen yang diakreditasi, sama dengan ketentuan akreditasi dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 0374/U1982 tentang pembinaan sekolah swasta dan dijabarkan dalam keputusan Direktur Jendaral Pendidikan Dasar dan Menegah Nomor 020/C/Kep/I 83.  Perbedaan terdapat pada sasaran akreditasi, yang tidak lagi terbatas pada sekolah swasta.  Begitu pula penyelenggara akreditasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Pasal 24 ayat (3) penyelenggara akreditasi adalah “suatu badan yang diangkat oleh menteri dan yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat”, bukan semata-mata aparatur Pemerintah. Peraturan Pemetintah Nomor 27 dan 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah dan Pendidikan Dasar tidak menyebutkan adanya penyelenggaraan akreditasi khusus untuk TK, SD, dan SLTP.

Menurut pengalaman lalu, personalia dari penyelenggara akreditasi memainkan peranan sangat penting, karena itu agar akreditasi dapat diselenggarakan secara objektif dan professional, dalam menentukan komposisi personalia badan akreditasi, selain adanya unsur Pemerintah dan masyarakat seperti ditentukan dalam peraturan Pemerintah, keahlian atau pengetahuan dan pengalaman memadai dari anggota badan dalam hal pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan terkait, patut diperhatikan.

Selain itu mengingat keanekaragaman situasi dan kondisi siswa, guru, fasilitas dan lain-lain dari sekolah-sekolah di Indonesia, penetapan standar tunggal secara nasional untuk semua komponen/sub komponen akreditasi, seperti yang selama ini berjalan, tidak realistik dan merugikan siswa-siswa sekolah di daerah pedalaman atau yang belum berkembang.  Untuk pembinaan sekolah, yaitu salah satu fungsi akreditasi, standar nasional akreditasi dibatasi untuk komponen-komponen/sub komponen yang sangat esensial bagi tercapainya tujuan pendidikan.

4.     Sistem pengawasan atau penilikan sekolah yang dijalankan selam ini bukan pengawasan/penilikan terhadap proses belajar mengajar atau segi edukatif, melainkan pengawasan/penilikan terhadap segi-segi fisik dan adminstratif.  Tiadanya penyiapan pengawas atau pemilik yang profesional dan rasio pengawas/penilik menyebabkan mereka itu sulit menjalankan tugas sebagaimana diharapkan.

 

IV.       SARAN PEMECAHAN MASALAH

 

A.    Strategi Pembangunan Sektor Pendidikan

1.     Dalam perencanaan pembangunan sektor pendidikan peranan dan wewenang daerah hendaknya makin ditingkatkan, sedangkan pusat lebih memfokuskan perhatian pada hal-hal yang sungguh berdimensi nasional.  Untuk peningkatan tersebut perlu disiapkan personalia di daerah tingkat I maupun tingkat II yang mampu membuat perencanaan pendidikan untuk daerahnya.

2.     Tanggung jawab pemerintahan di bidang pendidikan sangat luas, baik ditinjau dari segi jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diurus maupun dari segi wilayah tempat macam-macam pendidikan tersebut diselenggarakan.  Mengingat luasnya tanggung jawab dan mengingat pula keterbatasan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah, sangat realistik apabila pemerintah bersedia membagi peranan dalam penyelenggaraan pendidikan dengan masyarakat.  Berbagai peran yang dimaksudkan adalah pemerintah memberikan fokus perhatian pada penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan yang posisinya strategis bagi pengembangan bangsa dan pembangunan negara, misalnya pendidikan dasar dan pendidikan kejuruan di daerah tertentu di mana masyarakat atau sektor swasta tidak mempu menyelenggarakan.  Dengan memberikan fokus perhatian tidak berarti pemerintah akan melarang masyarakat menyelenggarakan pendidikan semacam itu.  Pemerintah membiarkan dan mendorong masyarakat menyelenggarakan jenis dan jenjang pendidikan lainnya, misalnya pendidikan menengah umum, keagamaan, luar sekolah, dan lain-lain.

Agar masyarakat berperan dalam pembangunan pendidikan, jiwa kegotongroyongan yang selama ini mampu menggerakkan mereka berswasembada dan berswakelola dibantu ditumbuh-kembangkan oleh Pemerintah.  Di pihak lain dalam mengelola sistem pendidikan nasional Pemerintah menerapkan kepemimpinan partisipasi, yang mampu mengadakan pendekatan persuasif dan mengembangkan musyawarah pada masyarakat.

3.     Koordinasi antar departemen yang sudah dirintis diteruskan dan makin ditingkatkan.

B.    Mutu Pendidikan

1.     Mengingat peran guru, buku dan dana operasional untuk penyelenggaraan pendidikan yang bermutu sangat esensial di satu pihak, dan keterbatasan sumber dana serta sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah di lain pihak, akan lebih realistik kalau Pemerintah memberikan fokus perhatian pada usaha pemerataan peningkatan mutu pendidikan dasar.

Mengenai kesulitan penempatan guru atau pembimbing untuk daerah terpencil, kemungkinan untuk mengatasinya antara lain dengan merekrut calon guru atau pembimbing setempat, pemberian kedudukan dan fasilitas menarik dalam sistim ke pangkatan, mutasi, imbalan kesejahteraan, kesempatan melanjutkan studi mereka.  Sedangkan kesulitan penyediaan buku pelajaran bagi siswa dapat diatasi antara lain dengan menggerakkan rasa kesetiakawanan siswa SD dan SLTP maju di kota-kota.  Mereka diminta mengirimkan buku-buku pelajaran yang tidak terpakai tetapi masih layak dipakai kepada rekan-rekan mereka di daerah terpencil tersebut.

2.     Penataran sebagai salah satu sarana pembinaan profesionalisme guru hendaknya dikelola semakin baik pelaksanaan dan tindak-lanjutnya, sehingga mutu pelaksanaan tugas guru mendidik dan mengajar di sekolah meningkat.  Penataran yang diselenggarakan oleh pemerintah hendaknya menjangkau semua guru, baik negeri maupun swasta. Penataran perlu dilengkapi dengan misalnya penerbitan majalah profesi, penyelenggaraan seminar, yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan bersama organisasi profesi guru atau oleh organisasi profesi guru sendiri.

C.    Pengelolaan Satuan Pendidikan

1.     Agar ketentuan minimal hari dan jam belajar terlaksana sebagaimana digariskan oleh Pemerintah, ada beberapa usaha yang dapat ditempuh, misalnya :

a.      Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri maupun bersama Departemen lain yang terkait menegakkan dalam menegaskan kembali ketentuan yang melarang kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu pemenuhan hari dan jam belajar di sekolah.

b.     Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengintensifkan pelaksanaan tugas pengawasan atau penilikan dari pengawas dan penilik, yang meliputi aspek administratif maupun edukatif, dengan menempatkan personalia yang tepat dan menambah dana operasional bagi mereka.

2.     Mengingat strategisnya fungsi bantuan pemerintah kepada sekolah swasta, yaitu menopang terselenggaranya pendidikan nasional yang bermutu oleh masyarakat, maka sudah selayaknya diupayakan agar penyaluran maupun pemanfaatan bantuan dapat terlaksana sesuai dengan kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah.  Bantuan dari Pemerintah hanya pelengkap.  Dengan bantuan tersebut tidak dimaksudkan supaya sekolah swasta terus tergantung pada Pemerintah, sebaliknya agar sekolah semakin mandiri dan mampu bersama-sama Pemerintah melaksanakan tanggung jawab dan peranannya dalam pendidikan nasional.

Beberapa kemungkinan usaha menyempurnakan penyaluran dan pemanfaatan bantuan, antara lain:

a.      Pemerintah mengusahan agar aparatur yang menangani bantuan kepada sekolah swasta mentaati Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan kedudukan sama kepada sekolah swasta dan sekolah negeri, dan peraturan-peraturan di bawah undang-undang tersebut yang menghargai hak dan tanggung jawab penyelenggara sekolah.

b.     Pemerintah menyederhanakan proses permohonan bantuan dengan misalnya mengurangi tuntutan administratif yang memberatkan penyelenggaraan sekolah swasta dan mengusahakan proses permohonan tingkat Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan supaya lebih terbuka daripada yang berjalan selama ini, dalam arti masyarakat mengetahui sekolah-sekolah yang dikabulkan maupuan yang ditolak permohonannya berikut alasannya.

c.      Jumlah anggaran bagi sekolah swasta agar ditingkatkan secara proporsional (melihat perbandingan antara jumlah sekolah swasta dan sekolah negeri yang sama jenjang dan jenisnya), mengingat siswa-siswa sekolah swasta adalah anak-anak pembayar pajak.

d.     Pemerintah bekerja sama dengan musyawarah perguruan swasta meningkatkan pembinaan yayasan penyelenggara sekolah swasta.

3.     Dalam rangka pembenahan dan peningkatan pelaksanaan akreditasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah yang terkait, tujuan akreditasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan hakekat akreditasi sebagai bagian integral dari upaya pembinaan patut mendapat perhatian khusus para perencana maupun pelaksana.  Selain itu, ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan, yakni:

a.      Pemberian bobot yang berbeda kepada setiap komponen/sub komponen.  Untuk komponen-komponen yang sangat esensial bagi tercapainya tujuan pendidikan ditetapkan standar nasional, sedang komponen-komponen/sub komponen yang kurang atau tidak esensial dapat ditetapkan standar regional (meliputi beberapa propinsi) atau lokal (meliputi satu propinsi).  Penilaian komponen/sub komponen tersebut hendaknya dititikberatkan pada fungsi dan kualitas penggunaannya.

b.     Agar melalui akreditasi sekolah dapat diperoleh diagnosa yang tepat mengenai keadaan dirinya sebenarnya, sehingga terdorong untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.

c.      Mengingat besarnya jumlah TK (36.190), SD (145.571), SLTP (20.334) Negeri dan Swasta *) serta jarak sekolah tersebut terpencar sampai ke daerah-daerah terpencil, penyelenggaraan akreditasi untuk satuan-satuan pendidikan tersebut, berkaitan dengan keperluan dana yang sangat besar, kiranya belum saatnya (dalam waktu dekat) dilaksanakan.  Untuk pembinaan sekolah-sekolah tersebut dapat ditingkatkan pelaksanaan pengawasan dan penilikan.

d.     Badan akreditasi hendaknya diupayakan dapat mandiri dalam pelaksanaan tugasnya dan dalam pendanaan kegiatannya serta tanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengangkatnya.  Para anggota dipilih dan diangkat dari orang-orang yang memiliki keahlian atau pengetahuan dan pengalaman memadai dalam hal pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan terkait, dari unsur masyarakat maupun pemerintah.

4.     Rasio jumlah pengawasan atau penilik dengan sekolah disesuaikan dengan kondisi geografis tempat seolah berada.  Para pengawas dan penilik dipersiapkan sungguh-sungguh sehingga mereka mampu menjalankan profesi pengawasan/penilik.  Selain itu, dana operasional untuk mendukung pelaksanaan tugas mereka ditingkatkan.

 

V.         KESIMPULAN

A.    Pembangunan sektor pendidikan sejak dari perencanaan sampai ke pelaksanaan diharapkan:

1.     Memperhatikan dan memperhitungkan adanya kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda dari satu dan lain daerah di Indonesia, sehingga tingkat perkembangan kemajuan di sektor pendidikan antara daerah tidak berbeda secara mencolok.

2.     Bertumpu pada azas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah seperti tercantum di dalam GBHN 1983 dan 1988.

3.     Memperhatikan dan memperhitungkan kaitannya dengan sektor-sektor lain, termasuk kecenderungan perkembangan dari sektor-sektor tersebut.

 

B.    Keberhasilan pembangunan sektor pendidikan secara kuantitatif perlu diimbangi dengan keberhasilan secara kualitatif.  Upaya mewujudkan peningkatan mutu pendidikan secara merata di semua daerah hendaknya dilakukan dengan pembagian beban antara Pemerintah dan masyarakat dan dengan urutan prioritas dalam penanganannya, misalnya prioritas pertama pada pendidikan dasar.  Upaya tersebut perlu ditopang oleh usaha-usaha penyelenggaraan dan peningkatan kemampuan profesional guru, khususnya melalui penataran yang pengelolaannya perlu dibenahi.

C.    Pengelolaan pendidikan yang dilaksanakan secara tepat dan baik mendukung tercapainya tujuan tiap jenjang serta jenis pendidikan khususnya.  Berkenaan dengan pengelolaan pendidikan tersebut, ada sekurang-kurannya 4 (empat) hal yang memerlukan pembenahan, sebagai berikut:

1.     Ketidaktaatan dari para penanggung- jawab pendidikan dan semua pihak yang terkait dalam melaksanakan pemanfaatan sebaik-baiknya hari-hari belajar efektif di sekolah.

2.     Ketidaktaatan dari sementara aparatur Pemerintah yang menangani bantuan kepada sekolah swasta kepada ketentuan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dan peraturan di bawahnya yang menghargai hak dan tanggung jawab penyelenggara sekolah swasta, prosedur yang rumit, belum masuknya sejumlah bantuan yang proporsional dalam anggaran negara, dan kontrol terhadap pemanfaatan bantuan dari penerima bantuan yang kurang bertanggung- jawab.

3.     Saran akreditasi yang masih terbatas pada sekolah swasta, belum adanya kemungkinan standar lain misalnya standar regional (meliputi beberapa propinsi) di samping standar nasional, titik berat penilaian pada segi administratif, dan belum ada badan akreditasi.

4.     Rasio pengawasan/penilik dan sekolah yang belum selesai dengan kondisi geografis yang berbeda-beda, kemampuan profesional pengawas/penilik yang umumnya kurang memadai dan jumlah dana operasional untuk pengawas/penilik yang sangat kurang memadai.

 

KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN

KEMBALI KE MENU UTAMA