BAB I: PENDAHULUAN
Pembangunan nasional tidak hanya bertujuan untuk mencapai suatu masyarakat yang serba maju dan
modern dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih jauh dari itu, yakni merupakan upaya yang
harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan meliputi segenap aspek kehidupan guna meningkatkan
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat dan
nilai-nilai luhur bangsa serta nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Oleh karena itu, kebijakan
pembangunan nasional di masa depan hendaknya menempatkan manusia sebagai sumber daya
pembangunan yang utama dan terpenting serta diarahkan untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa
Indonesia yang tinggi kualitasnya, tangguh, mampu mandiri, demokratis, dan meningkat kesejahteraannya,
sehingga memiliki derajat yang sama dengan masyarakat dan bangsa lain.
Keinginan dan harapan tersebut dapat diwujudkan apabila segenap komponen bangsa menyadari bahwa
pendidikan amatlah penting dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia yang menjadi
handalan masa depan. Dengan demikian diharapkan pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian
serta dukungan yang sangat diperlukan dalam melakukan usaha-usaha pembaruan dan penyempurnaan
sistem pendidikan nasional.
Secara filosofis, pendidikan nasional tidak hanya menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, cakap,
kreatif dan produktif, tetapi juga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, berkepribadian bangsa, serta memiliki sikap dan semangat kejuangan yang tinggi untuk
membela kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pendidikan hendaknya mampu membentuk sikap
dan perilaku masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menghargai kemajemukan budaya dan
perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat Indonesia, menghargai nilai-nilai budaya yang baik dari
bangsa lain, serta mampu memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nasional.
Upaya pendidikan yang dilaksanakan, selain mengacu pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dan semangat
yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga harus mencerminkan berbagai
perubahan dan tuntutan masyarakat tentang perlunya reformasi, demokratisasi, transparansi, dan kejujuran
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perubahan dan tuntutan tersebut berkaitan
dengan kemauan yang kuat untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang makin sejahtera,
berkeadilan, tangguh, dan mampu mengatasi tantangan-tantangan baru di masa depan, baik yang bersifat
regional, nasional, maupun global.
Pendidikan nasional yang diselenggarakan selama ini, secara kuantitas, telah memberikan pengaruh yang
cukup positif dalam perkembangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Namun, dinilai dari segi kualitas,
hasil pendidikan kita ini belum mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi. Oleh
sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera dilakukan upaya-upaya pembaruan dan penyempurnaan yang
menyeluruh, terpadu, dan bersifat strategis terhadap sistem pendidikan nasional kita.
Berkenaan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas serta perlunya mengambil langkah-langkah yang
bersifat mendesak dan konkrit, maka dalam perumusan Saran Pertimbangan ini, BPPN memfokuskan
pembahasannya pada upaya pembaruan dan penyempurnaan Sistem Persekolahan nasional pada Jalur
Sekolah. Selain itu, ditekankan pula pentingnya dikembangkan budaya pendidikan yang baru yang
memungkinkan para penentu kebijakan dan pengelola pendidikan memainkan peran masing-masing secara
bertanggung jawab dalam mendukung proses pembaruan dan penyempurnaan yang hendak dilakukan
sesuai dengan perkembangan nasional dan global di masa depan.
Selanjutnya, sistematika pembahasan dan isi dari Saran Pertimbangan ini secara umum meliputi
tantangan, masalah, dan hambatan yang dihadapi, pembahasan mengenai hal-hal pokok berkenaan dengan
pembaruan dan penyempurnaan sistem persekolahan, termasuk manajemen pendidikan, saran
pertimbangan, serta kesimpulan dan penutup.
BAB II: TANTANGAN, MASALAH, DAN
HAMBATAN
Upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional akan terlaksana dengan baik apabila
berbagai tantangan, masalah, dan hambatan yang dihadapi dapat diatasi secara cepat dan tepat atau
sejauh mungkin dikurangi dampaknya yang merugikan. Banyak kebijakan nasional yang telah ditetapkan
berkenaan dengan semangat reformasi, demokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi serta keharusan
Indonesia untuk memasuki era AFTA dan persaingan global membawa pengaruh yang sangat besar bagi
dunia pendidikan.
A. Tantangan
Banyak tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia, baik di tingkat daerah dan nasional, maupun
dalam kehidupannya sebagai warga dari masyarakat dunia.
1. Pada tingkat propinsi dan daerah otonom kabupaten/kota, tantangan-tantangan yang dihadapi terutama
berhubungan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia serta kurang tersedianya sumber
daya pembangunan lainnya, termasuk untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Di satu
pihak, pemerintah dan masyarakat di daerah-daerah harus melaksanakan Undang-Undang (UU)
Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999, sedangkan di lain pihak, terdapat
kekhawatiran bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diberikan yang belum didukung
sumber daya manusia yang bermutu, termasuk di bidang pendidikan, akan menghasilkan sikap
primordial dan semangat kedaerahan yang sempit, serta menimbulkan berbagai masalah yang
lebih kompleks di masa depan.
2. Secara nasional tantangan-tantangan yang dihadapi sangat terkait dengan kemauan pemerintah untuk
secara sungguh-sungguh dan konsisten melaksanakan reformasi, demokratisasi, serta
pendelegasian wewenang, dan distribusi sumber daya pembangunan secara adil dan merata. Di
bidang pendidikan, selain perlu segera dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan
nasional, maka masalah manajemen, koordinasi antardepartemen terkait di pusat dan antara
pemerintah pusat dan daerah, standarisasi mutu, struktur ketenagakerjaan yang tidak berimbang,
serta anggaran pendidikan yang sangat kecil merupakan tantangan yang perlu diatasi.
3. Secara global, tantangan-tantangan yang dihadapi antara lain berkaitan dengan perkembangan IPTEK
yang amat cepat, arus informasi dan komunikasi yang sangat cepat di bidang perdagangan dan
industri, serta tuntutan ketenagakerjaan. Tantangan lain berkaitan dengan kecenderungan
perubahan pada sikap dan pandangan generasi-generasi mendatang terhadap nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia sebagai akibat dari hubungan antarbangsa dan interaksi sosial antarmanusia
yang sangat intensif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, perlu
mengantisipasi persaingan yang amat ketat di dalam menghasilkan kecakapan-kecakapan yang
sungguh-sungguh diperlukan dan berorientasi pada kebutuhan pasar, baik lokal dan nasional
maupun internasional.
B. Masalah
Berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi dalam menata ulang sistem pendidikan nasional,
khususnya sistem persekolahan, dan bersifat mendesak untuk ditanggulangi meliputi:
1. Jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Pembagian jenjang yang ada sekarang yaitu pendidikan dasar
yang meliputi SD dan SLTP serta pendidikan menengah, ditinjau dari perkembangan peserta
didik, perkembangan zaman, dan tuntutan pembangunan kurang relevan. Demikian pula pemilahan
jenis pendidikan pada jalur pendidikan sekolah yang meliputi pendidikan umum, kejuruan, luar
biasa, kedinasan, keagamaan, akademik, dan profesional kurang sesuai untuk dapat menjawab
tuntutan serta kebutuhan di masyarakat dan kepentingan nasional.
2. Sumber daya pendidikan, khususnya guru, belum memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh untuk
ditingkatkan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya. Keadaan ini terkait pula dengan pola
rekrutmen, pendidikan, pembinaan, dan sistem penghargaan yang kurang sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
3. Paradigma dan budaya pendidikan yang berorientasi pada kepentingan pemerintah menyebabkan
tujuan dan sasaran pendidikan nasional belum cukup menyentuh kebutuhan masyarakat dan
pembangunan yang mensyaratkan output pendidikan yang bermutu, berdaya guna, dan berhasil
guna. Sebagai akibatnya kebijakan yang bersifat top down, beban mengajar dan belajar yang
terlampau besar, serta keseragaman pola pembinaan dan penilaian hasil belajar menambah
kesulitan bagi para penyelenggara pendidikan di lapangan guna memacu perbaikan proses
pembelajaran dan peningkatan mutu.
4. Sebagai salah satu akibat dari permasalahan yang terkait dengan budaya pendidikan yang disebutkan
pada butir 3, maka pola dan prinsip-prinsip manajemen yang dipraktekkan dalam mengelola
pendidikan, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan, pada umumnya bersifat konvensional.
Manajemen pendidikan belum mengacu pada prinsip-prinsip manajemen modern yang sesuai
dengan tuntutan reformasi, demokratisasi, keterbukaan, dan otonomisasi, selain menyesuaikan
dengan perkembangan IPTEK dan perubahan lingkungan, baik lokal, nasional maupun global.
5. Peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa, dalam memelihara hubungan kemitraan dan
kekeluargaan dengan para guru, kepala sekolah, serta pimpinan lembaga pengelola pendidikan
belum cukup memadai. Sebagian besar masyarakat Indonesia kurang menyadari perannya yang
sangat menentukan dalam menunjang upaya-upaya pendidikan yang dilakukan.
6. Peran asosiasi profesi pada berbagai bidang keilmuan untuk ikut membina, menjamin, dan
meningkatkan standar mutu pendidikan nasional, terutama di lingkungan pendidikan tinggi, belum
dilakukan secara intensif, terarah, dan berdaya guna. Hal ini antara lain disebabkan perhatian dan
dukungan yang tidak memadai dari pemerintah dan masyarakat dalam mengimplementasikan
hasil-hasil kajian dari organisasi profesi tersebut.
7. Belum memadainya anggaran untuk pendidikan yang disediakan oleh pemerintah merupakan salah
satu masalah utama yang menyebabkan terhambatnya upaya-upaya yang dilakukan untuk
memperbaiki sistem pendidikan, proses belajar-mengajar di sekolah, serta meningkatkan mutu
sumber daya manusia Indonesia. Kebijakan nasional dan kemauan politik dari pengelola
pemerintahan dan DPR RI selama ini belum mencerminkan kesungguhan bangsa kita untuk
meningkatkan anggaran pendidikan secara signifikan menyebabkan makin merosotnya mutu
pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.
C. Hambatan
Tantangan dan masalah yang dikemukakan di atas bersifat mendasar dan mendesak sehingga
memerlukan perhatian serta partisipasi dari semua pihak untuk mencarikan pemecahannya. Dengan
demikian diharapkan tantangan dan masalah tersebut tidak menghambat berbagai upaya pembaruan
dan penyempurnaan yang hendak dilakukan.
Sejumlah hambatan yang dialami pada saat ini dan dalam beberapa tahun ke depan meliputi, antara
lain:
1. Hambatan yang bersifat legal yang berkaitan UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan berbagai Peraturan Pelaksanaan yang sebagian isinya tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman. Semangat reformasi, demokratisasi, dan keterbukaan, serta
pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 mengharuskan dilakukannya penyesuaian dan perubahan terhadap
perangkat perundang-undangan di bidang pendidikan.
2. Sikap ego sektoral dan mental sebagian pejabat pengambil keputusan pada instansi pemerintah
tingkat pusat dan propinsi yang memerlukan perubahan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
paradigma dan budaya pendidikan yang baru serta mendukung para pelaksana pendidikan di lapangan.
3. Kondisi riil masyarakat Indonesia yang multi-suku, multi-budaya dan bahasa, dan multi-agama
dengan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi merupakan hambatan yang juga memerlukan perhatian
khusus dalam menentukan kebijakan baru di bidang pendidikan.
4. Faktor geografis dan persebaran penduduk yang tidak merata merupakan kendala lain yang selama
ini kurang diperhatikan pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pendidikan. Sebagai akibatnya
terjadi kesenjangan yang sangat besar antara hasil pendidikan di Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya
di Indonesia dan di daerah-daerah yang jauh dan terpencil.
5. Faktor kemampuan ekonomi orangtua dan masyarakat yang masih lemah belum cukup menunjang
upaya bersama untuk memajukan pendidikan. Kondisi ini menyebabkan banyak anak usia sekolah tidak
dapat belajar serta mereka yang sudah berada di sekolah atau kampus perguruan tinggi sulit melanjutkan
pendidikannya.
6. Kebijakan pemerintah tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan yang belum
diikuti dukungan yang signifikan berkaitan dengan bantuan pembiayaan, tenaga pengajar, dan fasilitas lain
untuk memperlancar proses belajar-mengajar di sekolah, terutama berkaitan dengan wajib belajar.
7. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang dikelola oleh IKIP dan FKIP di sejumlah
universitas yang memerlukan orientasi visi, misi, dan kurikulum, serta kemungkinan perubahan struktur
organisasi dan pola penanganan yang baru merupakan hambatan kelembagaan dan birokrasi yang perlu
segera diatasi.
BAB III: PEMBARUAN DAN PENYEMPURNAAN
SISTEM PERSEKOLAHAN
Mengacu pada tantangan, masalah, dan hambatan yang secara umum disebutkan dalam Bab II, maka pada
bagian ini akan dibahas sejumlah hal yang berkenaan dengan upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem
pendidikan nasional yang secara khusus difokuskan pada Sistem Persekolahan. Dalam kaitan ini maka,
dengan menyoroti perubahan paradigma pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, BPPN mengangkat
dua aspek yang bersifat mendasar dan strategis yakni: A. Struktur dan Sistem Penjenjangan pada Jalur
Pendidikan Sekolah dan B. Manajemen Pendidikan. Masing-masing aspek mencakup sejumlah komponen
penting yang juga memerlukan perhatian yang memadai.
A. Struktur dan Sistem Penjenjangan Sekolah
Kebijakan nasional bidang pendidikan tentang Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan penjabarannya pada Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1990, yakni Pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 (sembilan) tahun, terdiri
atas program pendidikan 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar dan program pendidikan 3 (tiga) tahun di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sangatlah ideal dan bertujuan baik. Namun, dari perkembangan
pendidikan secara nasional yang terpantau dan diketahui selama ini dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya program wajib belajar 9 tahun terlampau dipaksakan terutama demi pertimbangan
politis dan tekanan pasar tenaga kerja global dengan mengabaikan faktor-faktor riil yang dihadapi
bangsa Indonesia. Lagi pula sesungguhnya belum diketahui secara benar tingkat keberhasilan dari
pelaksanaan program Wajib Belajar 6 Tahun dengan memperhatikan aspek mutu, relevansi, efisiensi,
dan kemampuan pembiayaan, dan tidak hanya aspek pemerataan.
Faktor-faktor riil yang hendaknya diperhatikan, antara lain:
1. Tingkat perkembangan sosial-budaya dan kesadaran masyarakat yang sangat beragam tentang
pentingnya pendidikan sebagai hak asasi tiap warga negara sehingga setiap anak usia 7-15 tahun wajib
disekolahkan;
2. Tingkat perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang tidak merata antara daerah perkotaan dan
daerah pedesaan untuk mendukung kebijakan tersebut;
3. Desakan kebutuhan ekonomi keluarga yang menyebabkan banyak anak usia wajib belajar tidak dapat
melanjutkan pendidikan setelah lulus tahap sekolah dasar, bahkan terpaksa putus sekolah;
4. Kesiapan dan kemampuan institusi pendidikan oleh pemerintah daerah dan swasta serta lembaga
sekolah untuk menerapkan kebijakan yang bersifat nasional tidak sama;
5. Kemampuan keuangan pemerintah yang sangat terbatas untuk membiayai program wajib belajar 9
tahun, terbukti dari besarnya anggaran pendidikan selama ini yang berada di bawah 10%.
Selain itu pula, ternyata dari jumlah siswa SD/MI (7-12 tahun) pada tahun 2000 sebanyak
28.389.957 juta orang, 3,38% (tidak termasuk MI) putus sekolah, sedangkan yang tidak melanjutkan
ke tahap berikutnya sebanyak 23,50%. Selanjutnya, dari jumlah siswa SLTP/MTs. (13-15 tahun)
sebanyak 10.185.794 orang, angka putus sekolah tercatat 4,04%, sedangkan yang tidak melanjutkan
ke SLTA adalah 34,4%.
Hal lain yang penting pula untuk diperhatikan adalah perkembangan intelektual anak. Hendaknya
sejak dini diberikan kesempatan yang sama dan adil bagi setiap anak Indonesia untuk mengembangkan
diri dengan tanggung jawab utama pemerintah. Untuk itu perhatian khusus harus diberikan kepada
upaya pendidikan formal yang mencakup pula Taman Kanak-kanak (TK) yang selama ini lebih
banyak dikelola oleh masyarakat di daerah perkotaan. Data 1999/2000 menunjukkan bahwa 41.092
TK dikelola oleh masyarakat dan hanya 225 TK dibina oleh Pemerintah.
Mengingat sangat pentingnya fase pendidikan ini dan perlunya pemerintah memberikan perhatian yang
merata dan adil kepada semua anak Indonesia dari kota hingga ke daerah pedesaan, maka TK harus
dimasukkan ke dalam sistem pendidikan sekolah sebagai bagian dari pendidikan dasar. Secara faktual
terbukti bahwa lulusan TK yang melanjutkan pendidikan ke SD lebih siap untuk mengikuti pelajaran
dibandingkan yang tidak pernah melalui tahapan ini. Karena itu, merupakan kewajiban pemerintah,
khususnya pemerintah daerah, untuk mengambil alih tanggung jawab dalam pengelolaan dan
pembiayaan TK dengan mengikutsertakan pihak masyarakat secara bertahap sesuai kesiapan di daerah
masing-masing.
Struktur penjenjangan pada level pendidikan SLTA dan perguruan tinggi juga belum mencerminkan
kondisi nyata dalam masyarakat Indonesia, terutama berkenaan dengan kemampuan-kemampuan
akademik, keahlian khusus, dan tingkat keprofesionalan yang hendak diraih oleh peserta didik.
Sebagai akibatnya, antara lain, terdapat ketidakjelasan tingkat keahlian serta variasi sebutan lulusan
pendidikan pada jenjang pendidikan non gelar dan pendidikan bergelar. Lebih jauh lagi, sebagian
masyarakat Indonesia masih cenderung memanfaatkan situasi ini untuk mengejar gelar demi status
sosial tanpa menghiraukan etika keilmuan sehingga semakin memperburuk wajah pendidikan nasional
kita.
Berkenaan dengan jenis pendidikan (umum dan kejuruan) pada jalur pendidikan sekolah, walaupun
sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990, namun pada kenyataannya masih
terdapat kesulitan dalam mengalihkan perhatian para siswa lulusan SLTP untuk memasuki jenis
pendidikan selanjutnya, yakni ke SMU atau ke SMK sesuai dengan minat, bakat, dan lingkungan
sosial-ekonomi para siswa. Belum meratanya jenis-jenis pendidikan kejuruan yang bermutu yang
disediakan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan swasta, yang cenderung lebih mahal,
juga menyebabkan sebagian warga Indonesia kurang menghargai pendidikan kejuruan atau profesi yang
justru lebih dibutuhkan dalam memasuki pasaran kerja.
Kondisi seperti tersebut di atas sudah tentu kurang mendukung upaya bangsa Indonesia untuk
mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia yang terampil, ahli dan profesional di masa depan.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di depan serta mengacu pada berbagai diskusi yang dilakukan
dengan pihak-pihak terkait di bidang pendidikan serta hasil dialog saat melakukan kunjungan ke
sekolah dan perguruan tinggi di daerah, maka BPPN mengajukan suatu usul perubahan yang cukup
signifikan terhadap struktur dan sistem penjenjangan pada jalur pendidikan sekolah menurut UU
Nomor 2 Tahun 1989 serta kebijakan pelaksanaannya. Pengalaman yang diperoleh dari kunjungan ke
beberapa negara tetangga juga digunakan sebagai bahan perbandingan.
Mengingat perkembangan nasional dan internasional di masa depan, perlu dilakukan upaya terobosan
yang baru dalam memajukan pendidikan nasional. Usul Perubahan Struktur Penjenjangan pada Jalur
Sekolah pada Bagan di halaman 19 merupakan suatu pemikiran alternatif yang seyogianya
dipertimbangkan, terutama dengan dilakukannya upaya perubahan terhadap UU Nomor 2 Tahun 1989
pada saat ini.
Mencermati perubahan dan penyempurnaan yang disarankan, maka struktur dan jenjang pendidikan
formal yang dikehendaki meliputi:
1. Pendidikan dasar (8 tahun) terdiri atas Taman Kanak-kanak (2 tahun) dan Sekolah Dasar (6 tahun)
yang ditempuh secara berkesinambungan. Namun demikian, metode pembelajaran pada Taman
Kanak-kanak (TK) tetap memperhatikan tahap perkembangan psikologi anak. Untuk itu pendidikan TK
yang berlangsung dua tahun harus menjadi bagian dari wajib belajar pendidikan dasar. Dengan demikian
terdapat tahap evaluasi dan terminal pertama pada akhir pendidikan dasar 6 tahun untuk memasuki jenjang
pendidikan selanjutnya di mana terdapat 2 pilihan jenis pendidikan, yakni Sekolah Menengah Yunior dan
Sekolah Menengah Yunior Kejuruan.
2. Pendidikan menengah, terdiri atas: a) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah
Menengah Yunior (SMY) yang dapat bersifat umum dan kejuruan. Lamanya pendidikan untuk SMY
Umum adalah 3 tahun, sedangkan pendidikan pada SMY Kejuruan dapat ditempuh dalam 3 tahun atau 4
tahun. b) Sekolah Menengah Senior dapat bersifat umum dan kejuruan. Pendidikan pada Sekolah
Menengah Senior Umum (SMSU), yang merupakan jenjang pendidikan untuk mempersiapkan para siswa
memasuki pendidikan yang bersifat akademik, ditempuh selama 3 tahun, sedangkan untuk Sekolah
Menengah Senior Kejuruan (SMSK) diperlukan waktu 3 hingga 4 tahun yang bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik yang akan memasuki dunia kerja.
3. Pendidikan tinggi, yang merupakan tahapan pendidikan setelah pendidikan menengah, mempunyai dua
aliran, yaitu pertama, pendidikan tinggi yang mengarah kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang
terdiri atas Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas, dan kedua, pendidikan tinggi yang menghasilkan
tenaga profesional yang terdiri atas Akademi dan Politeknik/ Program Diploma.
Dengan sistem penjenjangan yang diusulkan, maka evaluasi hasil belajar dilakukan pada akhir tahun
ke delapan pendidikan dasar, pada akhir pendidikan tingkat SMY, dan pada akhir pendidikan
menengah senior untuk memungkinkan para lulusan SMSK serta lulusan SMSU yang tidak memiliki
minat yang tinggi dan/atau tidak memiliki kemampuan akademik yang sesuai untuk melanjutkan
pendidikan dapat memasuki dunia kerja yang relevan. Proses seleksi yang dilakukan pada akhir tahun
kedua SMSU bertujuan untuk mengarahkan para siswa memilih bidang minat yang benar-benar sesuai
dengan bakat dan kemampuan mereka. Dengan demikian diharapkan, pada tahun ketiga, para siswa
akan menekuni dan mendalami mata-mata pelajaran yang sesuai pula sehingga dapat memiliki bekal
pengetahuan yang dipersyaratkan untuk melanjutkan ke tahap pendidikan akademik di Universitas,
Institut, dan Sekolah Tinggi atau mengikuti pendidikan pada lembaga Politeknik dan Program Diploma
yang akan menghasilkan tenaga-tenaga yang ahli dan profesional dalam bidang tertentu. Oleh karena
itulah diperlukan ketegasan dan keterbukaan dari Kepala Sekolah dan para guru SMSU untuk
membicarakan hal-hal tersebut dengan para orang tua siswa sehingga terdapat pengertian yang benar
mengenai pendidikan yang tepat bagi putra-putrinya. Selanjutnya, evaluasi hasil belajar setelah 1 tahun
pra-universitas dan 1-3 tahun program non-gelar merupakan tahap kedua seleksi dan arahan bagi para
lulusan untuk melanjutkan pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan atau memilih
untuk menekuni bidang profesi tertentu.
Penegasan tentang kebijakan dan proses seleksi sebagaimana dikemukakan merupakan bagian yang
penting dari seluruh upaya untuk meningkatkan serta menjamin mutu hasil pendidikan tinggi bangsa
Indonesia di masa depan.
Usulan tentang perubahan struktur dan sistem penjenjangan sekolah tersebut secara langsung akan
berpengaruh terhadap UU Nomor 2 Tahun 1989 dan peraturan pelaksanaan yang terkait. Berbagai
komponen pendidikan yang penting dan terkait dengan usul perubahan pada struktur dan sistem
penjenjangan ini adalah, antara lain:
1. Kurikulum
Kurikulum pendidikan tidak hanya mencakup materi atau isi pelajaran, namun juga berisi tujuan,
karakteristik peserta sebagai masukan, metode, dan cara evaluasi. Kurikulum Sekolah Kejuruan
hendaknya memberikan bobot yang lebih besar untuk kurikulum institusional sehingga para
lulusan dapat langsung bekerja. Sejumlah Memorandum Pandangan BPPN 1993-1999 yang telah
disampaikan kepada Pemerintah dan berhubungan dengan pengembangan nilai-nilai sejarah,
budaya, demokrasi, moral dan budi pekerti, serta pemantapan pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa dan pengembangan IPTEK dapat dijadikan acuan yang penting.
Di samping itu, mengingat kondisi daerah yang beragam serta kemungkinan adanya keinginan
anggota masyarakat di daerah untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi yang lebih
baik, maka kurikulum inti dengan standar nasional masih diperlukan. Kurikulum institusional
dengan standar lokal dapat dikembangkan dan berlaku untuk anggota masyarakat yang berada di
daerahnya, yang sepenuhnya dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan para
pakar dan pengelola pendidikan yang terkait sehingga hasil pendidikan yang dicapai relevan
dengan kebutuhan.
Mengacu pada uraian mengenai pentingnya pemantapan proses seleksi untuk memasuki
pendidikan tinggi, maka dianjurkan agar mata pelajaran sains dan matematika tetap diajarkan
kepada para siswa Kelas III IPS-Bahasa di SMSU. Sebaliknya, para siswa yang memilih bidang
minat atau jurusan IPA dan Matematika tetap mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Sedangkan pada program satu tahun, pra-universitas, kurikulum bersifat umum
dan pendalaman bidang minat dengan penambahan pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
2. Program
Mengacu pada konsep struktur dan jenjang persekolahan yang diusulkan, maka jenis pendidikan
kejuruan pada SLTP/SMY dengan program keterampilan di bidang keteknikan (ST), pertanian
(SPP), perikanan (SP), dan jenis yang lain sesuai dengan potensi di daerah dan peluang kerja
hendaknya diadakan. Demikian pula kebijakan untuk membuka program pendidikan kejuruan
pada jenjang sekolah menengah (SMU/SMSU) dan pendidikan tinggi haruslah didasarkan pada
kebutuhan riil serta upaya penyiapan sumber daya manusia yang diperlukan dalam mengelola
sumber daya ekonomi yang tersedia di daerah di samping untuk mengantisipasi persaingan tenaga
kerja secara nasional dan global.
3. Peserta Didik
Lulusan pendidikan yang bermutu, selain sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilalui,
kurikulum dan isi materi belajar yang digunakan, serta lingkungan belajar yang kondusif, juga
bergantung dari tingkat kemampuan intelektual, minat, dan motivasi calon peserta didik. Dalam
kaitan itu, maka sistem seleksi yang tepat yang dilakukan terhadap para lulusan tiap jenjang
sekolah untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya merupakan prasyarat yang penting.
4. Sumber Daya Pendidik
Pendidik atau guru merupakan komponen yang amat strategis dari semua sumber daya pendidikan
yang diperlukan. Mengingat peran yang sangat penting dan menentukan yang dimainkannya, maka
upaya untuk mendidik dan menyiapkan calon pendidik atau guru memerlukan penanganan yang
serius.
Dalam kaitan dengan pentingnya mempersiapkan tenaga kependidikan yang ahli, profesional, dan
berdedikasi tinggi, diperlukan kebijakan yang baru mengenai pola dan sistem rekrutmen yang
tepat bagi tenaga pengajar pada semua jenjang, lamanya pendidikan bagi calon guru pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, standar penghasilan dan hak-hak guru, serta penghargaan yang
wajar terhadap profesi guru.
B. Manajemen Pendidikan
Keberhasilan dalam upaya pembaruan dan penyempurnaan pendidikan nasional termasuk pelaksanaan
proses belajar-mengajar di sekolah atau ruang kelas, sangat ditentukan oleh organisasi dan manajemen
yang didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari para pengelola di semua jenjang pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka dalam kondisi perubahan yang amat cepat serta kompleksitas masalah
pendidikan yang akan dihadapi berkenaan dengan dilaksanakannya otonomi daerah/ desentralisasi
pembangunan, maka prinsip-prinsip manajemen modern seperti koordinasi, kerja sama, networking,
dan profesionalisme, serta kebijakan politik pemerintah pada tingkat departemen dan pemerintah
daerah merupakan faktor yang amat penting untuk diperhatikan. Setelah terjadi reformasi dan adanya
usaha untuk mewujudkan pemerintahan dengan sistem politik yang demokratis, maka diperlukan
perubahan dalam manajemen dan kepemimpinan pendidikan pada Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah diubah namanya menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Konsekuensi dari pemerintahan atas landasan demokrasi di Indonesia adalah bahwa Depdiknas
dipimpin oleh pejabat politik yang mempunyai tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan
pendidikan nasional. Dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menentukan garis-garis
besar politik pendidikan sebagai bagian integral dari politik pemerintah. Karena politik pendidikan
harus diwujudkan sebaik-baiknya untuk mendukung kebijakan pemerintah secara keseluruhan, maka
setiap kegiatan yang terkait hendaknya diselenggarakan secara profesional sehingga, di samping kaum
politik yang memimpin Depdiknas, diperlukan kaum profesional dalam bidang pendidikan. Dengan
demikian, seluruh jajaran profesional dalam Depdiknas seyogianya dipimpin oleh pejabat profesional
tertinggi yang bertanggung jawab kepada Mendiknas. Hubungan harmonis antara pimpinan politik dan
pimpinan profesional dalam Depdiknas menjamin terwujudnya secara efektif dan efisien segala aspek
politik pendidkan yang ditetapkan pemerintah serta kontinuitas dalam pelaksanaan pendidikan yang
menjadi landasan bagi penyelenggaraan manajemen yang baik dalam semua aspek pendidikan nasional
di daerah, baik di tingkat propinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota dengan kewenangan khusus
berdasarkan undang-undang.
Beberapa komponen yang penting berkenaan dengan kebijakan politik dalam mengelola pendidikan,
khususnya pada lembaga pendidikan formal, mencakup antara lain:
1. Mutu Pendidikan
Apabila politik pendidikan diarahkan untuk membangun manusia Indonesia yang bermutu dengan
mengembangkan bakat serta potensi yang ada pada semua pemuda Indonesia, maka pemerintah
harus memikul tanggung jawab utama serta senantiasa memainkan peran terbesar dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah harus dapat menyediakan jumlah sekolah yang memadai
sesuai dengan kondisi penduduk, dengan terus mengusahakan peningkatan mutu.
Manajemen pendidikan mengusahakan pengendalian mutu terpadu yang dilakukan secara
berkesinambungan. Setiap Kepala Sekolah mengelola sekolahnya dengan partisipasi aktif para
tenaga pendidik, para siswa, orangtua, serta anggota organisasi sekolah lainnya untuk
bersama-sama mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusif dengan menggunakan setiap
sumber daya secara efektif dan efisien. Dengan demikian diharapkan mutu pendidikan akan
meningkat pula.
Untuk lebih menjamin mutu pendidikan tinggi diperlukan peran asosiasi profesi pada setiap
bidang keilmuan. Untuk itu kepada asosiasi profesi diberikan kewenangan untuk menangani,
menguji, dan mengesahkan sertifikasi keahlian tertentu yang selama ini dilakukan oleh
Depdiknas.
2. Biaya Pendidikan
Pembiayaan yang memadai sangat berpengaruh terhadap upaya pemerataan dan peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia. Ketertinggalan Indonesia dalam meningkatkan mutu sumber daya
manusia serta dalam mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK amat ditentukan oleh besarnya
anggaran pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Oleh sebab itu, dana pendidikan yang disediakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah
hendaknya diprioritaskan bagi penyelenggaraan Pendidikan Dasar untuk melaksanakan Wajib
Belajar dengan mutu yang tinggi tanpa membebani anak didik serta orangtuanya. Hal itu berarti
bahwa pendidikan yang termasuk Wajib Belajar sepenuhnya dibiayai Pemerintah. Prioritas
berikutnya diberikan kepada penyelenggaraan Pendidikan Menengah yang juga diusahakan agar
tidak membebani anak didik dan orangtuanya. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah perlu menetapkan anggaran pendidikan yang memadai, sekurang-kurangnya
20% dari APBN atau APBD setiap tahun, terutama untuk dapat membiayai seluruh pendidikan
yang bersangkutan dengan wajib belajar (TK 2 tahun dan SD 6 tahun), baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Pemerintah tidak dapat mengabaikan fungsi dan peranan Pendidikan Tinggi. Namun mengingat
besarnya dana yang terpakai untuk dua prioritas tersebut di atas, maka lembaga Pendidikan Tinggi
tidak dapat dibiayai sepenuhnya dengan dana Pemerintah. Oleh sebab itu, Lembaga Pendidikan
Tinggi c.q. Perguruan Tinggi perlu memiliki otonomi dalam pengelolaan dana untuk membiayai
pendidikan sehingga dapat mengusahakan pemasukan di luar dana Pemerintah. Karena itulah
Pimpinan Perguruan Tinggi hendaknya terdiri dari pimpinan akademis yang dibantu oleh suatu
lembaga yang dipimpin oleh wirausahawan yang mempunyai tugas khusus mengusahakan dana di
luar dari SPP mahasiswa. Dengan jalan demikian akan dapat diwujudkan pendidikan tinggi yang
bermutu dengan dukungan sumber dana yang memadai.
Keberhasilan manajemen pendidikan juga dipengaruhi oleh penghasilan yang cukup bagi semua
pengelola lembaga pendidikan dan para pendidik. Merupakan suatu kewajaran bagi mereka yang
bertugas di daerah yang tergolong berat untuk memperoleh kompensasi yang memadai, yang pada
hakikatnya akan menjamin terselenggaranya pendidikan yang baik dan bermutu di semua daerah
dan secara nasional.
3. Perkembangan IPTEK
Manajemen pendidikan juga perlu memperhatikan perkembangan serta kemajuan ilmu dan
teknologi modern dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan manajemen para
pengelola pendidikan. Pembentukan jaringan dengan mitra pendidikan lain, baik di dalam maupun
di luar negeri, sangat perlu diusahakan. Pada setiap tingkat, jenis, serta lembaga pendidikan, para
pimpinan lembaga pendidikan perlu terus berusaha mencapai hasil pendidikan yang bermutu
melalui manajemen sekolah yang dilakukan secara konsisten dan seksama dengan memanfaatkan
pula teknologi komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan.
BAB IV: SARAN PERTIMBANGAN
Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional dan berhasil menciptakan budaya pendidikan yang baru
yang diinginkan, maka BPPN menyampaikan saran pertimbangan sebagai berikut:
1. Sebagai bagian dari proses reformasi nasional untuk membangun Indonesia baru, maka upaya
pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional harus dilakukan secara sungguh-sungguh,
menyeluruh, transparan, dan demokratis, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat belajar dan
kepentingan bangsa. Untuk itu pula diharapkan agar semua pihak terkait berperan secara aktif untuk
bersama-sama mewujudkan budaya pendidikan yang baru di sekolah dan lingkungan masyarakat yang
berfokus pada peserta didik.
2. Dalam kaitan dengan perubahan paradigma dan budaya pendidikan yang dimaksud, maka Pemerintah
Pusat hendaknya tetap berperan dalam menentukan kebijakan yang bersifat nasional, sebagai pembina,
pengawas, dan pengendali mutu, di samping penyediaan dana, sedangkan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah atau masyarakat dipercayakan kepada para profesional, pimpinan lembaga pendidikan, kalangan
dunia usaha dan industri, serta masyarakat belajar itu sendiri.
3. Mengingat pentingnya pendidikan antara lain sebagai upaya untuk menyiapkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang bermutu serta memiliki pula sikap dan semangat kejuangan yang tinggi dalam membela
kepentingan bangsa dan negara, maka Pemerintah Pusat tetap bertanggung jawab untuk merumuskan
kebijakan pendidikan yang bersifat strategis, antara lain, dengan menetapkan kurikulum inti. Pemerintah
Daerah menjabarkan ketentuan pelaksanaannya yang antara lain tercermin pada kurikulum institusional
yang disesuaikan pula dengan kondisi daerah, kemampuan pengelolaan, dan kebutuhan khusus di
masing-masing wilayah.
4. Kebijakan tentang pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional perlu secara khusus
difokuskan pada upaya pemberdayaan institusi sekolah (Kepala Sekolah, Pengawas, Guru), terutama pada
tingkat pendidikan dasar (8 tahun), pendidikan kejuruan SLTP atau SMYK, dan sekolah menengah umum
(SMSU) dan kejuruan (SMSK), serta program pendidikan profesional di lingkungan perguruan tinggi.
Dengan demikian diharapkan dunia pendidikan di masa datang akan mampu menyiapkan sumber daya
pembangunan yang bermutu tinggi, ahli, dan terampil di berbagai bidang kerja, serta sanggup menjawab
tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, khususnya dalam memasuki era AFTA dan persaingan
global yang terkait dengan dunia industri dan lapangan kerja. Usul struktur dan Sistem Penjenjangan pada
jalur Pendidikan Sekolah sebagaimana terdapat di halaman 20 merupakan suatu alternatif pemecahan yang
direkomendasikan.
5. Mencermati perkembangan industri nasional dan global saat ini dan semakin meluasnya tuntutan
lapangan kerja yang mensyaratkan berbagai keahlian serta keterampilan praktis, maka selain perubahan
pada sistem persekolahan, upaya diversifikasi program pendidikan diperlukan pada pendidikan menengah,
khususnya SMSU, untuk meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris, keterampilan
komputer, dan kemampuan untuk belajar mandiri. Diversifikasi program pendidikan pada jenjang
pendidikan tinggi perlu diperluas dan disesuaikan dengan kebutuhan di masa depan, baik untuk
pengembangan IPTEK, maupun untuk menyiapkan tenaga kerja yang ahli dan profesional memasuki
lapangan kerja.
6. Pendidikan Taman Kanak-kanak disarankan agar menjadi bagian dari sistem persekolahan di tingkat
pendidikan dasar (8 tahun), sedangkan SLTP/SMY menjadi bagian dari pendidikan menengah dengan
dimungkinkannya diversifikasi sekolah kejuruan pada tingkat tersebut.
7. Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan serta menjamin mutu pendidikan tinggi nasional, maka
persiapan yang baik hendaknya dilakukan pada jenjang SMSU. Untuk itu disarankan agar proses seleksi
para siswa dilakukan pada akhir tahun kedua, sehingga pada tahun ketiga dan satu tahun pra-universitas
proses belajar lebih ditekankan pada pendalaman bidang minat dan persiapan memasuki perguruan
tinggi.
8. Upaya-upaya untuk mewujudkan budaya pendidikan yang baru, pemberdayaan institusi pendidikan,
dan peningkatan mutu hasil pendidikan bangsa kita juga amat dipengaruhi oleh besarnya dana yang
disediakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Mengingat kondisi ekonomi
nasional yang kurang menguntungkan masyarakat, maka Pemerintah (Pusat dan Daerah) perlu
meningkatkan anggaran pendidikan secara signifikan, sekurang-kurangnya 20% dari APBN atau
APBD.
9. Penetapan kurikulum inti oleh pemerintah pusat dimaksudkan agar kemampuan dan kualitas umum
peserta didik secara nasional dapat diukur dengan standar yang sama. Untuk itu, kurikulum nasional
hendaknya mengacu pada komponen tujuan pendidikan nasional dalam hubungan dengan upaya
melestarikan nilai-nilai budaya dan jatidiri bangsa, serta mengantisipasi perkembangan IPTEK. Di samping
itu, diperlukan juga kurikulum institusional dengan standar tertentu yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dan potensi masing-masing daerah di Indonesia.
10. Dalam setiap kegiatan pendidikan yang merupakan proses untuk mencapai perubahan perilaku anak
didik, sumber daya pengajar merupakan faktor utama yang bersifat strategis, di samping berbagai sumber
daya lainnya yang diperlukan. Oleh sebab itu, kebijakan tentang guru, baik menyangkut kelembagaan dan
mekanisme pengelolaan pendidikan guru hendaknya diberikan perhatian yang khusus. Pola pendidikan
yang baru harus memungkinkan para calon mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi untuk menjadi guru,
bobot akademik pada kurikulum inti program S-1 sama dengan bidang studi non-kependidikan, serta
waktu menempuh pendidikan sekurang-kurangnya satu tahun lebih lama dibandingkan bidang pendidikan
lain di luar bidang kedokteran.
11. Peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan sangatlah menonjol, namun masih lemah dalam
pembiayaan. Oleh karena itu, disarankan agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ikut membiayai
pendidikan yang diprakarsai masyarakat demi terjaganya mutu dan tercapainya tujuan pendidikan
nasional. Bahkan untuk pendidikan dasar wajib belajar 6 tahun dan pendidikan TK yang diselenggarakan
oleh masyarakat dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah.
12. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan
nasional, termasuk pengendalian mutu, akuntabilitas, dan pengawasan terhadap penyalahgunaan
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, untuk tujuan komersial hendaknya dilaksanakan
secara konsisten dan tegas. Dalam hubungan ini pihak pemerintah dan pengelola pendidikan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, perlu melibatkan asosiasi profesi sesuai dengan bidang ilmu
masing-masing.
BAB V: KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan
1. Inti dari upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional yang berfokus pada sistem
persekolahan terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu
yang diamanatkan oleh GBHN serta merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Atas dasar visi dan misi yang
baru seiring dengan semangat reformasi, demokratisasi, dan dinamika perkembangan regional, nasional,
dan global, maka arah kebijakan pendidikan yang hendak dikembangkan harus berorientasi pada peserta
didik atau masyarakat belajar.
2. Dari berbagai pengalaman di bidang pendidikan nasional kita selama ini dicatat bahwa berbagai
kebijakan dan inovasi baru yang ingin diterapkan tidak selalu diikuti oleh perubahan pada diri pemimpin
dan pelaksana pendidikan. Karena itulah budaya pendidikan yang baru hanya akan menjadi suatu
kenyataan apabila perubahan dan penyempurnaan yang dilakukan diikuti oleh perubahan pada cara
pandang dan sikap dari berbagai komponen bangsa yang terkait, yakni pemerintah (eksekutif dan
legislatif), masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan, para guru, dan orangtua, sesuai dengan peran dan
tanggung jawab masing-masing. Dengan pemahaman baru tersebut di atas diharapkan, selain
memungkinkan terciptanya suasana dialogis, demokratis, dan proses pembelajaran yang kreatif dan
bermutu, upaya pendidikan akan dapat melahirkan manusia pembelajar dan masyarakat Indonesia yang
gemar belajar.
3. Usul perubahan pada struktur dan sistem persekolahan yang dibahas di muka akan memungkinkan
langkah-langkah yang lebih konkrit dalam upaya penyiapan tenaga kerja dan sumber daya manusia yang
handal di masa depan.
4. Perubahan dan penyempurnaan dalam bidang pendidikan sangat memerlukan dukungan sumber daya
yang memadai, terutama sumber daya pendidik dan dana.
Penutup
Pendidikan nasional, sebagai bagian yang integral dari seluruh kebijakan dan program pembangunan
Indonesia, memiliki nilai yang amat strategis untuk menyiapkan masyarakat dan bangsa kita yang
bermutu tinggi guna memasuki masa depan yang lebih baik dengan rasa percaya diri yang lebih besar
serta memiliki derajat yang sama dengan masyarakat dan bangsa lain di dunia. Tujuan ini akan dapat
dicapai apabila hasil pendidikan nasional kita semakin baik dan semakin tinggi mutunya.
Tuntutan yang terus meningkat sejak awal era reformasi agar pemerintah mengambil langkah-langkah
yang penting untuk segera melakukan pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional
serta memberikan prioritas yang tinggi pada pembangunan sumber daya manusia yang bermutu
menunjukkan bahwa apa yang menjadi cita-cita luhur tersebut masih jauh dari kenyataan. Bahkan,
tuntutan seperti itu muncul karena masyarakat sendiri telah menyadari bahwa Indonesia jauh
tertinggal dari bangsa-bangsa lain dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia yang ahli,
terampil, profesional, dan tangguh untuk memasuki dunia industri modern dengan persyaratan kerja
yang semakin ketat.
Banyak hal yang menjadi tantangan, masalah, dan hambatan selama ini yang menyebabkan dunia
pendidikan seolah-olah kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. BPPN
mencatat bahwa salah satu hambatan yang cukup serius adalah cara pandang dan sikap mental para
penentu kebijakan yang lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah dan bukan pada kebutuhan
peserta didik serta kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kesungguhan semua komponen
bangsa yang terkait dengan masalah pendidikan, terutama para pejabat pemerintah dan kaum politik,
untuk melakukan upaya-upaya yang strategis dan tepat sasaran dalam meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan yang relevan, bermutu, demokratis, dan mampu
mendorong percepatan pembangunan nasional secara merata dan adil di masa depan.
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK
1. Siti Oetarini Sri Widodo (Ketua)
2. August Kafiar (Sekretaris)
3. Ahmad Amiruddin (Anggota)
4. H. Koesnadi Hardjasoemantri (Anggota)
5. Sayidiman Suryohadiprodjo (Anggota)
6. Herwindo Haribowo (Anggota)