PENILAIAN PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR
PENGANTAR
Pelaksanaan Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah berlangsung mulai tahun 1994
hingga kini telah mencapai 8 tahun. Dalam perjalanannya program tersebut harus
diakui selain memberikan hasil positif juga mengalami berbagai kendala dan
hambatan, terutama tatkala krisis nasional melanda tanah air diawali dari
krisis moneter sampai dengan krisis politik. Krisis yang berkepanjangan
tersebut berdampak langsung pada pelaksanaan program wajib belajar, terutama
pada pencapaian target untuk menuntaskan sasarannya yang telah disepakati
selambat-lambatnya tahun 2004.
Dengan memperhatikan
hal-hal di atas, BPPN telah berinisiatif untuk menilai program wajib belajar
tersebut untuk kemudian memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah, dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang isinya sebagaimana diuraikan dalam
saran pertimbangan ini, dengan harapan pemerintah dapat mengambil
langkah-langkah strategis sesuai dengan semangat saran dan pertimbangan BPPN.
Semoga saran
pertimbangan ini dapat digunakan sebaik-baiknya dalam upaya membangun
masyarakat yang cerdas sebagai sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu
menghadapi tantangan globalisasi.
Jakarta, Desember 2001
Awaloedin Djamin
Ketua BPPN
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri atas
berbagai suku bangsa, etnis, golongan dan hidup di bentangan pulau-pulau, besar
dan kecil, memiliki penduduk dengan tingkat sosial, ekonomi dan latar belakang
pendidikan yang berbeda pula. Ada sebagian masyarakat yang sudah berpendidikan
tinggi, namun tidak sedikit yang berpendidikan rendah, bahkan ada yang sama
sekali belum mengenyam pendidikan.
Dalam upaya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar
Dikdas) 9 Tahun pada tanggal 2 Mei 1994. Wajib belajar sangat penting bagi
suatu bangsa. Kalau tidak diberi ketentuan secara resmi adanya wajib belajar
sekurang-kurangnya suatu bangsa harus menyadari bahwa untuk kepentingan masa
depannya negara harus bersedia untuk melakukan usaha pendidikan yang
sebaik-baiknya yang disertai dengan investment
kepada berbagai kemampuan manusia.
Tidak ada bangsa yang
maju tanpa adanya usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya keputusan Pemerintah
masa lalu untuk melakukan wajib belajar adalah suatu keputusan yang sangat
luhur. Langkah ini merupakan hal yang sangat penting dan berarti untuk
meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar mampu bersaing
bahkan lebih maju dari bangsa lain.
Pengertian wajib
belajar di sini adalah kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang
berumur 7 (tujuh) tahun lebih untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan
yang setara sampai tamat. Keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun akan sangat
membantu upaya pengentasan bangsa dari keterbelakangan dan kemiskinan.
Indikator keberhasilan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dapat
diketahui dari angka partisipasi siswa menjadi peserta didik. Data tersebut
lazim dihitung dengan:
1. Angka Partisipasi
Murni (APM) tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu perbandingan antara jumlah peserta
didik (SD) usia 7-12 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun
dikalikan 100.
2. APM untuk tingkat
SLTP[1]
yaitu perbandingan antara jumlah peserta didik SLTP usia 13-15 tahun dibagi
dengan jumlah penduduk usia 13-15 tahun dikalikan dengan 100.
Dalam penjelasan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa pendidikan nasional merupakan alat dan sekaligus tujuan yang sangat
penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini
terutama jika dikaitkan dengan peran dan fungsi pendidikan nasional dalam
pelaksanaan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional merupakan alat yang sangat
fungsional dalam upaya pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia
pembangunan yang berkualitas dan mampu mandiri serta dalam rangka pemberian
dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara dalam rangka
mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh; yang mengandung makna terwujudnya
kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham, dan ideologi yang bertentangan
dengan Pancasila (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989). Dengan
perkataan lain, pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa.
Program Wajib Belajar
pada hakekatnya merupakan upaya pemerintah meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pembangunan
nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan
pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasiladan
UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu
pengembangan skenario pendidikan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan
belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu
pengejawantahan isi Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu Wajib Belajar 9
Tahun di Indonesia mengandung arti sebagai universal
primary education, yaitu terbukanya kesempatan secara luas bagi semua
peserta didik untuk memasuki pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah
menumbuhkan aspirasi orangtua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk
mengikuti pendidikan.
Adapun ciri-ciri Wajib
Belajar yang selama ini berlangsung di Indonesia adalah:
1. Tidak bersifat
paksaan melainkan persuasif.
2. Tidak ada sanksi
hukum, dan yang lebih menonjol adalah aspek moral yakni orangtua dan peserta
didik merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan dasar karena berbagai
kemudahan telah disediakan.
3. Tidak diatur dengan
undang-undang tersendiri.
4. Keberhasilan
diukur dengan angka partisipasi. Mengingat peranan Wajar Dikdas 9 Tahun sangat
strategis dalam pembangunan bangsa, maka BPPN memandang perlu untuk memberikan
penilaian terhadap pelaksanaannya yang selama ini berlangsung, untuk kemudian
menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
BAB II
PERMASALAHAN
1. Sejauhmana
penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dilaksanakan?
2. Seberapa jauh
hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun ditinjau dari
segi kuantitas dan kualitasnya?
3. Kendala apa yang
dihadapi dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun?
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
A.
Gambaran
Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 5
menyatakan bahwa: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan," dan "Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun
berhak mengikuti pendidikan dasar" serta pada ayat (2) dinyatakan bahwa:
"Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti
pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat." Yang dimaksud
dengan pendidikan dasar menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pendidikan Dasar sebagaimana dinyatakan pada Bab I Pasal 2 adalah:
"Pendidikan Dasar merupakan pendidikan 9 (sembilan) tahun, terdiri atas
program pendidikan 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar dan program pendidikan 3
(tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama."
Lebih
lanjut dinyatakan pada Bab II Pasal 3 bahwa "Pendidikan bertujuan untuk
memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan
kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat
manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
menengah."
Wajib
Belajar Pendidikan Dasar dalam pelaksanaannya dituangkan di dalam Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar. Secara operasional didukung dengan Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 18/Kep/Menko/ Kesra/X/1994
tentang Koordinasi Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, yang kemudian
dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan No. 07/Kep/Menko/
Kesra/III/1999 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pelaksanaan Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar.
Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dicanangkan sebagai gerakan nasional,
dimaksudkan untuk:
a. Memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh
pendidikan dasar;
b. Memberikan
kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia yang berusia 7 sampai dengan
15 tahun untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai
tamat;
c. Memberikan
pengarahan agar wajib belajar pendidikan dasar dapat diikuti oleh semua warga
negara Indonesia yang berusia 7 sampai 12 tahun untuk Sekolah Dasar dan yang
sederajat dan/atau setara dan berusia 13 sampai dengan 15 tahun untuk Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama dan yang sederajat dan/atau setara;
d. Memberikan
batasan waktu agar penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar tersebut dapat
dituntaskan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 15 tahun, yaitu pada tahun
pelajaran 2008/2009. Kemudian atas pengamatan dan pengalaman dalam pelaksanaan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar selama 2 (dua) tahun, penuntasannya dapat
dipercepat menjadi 10 tahun, yaitu sampai dengan tahun 2003/2004.
Ada
beberapa alasan pemerintah menetapkan pendidikan dasar sebagai pendidikan wajib
bagi semua anak usia 7-15 tahun yang dimulai tahun 1994.
Pertama, lebih dari
80% tenaga kerja Indonesia berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan bahkan kurang,
yaitu mereka yang putus SD dan buta aksara. Dibandingkan dengan kondisi negara
lain di ASEAN, apalagi dengan negara-negara industri baru seperti Singapura,
Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong, negara-negara tersebut jauh lebih maju
dalam pencapaian kinerja mereka di dunia pendidikan.
Kedua, dari segi
ekonomi, pendidikan dasar merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang dapat memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan merupakan investasi di bidang kemanusiaan (human investment).
Ketiga, ada bukti
bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar pula peluangnya
untuk lebih mampu berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
serta lebih memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Keempat, dari segi
kepentingan peserta didik, wajib belajar dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
kemampuan dan keterampilan mereka, sehingga pada gilirannya akan memperbesar
peluang mereka guna meningkatkan martabat, kesejahteraan, dan makna hidupnya.
Kelima,
pengalaman perkembangan di negara-negara industri baru di Asia (Singapura,
Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
cepat akan berjalan seiring dengan meningkatnya pendidikan di negara tersebut.
Hal ini ditandai dengan adanya prakondisi, menyangkut jumlah penduduk yang
memiliki tingkat pendidikan tertentu. Prakondisi ini merupakan semacam indikasi
dasar tentang mutu tenaga kerja, dalam masyarakat yang sudah siap membangun.
Prakondisi itu ialah jika pendidikan di tingkat partisipasi sekolah di SD telah
mendekati 100%, SLTP 80%, SLTA 60% dan Perguruan Tinggi (PT) sekitar 20%.
Dengan tercapainya pra kondisi ini, produktivitas tenaga kerja akan meningkat
dan dapat memberikan dampak pada kesejahteraan penduduk, dan meningkatkan
kemampuan komunikasi penduduk, sehingga berbagai kegiatan ekonomi dan
nonekonomi dapat berjalan di atas landasan kualitas sumber daya manusia yang
memadai.
Keenam, tantangan
yang dihadapi bangsa Indonesia pada era ekonomi terbuka dan persaingan bebas
akan makin berat. Hal ini ditandai dengan dimulainya pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 2002
dan dimulainya pasar bebas APEC (Asia
Pacific Economic Cooperation) pada tahun 2020, di samping telah
dilaksanakannya pengendalian perdagangan internasional melalui
kesepakatan-kesepakatan dalam organisasi perdagangan dunia, yaitu World Trade Organization (WTO).
Kelembagaan penyelenggara pendidikan program enam tahun di SD dan yang
sederajat dan/atau setara, terdiri atas 10 (sepuluh) satuan pendidikan sebagai
berikut:
1. Sekolah Dasar (SD)
Biasa
2. SD Kecil
3. SD Pamong
4. SD Luar Biasa
5. Sekolah Luar Biasa
6. SD Terpadu
7. Program Kejar
Paket A
8. Kursus Ujian
Persamaan SD (Upers SD)
9. Madrasah
Ibtidaiyah (MI)
10. Pondok Pesantren
(Ponpes).
*) Institusi
(lembaga) penyelenggara pendidikan program tiga tahun di SLTP dan yang
sederajat dan/atau setara terdiri atas 11 (sebelas) satuan pendidikan sebagai:
a. Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Biasa
b. SLTP
Kecil
c. SLTP
Terbuka
*) Formulasi dan
penjelasan lanjut tentang pondok pesantren perlu dibuat, dirumuskan sehingga
pengertiannya tidak lagi kabur, menjadi eksplisit, jelas wujud subyeknya.
d. SLTP
Luar Biasa (LB)
e. Sekolah
Luar Biasa (SLB)
f. SLTP
Terpadu
g. Program
Kejar Paket B
h. Kursus
Ujian Persamaan SLTP
i. Madrasah
Tsanawiyah (MTs)
j. MTs Terbuka
11. Pondok Pesantren
Tradisional (Salafiyah) yang seyogyanya setingkat dengan SLTP atau Madrasah
Tsanawiyah.
Tujuan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah:
a. Mempertahankan dan meningkatkan pencapaian angka
partisipasi pendidikan di SD/MI mendekati 100%.
b. Meningkatkan daya
tampung SLTP/MTs dan yang setara, serta mencegah terjadinya angka putus
sekolah/angka mengulang, sehingga angka partisipasi di SLTP/MTs mencapai
sekurang-kurangnya 85% secara nasional.
B. Penilaian Pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Untuk
memperoleh gambaran tentang pelaksanaan wajib belajar berdasarkan kebijakan
yang telah digariskan oleh pemerintah perlu dilakukan penilaian yang obyektif
seberapa jauh hasil yang telah dicapai dan bagaimana proses pelaksanaannya
berlangsung. Penilaian ini didasarkan pada data dan informasi yang dihimpun
dari laporan resmi dan data statistik yang ada, ditambah hasil dialog dengan
nara sumber. Penilaian ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan upaya mewujudkan
tujuan wajib belajar, sebaliknya justru untuk menunjukkan letak kekurangan dan
kelemahan pelaksanaannya, demi mencapai sukses sesuai dengan harapan dan tekad
semula.
1. Gambaran
kuantitatif hasil pelaksanaan wajib belajar.
Berdasarkan
data statistik tentang jumlah siswa yang mengikuti program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun diketahui bahwa pelaksanaan Wajib Belajar untuk
tingkat SD berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM) data tahun 1984, 1994, dan
2000 diperoleh gambaran bahwa telah dicapai tingkat partisipasi pendidikan di
tingkat SD mendekati angka 100%. Data ini sepintas memberikan kesan bahwa
program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun telah berhasil memenuhi sasaran.
Apabila angka statistik ini dibaca secara tidak jeli dan tidak diikuti dengan
upaya mendalaminya, niscaya akan memberi kesan bahwa pelaksanaan program wajib
belajar di tingkat SD telah memenuhi sasaran program wajib belajar pendidikan
dasar 6 tahun. Tetapi data-data tersebut perlu diteliti lebih seksama, karena
dari beberapa kasus yang ditemukan baik langsung oleh anggota BPPN maupun
laporan media massa, diketahui banyak anak yang terdaftar sebagai murid SD
tetapi kenyataannya tidak lagi bersekolah. Menurut laporan pejabat pemerintah
di Kabupaten Sampang Madura, misalnya hal ini antara lain disebabkan karena
motivasi orangtua untuk mengirim anak bersekolah memang sangat rendah. Pada
tingkat SLTP APM tahun 1984, 1994 dan 2000, sekalipun mengalami peningkatan
namun angkanya masih berada jauh di bawah target 85%, yaitu sebesar 38,40%
tahun 1984, 43,13% tahun 1994, dan 58,2% tahun 2000.
Sebaliknya
bila angka-angka partisipasi sekolah di tingkat SD dan SLTP tersebut
dihubungkan dengan tingginya angka putus sekolah dan angka banyaknya murid yang
tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, persentasenya masih
belum memuaskan. Kecenderungan pada tahun 1984, 1994 dan 2000 menunjukkan bahwa
angka putus sekolah justru mengalami peningkatan, sehingga target sasaran
penuntasan wajib belajar 9 tahun yang akan berakhir pada tahun 2004
dikhawatirkan tidak dapat terpenuhi. Untuk mengatasi hal ini perlu
langkah-langkah terobosan tertentu, termasuk penyediaan dana pendidikan yang
memadai. Hal ini dipandang perlu karena adanya angka putus sekolah dan angka
tidak melanjutkan sebagian besar disebabkan kemampuan ekonomi keluarga peserta
didik rendah, bahkan anak didik dimanfaatkan keluarga untuk membantu mencari
nafkah. Di samping kemampuan ekonomi, sebagian masyarakat lain juga masih
menganggap bahwa dalam jangka pendek pendidikan kurang menjamin peningkatan
kesejahteraan keluarga secara berarti.
Adapun
Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD tahun 1984: 88,66%, tahun 1994: 93,56%
dan untuk tahun 2000 tercatat APM sebesar 99,10%. Sedang angka putus sekolah
yang resmi tercatat berdasarkan laporan sekolah (tidak termasuk angka putus
sekolah yang terjadi di Madrasah Ibtidaiyah) adalah: tahun 1984 sebesar 3,46%,
tahun 1994 sebesar 3,67%, dan tahun 2000 sebesar 3,38%. Angka putus sekolah
yang dihitung berdasarkan laporan sekolah tersebut, menjadi lebih realistis
mengukur derajat ketahanan murid untuk bersekolah (school sustainment) bila
digabung dengan angka banyaknya murid SD yang tidak melanjutkan, berdasarkan
laporan resmi dari sekolah juga. Angka tidak melanjutkan itu masing-masing
tahun 1984 ada sebesar 29,2%, tahun 1994 ada sebesar 36,42% dan tahun 2000 ada
sebesar 23,50%. Untuk anak-anak usia 13-15 tahun yang menjadi sasaran wajib
belajar di tingkat SLTP atau Madrasah Tsanawiyah. Tingkat Partisipasi Murni
(APM) tahun 1984 ada sebesar 38,40%, tahun 1994: 43,13%, tahun 2000: 59,20%.
Kondisi putus sekolah di tingkat SLTP ini tidak menunjukkan peningkatan
dramatis bila dibanding dengan angka putus sekolah di tingkat SD, padahal
dilihat dari usia anak untuk membantu orangtua bekerja murid SLTP lebih rawan
putus sekolah. Angka putus sekolah SLTP untuk tahun 1984: 5,64%, tahun 1994:
4,13% dan tahun 2000: 4,04%, tidak termasuk Madrasah Tsanawiyah. Sebaliknya,
banyaknya murid SLTP yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya
jauh lebih rendah bila dibanding dengan tingkat tidak melanjutkan jenjang
pendidikan SD yakni masing-masing untuk tahun 1984 sebesar 12,57%, tahun 1994
sebesar 16,63%, kecuali tahun 2000: 34,40%, yang ternyata angka tidak melanjutkan
SLTP lebih tinggi daripada angka di jenjang SD. Sedang perihal kualitas proses
belajar dan mengajar yang di jenjang SD bila diukur dengan lamanya murid di
dalam kelas (exposed to lesson) untuk menerima pelajaran dari guru bila
dibanding di negara-negara Eropa Barat, umumnya murid SD kelas satu di
Indonesia berada di kelas untuk menerima pelajaran dari guru jauh lebih rendah.
Padahal ragam dan banyaknya mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar di
Indonesia jauh lebih banyak daripada yang diajarkan di kelas di sekolah dasar
di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Menurut OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) murid-murid kelas satu SD di Negeri Belanda dalam
setahun belajar selama 860 jam pelajaran, di Belgia sebanyak 1.000 jam
pelajaran, di Jerman 564 jam pelajaran, Inggris 840 jam pelajaran, dan
Indonesia sebanyak 525 jam pelajaran (Sumber "Education in Indonesia from
Crisis to Recovery" terbitan World Bank tahun 1998 halaman 28-29).
Sesuai
dengan uraian tersebut di atas dapat diketahui beberapa kondisi objektif
pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sebagai berikut:
a. Angka partisipasi
sekolah anak usia SD sejak dimulainya program Wajib Belajar 6 Tahun (1984)
meningkat pesat, yaitu pada tahun 1994 mencapai 93,56% dan tahun 2000 mencapai
99,10%.
b. Sejak dicanangkannya program Wajib Belajar 9 Tahun pada
tahun 1994, angka partisipasi SLTP hingga tahun 2000 mencapai 59,2%. Ini
berarti tidak banyak beranjak dari kondisi tahun 1994 (43,13%). Hal ini boleh
jadi karena respon masyarakat terhadap program itu belum sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Tingginya drop out dan rendahnya partisipasi
sekolah pada tingkat SLTP dan SMK serta SMU pada umumnya karena alasan ekonomi,
karena orangtua tidak sanggup membiayai.
Sebaliknya,
temuan survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa
ternyata rumah tangga Indonesia rata-rata sangat tidak memperhatikan biaya
pendidikan anaknya. Di kota-kota, rumah tangga hanya membelanjakan 3,30% dari
pengeluarannya untuk biaya pendidikan. Di desa angka itu lebih rendah lagi,
yakni hanya 1,27% dari belanja keluarga digunakan untuk pengeluaran yang
berhubungan dengan pendidikan, termasuk buku.
d. Indonesia dalam
menyongsong berlakunya otonomi daerah harus siap memperhitungkan keadaan bahwa
tanggung jawab pendidikan dasar ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten atau
Pemerintah Daerah Kota, termasuk penyediaan biayanya. Karena itu, yang harus
diantisipasi sesungguhnya seberapa besar perhatian pemerintah daerah pada masalah
pendidikan dasar termasuk penyelenggaraan wajib belajar ini.
e. Permasalahan dasar pendidikan di Indonesia termasuk soal
wajib belajar adalah pengelolaan program pendidikan yang kurang memperhitungkan
pentingnya peran serta orangtua murid dan masyarakat. Semua biaya cenderung
diharap menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan utamanya bersumber dari dana
yang dapat dimobilisasi dari masyarakat (community participation) termasuk
peran serta langsung dari tanggung jawab orangtua murid.
2. Penilaian terhadap
kualitas pelaksanaan wajib belajar Berkaitan dengan penilaian kualitas dalam
proses pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dari hasil dialog
dengan nara sumber dan pihak-pihak yang terkait diperoleh informasi sebagai
berikut:
a. Masyarakat di daerah umumnya belum sepenuhnya mengerti
tentang wajib belajar, karena kurangnya upaya sosialisasi yang jelas kepada
masyarakat.
b. Sebagian masyarakat masih merasa bahwa pelaksanaan wajib
belajar belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masyarakat menilai bahwa
secara kualitatif belum nampak ada perubahan yang berarti terhadap hasil kerja
lembaga sekolah termasuk kinerja para guru, terutama diukur dari mutu
lulusannya.
c. Ketentuan wajib belajar seharusnya membebaskan anak untuk
membayar uang sekolah, sehingga sekolah-sekolah negeri tidak memungut SPP.
Tetapi di dalam prakteknya anak-anak masih dipungut biaya partisipasi orangtua
murid melalui BP3 yang biasanya lebih mahal dari SPP. Bagi sekolah swasta
memang tidak ada kewajiban untuk membebaskan uang sekolah.
d. Kondisi
masing-masing daerah dan kemampuan orangtua murid tidak sama. Ada daerah kaya
dan ada daerah miskin. Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur yang berpenduduk
hanya 424.452 orang misalnya, merupakan daerah yang kaya, sehingga dengan APBD
sebesar 3 triliun rupiah, sangat boleh jadi tidak akan kesulitan dalam
membiayai Wajib Belajar 9 Tahun. Berbeda dengan daerah lain yang jumlah
penduduknya lebih banyak, sedangkan APBDnya, terutama yang bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah kecil. Daerah miskin semacam ini akan merasa berat untuk
menanggung seluruh biaya Wajib Belajar 9 Tahun, apalagi bila diharapkan mutu
dan kinerja sekolah meningkat. Seluruh
warga masyarakat pada hakekatnya berhak memperoleh kesempatan pendidikan yang
sama, tetapi kemampuan ekonomi dan sosial masing-masing anggota masyarakat
tidak sama. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan menyukseskan program wajib
belajar, titik berat tugas otonomi harus diletakkan pada pelaksanaan pendidikan
dan kesehatan.
e. Di Malaysia tidak ada ketentuan perundang-undangan yang
secara eksplisit menetapkan adanya wajib belajar, tetapi pemerintah membiayai
pelaksanaan program pendidikan sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas. Di
Australia dan Belanda juga ada wajib belajar sampai dengan tingkat menengah,
dan pemerintah membiayainya. Untuk tingkat universitas pemerintah tidak
membiayai sepenuhnya, karena indeks biaya pendidikan per peserta didik makin
tinggi untuk jenjang pendidikan tinggi. Sedangkan di Jerman pemerintah
menanggung seluruh biaya pendidikan termasuk di perguruan tinggi.
f. Berkenaan dengan tahap perkembangan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pertanyaan
tentang siapakah yang berwenang memberikan evaluasi terhadap Wajib Belajar
Pendidikan Dasar, apakah Itwilprop, Kanwil, atau Badan Litbang, perlu dikaji
ulang sehingga ke depan makin jelas. Pada saat ini Inspektur Jenderal Depdiknas
sedang menyiapkan rancangan ketentuan perundang-undangan mengenai pengawasan
pendidikan termasuk pengawasan pelaksanaan semacam wajib belajar.
g. Ketersediaan tenaga kependidikan, perangkat gedung
sekolah, dan sarana serta prasarana sekolah/lembaga pendidikan, sejauh ini
belum optimal disediakan, sehingga kebijaksanaan, program dan pembiayaan
pendidikan dasar dan menengah memerlukan kajian ulang secara menyeluruh.
h. Selama ini
peningkatan anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk membangun gedung
dan infrastruktur pendidikan. Sebaliknya, justru setelah ada kebijaksanaan
Inpres sekolah pelaksanaan kebijaksanaan itu ternyata merupakan salah satu
sumber mismanagement pendidikan,
karena banyak daerah yang sekedar mengharapkan untuk memperoleh bantuan Inpres
sekolah, dengan memanipulasi laporan tentang angka jumlah anak-anak yang
membutuhkan sekolah, tetapi dana Inpres yang disediakan pemerintah digunakan
untuk membangun sarana dan prasarana sekolah pada waktu dan tempat yang kurang
membutuhkan, dengan mutu yang menyimpang dari standar yang telah ditetapkan.
i. Berkaitan dengan masalah pengadaan tenaga guru, pada saat
dicanangkan program wajib belajar 6 tahun dulu pun sebenarnya Pemerintah belum
siap dengan tenaga pengajarnya. Karena program wajar dikdas tidak bisa
ditunda-tunda lagi, maka terpaksa diciptakan pendidikan guru yang sifatnya
darurat yaitu melalui penyelenggaraan program Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
j. Rendahnya mutu guru bisa dilihat pada data terakhir
Balitbang Depdiknas yang mengungkapkan fakta bahwa guru yang layak mengajar di
SD ada di bawah 30% sedangkan guru yang layak (memenuhi syarat) mengajar di
SLTP di bawah 50%.
k. Melihat fakta mutu guru tersebut, bagaimana mungkin suatu
sistem pendidikan akan dikelola secara optimal dengan tenaga-tenaga yang
rata-rata berada jauh di bawah standar? Oleh karenanya masalah yang paling crucial saat ini adalah penyediaan
tenaga pengajar yang berwenang, yakni memiliki kompetensi untuk mengajar baik
sebagai guru kelas maupun guru mata pelajaran.
l. Banyak tenaga guru
yang tidak berlatar belakang sekolah guru dan tidak dipersiapkan untuk menjadi
guru. Oleh karena itu, mereka mengajar tanpa kompetensi. Ekses dari tidak
terkontrolnya pengangkatan tenaga guru ini, misalnya ada guru yang diangkat
berasal dari latar belakang pendidikan tamatan IAIN mengajar matematika,
sementara lulusan pendidikan guru (SPG) yang ada karena alasan peningkatan
syarat minimal pendidikan tenaga pengajar di SD (menjadi D-IV atau S1) tidak
kunjung diangkat menjadi guru. Dalam kaitan ini
yang paling ideal adalah guru yang tidak qualified
itu diganti semuanya.
m. Berdasarkan laporan pertemuan
tokoh-tokoh pendidikan dunia, disinyalir bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara nyata hanya bisa diikuti dan berpeluang dikuasai 20% penduduk
dunia, sementara sisanya yang 80% penduduk dunia lainnya tidak akan atau
mustahil berpeluang menguasainya. Perbandingan ini dalam wacana politik
pendidikan dunia disimbulkan dengan angka perbandingan 20:80 yang menggambarkan
derajat kesenjangan kondisi pendidikan secara global. Pertanyaannya bagaimana
masyarakat internasional dan negara-negara di dunia akan mengatasi kesenjangan
itu? Padahal jika ditilik dari kondisi pendidikan di negara-negara berkembang
terutama diantara negara-negara berkembang itu yang tergolong paling miskin
pada saat ini penduduk yang 80% ini makin lama akan semakin tertinggal, karena
teknologi berkembang sangat cepat. Karenanya kondisi kesenjangan ini memiliki
implikasi kepada kebijaksanaan, yang perlu diperhatikan pada saat negara
merumuskan kebijaksanaan pendidikan nasional. Perbandingan 20:80% tersebut
adalah angka global untuk masyarakat dunia guna menggambarkan kesenjangan
peluang untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi. Tiap-tiap negara secara
internal juga mempunyai angka ratio sendiri yang menggambarkan derajat
kesenjangan yang ada diantara penduduknya. Untuk Indonesia boleh jadi angka
perbandingan itu berada pada 10:90. Sedang Singapura kabarnya sedang berusaha
untuk mencapai tingkat kesenjangan itu menjadi terbalik 80:20, lewat kebijakan
pendidikannya.
Selama
ini belum ada usaha yang baik dan terarah yang dilakukan terus-menerus mengenai
penciptaan sumber penerimaan negara yang dirancang khusus untuk membiayai
pendidikan, sehingga banyak hal yang ditetapkan oleh pemerintah tidak bisa
diimplementasikan secara benar antara lain karena kurang mampu memobilisasi
sumber pembiayaanya selain kelemahan dalam pengelolaan program pendidikan
nasional secara keseluruhan.
Ada
pemikiran yang berkembang agar dimasa yang akan datang pendidikan dasar
hendaknya dilakukan selama 8 tahun: mencakup 2 tahun early age education setara Taman Kanak-kanak, ditambah 6 tahun SD.
Selama 8 tahun tersebut pelaksanaannya harus dibiayai secara baik, sehingga
pendidikan yang dilakukan itu betul-betul bermutu dan mempertimbangkan feasibility untuk dilaksanakan bagi
seluruh anak Indonesia.
C.
Gagasan
Penyempurnaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Pengalaman
para pengajar menunjukkan bahwa anak yang masuk Sekolah Dasar (SD) melalui
pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) lebih mampu mengikuti pelajaran
dibandingkan dengan anak yang langsung masuk SD. Hal itu antara lain disebabkan
karena anak yang melalui TK sudah terbiasa dengan lingkungan sesama murid dan
berhadapan dengan seorang guru. Lain dari itu juga karena anak di TK sudah
dilatih cara berpikir dan "mengelola" perasaannya melalui permainan
dan acara lain yang diadakan dalam pendidikan TK. Dengan begitu anak keluaran
TK lebih siap secara emosional dan intelektual untuk mengikuti pendidikan SD
kelas 1. Untuk anak yang tidak lewat TK diperlukan waktu penyesuaian diri, yang
berarti pemborosan waktu dan belum tentu memperoleh hasil yang sama dengan
pendidikan TK. Mengingat hal itu kurang tepat bila menganggap Pendidikan TK
sebagai pendidikan pra-sekolah sebagaimana sekarang berlaku di Indonesia.
Adalah
tidak adil dan bahkan tidak mendukung pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang memadai ketika hanya sejumlah kecil anak Indonesia masuk TK, dan yang
masuk TK itu adalah umumnya anak orangtua yang tinggal di kota serta yang baik
kondisi sosial ekonominya. Sedangkan mayoritas anak Indonesia, terutama yang
tinggal di luar kota, tidak pernah tersentuh oleh pendidikan TK. Padahal
diantara sekian juta anak itu pasti tersimpan aneka ragam bakat yang perlu
dikembangkan sebaik-baiknya sedini mungkin untuk menghasilkan kemampuan dan
kecakapan.
Berhubung
dengan itu pendidikan TK perlu masuk dalam Sistem Sekolah dan tidak lagi
berstatus pra-sekolah. Selain itu pendidikan TK harus diperoleh setiap anak
Indonesia. Karena itu pendidikan TK yang berlangsung 2 tahun harus menjadi
bagian dari wajib belajar yang telah ditetapkan dengan undang-undang, sehingga
perlu ada perubahan dalam UU itu yang juga mencantumkan pasal tentang
pendidikan anak usia Taman Kanak-kanak ini.
Ini
semua tidak berarti bahwa substansi pendidikan TK, yaitu cara mendidik anak usia
5-6 tahun, berubah dan meninggalkan sifatnya yang semula. Pendidikan TK tetap
berorientasi ke permainan yang membuat anak senang belajar, serta terbiasa
bergaul dengan anak yang lain. Memang sekarang ada sementara TK yang meninggalkan
cara mendidik anak usia 5-6 tahun itu yang menitik beratkan belajar sambil
bermain atau bermain sambil belajar dan antara lain mengajarkan kepada muridnya
membaca, menulis dan berhitung, seperti yang dilakukan Sekolah Dasar. Pendekatan
ini tidak tepat karena meninggalkan ciri-ciri pendidikan TK yang khas dan jelas
maksudnya. Pengintegrasian pendidikan TK dalam Sistem Sekolah justru harus
meningkatkan mutu TK sesuai dengan fungsinya yang berbeda dari pendidikan SD.
Oleh sebab itu, tidak perlu TK sebagai organisasi disatukan dengan SD. Namun
demikian Pemerintah harus mengusahakan jumlah TK yang makin sesuai dengan
jumlah anak didik serta dengan mutu yang memadai.
Hal
ini mungkin pada tahap permulaan sukar dijalankan karena kendala terbatasnya
dana Pemerintah. Namun kalau sudah ditetapkan bahwa TK adalah pendidikan yang
wajib bagi setiap anak Indonesia, mau tidak mau akan ada usaha agar keadaan itu
dapat diwujudkan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Adanya
delegasi wewenang dalam pendidikan kepada daerah memungkinkan pencapaian tujuan
ini dapat lebih nyata terlaksana. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa
harus ada pembentukan guru TK yang jumlah dan mutunya memadaiTanpa faktor itu
ketentuan ini kurang ada maknanya.
BAB IV
SARAN-SARAN
1 Wajib belajar
untuk tingkat Sekolah Dasar apabila angka partisipasi sekolah anak usia 7-12
tahun telah mendekati 100% dapat dikatakan telah berhasil dan mencapai target.
Meskipun demikian, masih terdapat angka putus sekolah dan angka mengulang
kelas. Oleh sebab itu disarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional hendaknya menangani dengan sungguh-sungguh wajib belajar
untuk SD agar benar-benar tuntas dan menghindari peluang untuk memanipulasi
angka laporan APM.
2 Wajib belajar
tingkat SLTP berdasarkan angka partisipasi sekolah bagi anak-anak usia 13-15
tahun belum mencapai hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus
mengambil sikap dan tindakan yang tegas tentang target/kriteria kapan Wajar
Dikdas 9 Tahun dapat mencapai target. Fasilitas dan prasarana pendidikan harus
disediakan, tenaga guru yang memiliki kompetensi mengajar di bidangnya perlu
ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya.
3 Biaya pelaksanaan
Wajib Belajar ditanggung oleh Pemerintah. Untuk itu, perlu ditempuh upaya
menghimpun dana yang benar-benar memadai misalnya melalui penyaluran pajak yang
memadai. Termasuk mengembangkan partisipasi orangtua murid dan masyarakat
sekitar sekolah dalam mengelola jalannya proses belajar mengajar.
4. Mengingat
keberagaman wilayah Indonesia ditinjau dari potensi dan kemampuan daerah dalam
melaksanakan wajib belajar tidak sama, maka bagi daerah yang mampu dapat
diberikan kesempatan melaksanakan wajib belajar 9 tahun. Tetapi bagi daerah
yang belum mampu dapat diberikan kesempatan melaksanakan wajib belajar
pendidikan dasar 6 tahun. Dalam hubungan ini pemerintah cukup memberikan
perhatian dan dorongan kepada daerah yang mampu/kaya, sedangkan untuk daerah
yang kurang mampu pemerintah perlu selalu menyesuaikan besarnya subsidi yang
diberikan khususnya untuk program wajib belajar.
5. Berkaitan dengan
butir 4 di atas, maka untuk daerah-daerah tertentu diberikan kewenangan untuk
menggunakan pola wajib belajar yang khas sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya. Misalnya pola kelas 1-3-5 dan 2-4-6 sebagaimana yang telah
dikembangkan di Irian Jaya. Di samping itu, perlu dikembangkan sekolah
berasrama.
6. Dengan beberapa
pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan di atas, diusulkan agar Taman
Kanak-kanak (TK) menjadi bagian dari pendidikan dasar dan SLTP menjadi bagian
dari pendidikan menengah. Oleh sebab itu, TK tidak lagi bersifat optional, dan karenanya Pemerintah
berkewajiban menangani dengan sungguhsungguh. Kelak di kemudian hari wajib
belajar harus mulai dari TK, sehingga diharapkan setiap warga negara sejak dini
telah dapat dipersiapkan menjadi manusia Indonesia yang lebih baik.
7 Peran swasta
(yayasan) dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah
perlu mendapat dukungan pemerintah terutama dalam penyediaan guru dan bantuan
dana.
NAMA ANGGOTA KELOMPOK
1. Dra. Mien Rachman
Uno (Ketua)
2. Soetjipto
Wirosardjono, M.Sc (Sekretaris)
3. Prof. Dr. H.
Koesnadi Hardjasoemantri, S.H.,M.L (Anggota)
4. Herwindo Haribowo,
Ph.D (Anggota)
5. Corneles Wowor,
M.A. (Anggota)
6. Dr. H. Fahmi D
Saifuddin, MPH (Anggota)
KEMBALI KE MENU SARAN PERTIMBANGAN